SICARIO: DAY OF THE SOLDADO (2018)

6 komentar
Sicario pertama (2015) bicara soal “sosok putih”, agen FBI bernama Kate Macer (Emily Blunt), yang mempelajari realita abu-abu setelah ditampar keras oleh ambiguitas moral di mana hukum tak berlaku. Pada sekuelnya, giliran dua sosok “penampar” Kate lah yang mendapati bahwa ketiadaan hukum mereka pun nampak bersih di hadapan intrik kotor politik internasional. Di satu kesempatan, agen CIA Matt Graver (Josh Brolin) menyuarakan kejengahannya pada sang atasan, Cynthia Foards (Catherine Keener), bahwa langkah yang diambil pemerintah takkan mengubah apa pun. Respon Cyhnthia membuat Matt, si prajurit brutal nihil aturan tampak bak bocah naif.

Ada pula dua muda-mudi terlibat dalam konflik: Isabela Reyes (Isabela Moner), puteri bungsu seorang pimpinan kartel Meksiko yang di sekolahnya bisa bersikap layaknya bos mafia tanpa takut tersentuh hukuman guru, dan Miguel Hernandez (Elijah Rodriguez), remaja Meksiko-Amerika yang ingin menjadi kriminal. Seperti Kate di film pertama, Isabela dan Miguel bagai domba, tapi di sini, domba-domba itu berlagak layaknya serigala, hingga akhirnya nasib mempertemukan mereka dengan kawanan serigala sungguhan yang tengah berperang. Apakah domba-domba ini akan jadi mangsa, kembali ke habitatnya, atau bertransformasi menjadi predator pula? Konklusinya memberi siratan cukup jelas bagi arah lingkaran kehidupan yang bakal mereka tempuh.

Day of the Soldado membahas dua pokok persoalan yang belakangan makin kerap menyulut kontroversi, khususnya di Amerika, yakni serbuan teroris asing serta imigran. Tapi Taylor Sheridan (Sicario, Wind River, Hell or High Water) yang masih menulis naskahnya tak tertarik menjabarkan “Apa yang seharusnya dilakukan?”, melainkan “Apa yang selama ini sudah dilakukan dari di balik layar”. Setidaknya menurut perspektif Sheridan, yang membuka filmnya langsung lewat hantaman mencekat dan menegangkan berupa aksi bom bunuh diri. Sayang, ketegangan di tingkatan setara gagal terulang di sisa durasi. Kementrian Pertahanan mengutus Matt guna menutup jalur para terors yang diselundupkan oleh kartel di Meksiko.

Taktik adu domba diterapkan. Kembali dibantu Alejandro (Benicio del Toro), Matt menculik puteri pimpinan kartel, Isabela, lalu mengaturnya agar tampak seperti perbuatan kartel saingan. Tujuannya agar kedua belah pihak saling menghancurkan tanpa perlu campur tangan pemerintah Amerika, yang nantinya diharapkan memutus mata rantai terorisme. Meski jika ditanya mengenai definisi terorisme, Matt menjawab, “Tugas Menteri Pertahanan untuk menyematkan definisi itu ke siapa”. Di sini Sheridan tengah menyentil tentang Amerika, sang negeri adidaya, mampu pengelompokkan “si baik” dan “si jahat” sesuai kepentingan mereka.

Artinya, ambiguitas pendahulunya masih dipertahankan. Sheridan menegaskan ketiadaan kepastian soal siapa kawan maupun lawan, yang diwakili suatu momen yang ia tulis secara cerdas tatkala Isabela berhasil “diselamatkan” dari kurungan penculik. Tapi tidak semua momen tampil secerdik itu. Ada kalanya rencana Sheridan pintar, ada kalanya tidak masuk akal. Atau mungkin di dalam imajinasinya, itu masuk akal, hanya saja, akibat kebencian Sheridan terhadap eksposisi (diakuinya sendiri), banyak poin terkesan membingungkan. Bahkan lebih membingungkan ketimbang film pertama karena kali ini konspirasi bertambah rumit seiring skala yang turut membesar, juga melibatkan lebih banyak pihak. Kadang kebingungan tersebut mempengaruhi intensitas.  

Untung penyutradaraan Stefano Sollima (Suburra) solid. Mengusung tempo lebih cepat, toh kita tetap bisa menemukan pergerakan kamera yang melayang lambat khususnya dalam establishing shot, yang mengingatkan akan gaya Denis Villeneuve. Masih dipertahankan pula musik atmosferik nan menghantui, walau departemen musik sekarang ditangani Hildur Guðnadóttir, menggantikan mendiang Jóhann Jóhannsson. Tidak mengherankan, sebab keduanya pernah berkolaborasi di Mary Magdalene (2018), dan Guðnadóttir pernah memainkan cello dalam Arrival (2016) yang musiknya digubah Jóhannsson. Sayang, meski tetap sedap dipandang, sinematografi Dariusz Wolski (The Martian, Prometheus) nyatanya tak seindah karya Roger Deakins.

Tidak ada Emily Blunt yang kehadirannya berfungsi sebagai kacamata penonton mengintip kerasnya dunia kriminalitas, namun Day of the Soldado masih punya Josh Brolin dan Benicio del Toro, dua aktor yang mampu menebarkan aura machismo cukup dengan duduk diam atau bertutur secara kasual. Karakter peranan del Toro memperoleh story arc bersifat personal selaku lanjutan film pertama, yang lagi-lagi Cuma berujung sempilan di tengah tanpa dampak emosi. Tidak ada pilihan lain. Apabila Sheridan begitu getol ingin menguatkan elemen drama di sekitar Alejandro, ia membutuhkan filmnya sendiri. Sementara Brolin memantapkan status sebagai “actor of the year”. Pasca Thanos, Cable, lalu Matt, pesan yang muncul jelas: “Jangan macam-maca dengan Josh Brolin!”.

Konklusinya membuka lapang beragam kemungkinan untuk kisah masa depan andai seri Sicario dilanjutkan. Kemungkinan yang rasanya nyaris tidak berujung mengingat kriminalitas dan konspirasi politik merupakan jalur utamanya. Tapi di waktu bersamaan, konklusi tersebut melucuti gambaran kerasnya dunia gelap milik seri Sicario, di mana semestinya tak ada pihak yang aman dalam tempat sekelam nan semematikan ini. Sicario: Day of the Soldado tidak se-memorable pendahulunya, tidak pula mengandung teror yang sama kuatnya, tetapi sebagai sajian aksi/thriller semata, Day of the Soldado memberikan cengkeraman cukup kencang.

6 komentar :

Comment Page:
aryo mengatakan...

Wah sudah main... Cusss ah.
Tinggal nunggu Gotti sama Antman

Unknown mengatakan...

Tipe Film yg susah di nikmati oleh penonton awam.
Yg pertama saja saya gak mudeng ni ada yg kedua nya.

Rasyidharry mengatakan...

Cara ceritanya tetep kompleks, tapi temponya lebih bersahabat.

Anonim mengatakan...

Tanpa Villeneuve-Deakins-Blunt, dan untungnya mempertahankan sang Screnwritter, Taylor Sheridan, dan dia membuktikan bahwa dia seorang Screnwritter berbabkat.. Saya kurang yakin, Sicario 2 akan sebaik ini, tanpa dia.

stanleu mengatakan...

Lebih orientasi ke sisi action nya ya mas daripada yg pertama? cuma intensitasnya tetep tinggi kan, soalnyalebih nunggu ini daripada ant man, karena lebih suka tema yang lebih kelam

Rasyidharry mengatakan...

@Gary Kalo dibandingin yang pertama, iya. Tempo lebih padet & action lebih banyak.