KOKI-KOKI CILIK (2018)

8 komentar
Mengawali debut lewat Garuda Di Dadaku (2009) pun pernah mengarahkan Ambilkan Bulan (2012), sutradara Ifa Isfansyah kembali menangani film anak, atau lebih tepatnya film dengan karakter anak, mengingat kontennya bukan saja dapat dinikmati penonton usia dini, orang dewasa pun bisa memetik pelajaran berharga di balik usaha tokoh utamanya menjadi koki cilik terbaik. Bagi Ifa sendiri, Koki-Koki Cilik membuktikan kapasitasnya menggarap film semua umur belum luntur, bahkan lebih baik ketimbang karya-karya di luar zona aman miliknya seperti Pendekar Tongkat Emas (2014) apalagi Pesantren Impian (2016).

Film ini punya judul awal Cooking Camp yang merujuk pada acara yang ingin diikuti si protagonis, Bima (Farras Fatik), di mana anak-anak berkemah sambil belajar sekaligus berlomba masak. Berasal dari keluarga sederhana yang mesti memaksa ia dan sang ibu (Fanny Fabriana) memecah celengan plus menerima sumbangan warga demi membayar biaya masuk, Bima pun dipandang remeh. Jangankan menggulingkan dominasi Audrey (Chloe Xaviera) selaku juara tiga tahun beruntun, mengucapkan “chef” dengan benar saja dia tak mampu. Tapi berbekal buku resep buatan mendiang ayahnya, Bima optimis mampu bertahan dan menang.

Mengambil latar di perkemahan anak, pastilah elemen persahabatan turut hadir. Teman-teman Bima, meski tak semua punya kepribadian menarik dan saya yakin mayoritas penonton takkan mampu mengingat seluruh nama mereka, cukup piawai perihal mengajak kita bersenang-senang. Apalagi saat Melly yang diperankan Alifa Lubis, sang pemenang Little Miss Indonesia 2013, mengeluarkan polah antik yang melibatkan celotehan serba dramatis bak remaja hingga gerakan yoga. Tapi fokus tak sampai terbelah, tetap mengerucut pada perjuangan Bima.

Naskah karya Vera Varidia (Surat Cinta untuk Kartini, Me vs Mami) urung mengutak-atik formula from-zero-to-hero, sehingga pertemuan Bima dengan karakter father figure yang bakal membimbingnya mencapai status “hero” bisa ditebak kehadirannya sedari awal. Sosok itu adalah Rama (Morgan Oey), petugas kebersihan Cooking Camp yang diam-diam merupakan mantan chef ternama. Polanya jelas: Bima minta diajari memasak, Rama menolak, Bima kukuh, Rama luluh, kemudian dalam montase latihan singkat, Bima diperlihatkan belajar satu-dua hal seputar memasak. Bukan cuma itu, Rama turut mengingatkan Bima akan pesan mendiang ayahnya dahulu, “Yakin akan kekuatan lidah kamu”, atau dalam konteks lebih umum, “percaya pada kemampuanmu”.

Bima coba meningkatkan rasa masakannya, dan hubungannya dengan Rama pun merupakan sumber rasa Koki-Koki Cilik. Farras dalam film keempat sekaligus peran utama perdananya pandai memainkan emosi, sedangkan Morgan mulus menangani Rama yang tengah berkonflik batin. Rama senantiasa ketus, membuat senyum simpul pertamanya, kala Bima melakukan “transfer energi” menghadirkan kehangatan. Kalau bukan karena ketepatan timing Morgan menyunggingkan sekilas senyum, dampak serupa takkan terasa.  

Apabila penonton anak bisa belajar dari perjuangan Bima, para orang tua yang menemani mereka wajib memperhatikan kisah Rama. Awalnya, Rama bersedia mengajari Bima demi menuntaskan dendam personalnya. Menurut Rama, semua peserta adalah saingan. Sebaliknya, Bima menganggap mereka teman. Dia ingin juara namun enggan terbutakan persaingan panas. Ketika orang dewasa dikuasai ambisi, hasrat kompetitif, dan praduga, para anak sebatas ingin bersenang-senang sembari mencintai sesuatu dan/atau seseorang. “Jadi orang jangan terlalu lugu” merupakan pernyataan yang belakangan makin kerap terdengar, dan Koki-Koki Cilik seolah menantang perspektif terseut sewaktu Bima dan Rama sering berbenturan akibat perbedaan cara memandang lomba di Cooking Camp.

Sebagai food movie, adegan penyajian makanan enak dilihat pula menggugah selera. Tampak betul Ifa memahami bahwa momen memasak tak perlu sudut pengambilan gambar penuh gaya. Cukup close up sehingga makanan terlihat jelas. Karena kini, sewaktu proses memasak dimulai, semua adalah tentang masakannya, bukan lagi sang koki. Ifa, dibantu penataan kamera Yadi Sugandi (Sang Penari, Kuntilanak), memastikan penonton bisa merasakan tekstur kenyal daging maupun gurihnya kuah kare. Pun rangkaian momennya dinamis berkat tempo cekatan dari Ifa plus penyuntingan lincah Cesa David Luckmansyah (Sang Penari, Guru Ngaji).

Sayang, selaku “film kompetisi” di mana perlombaan berjalan beriringan dengan proses belajar tokohnya, film ini berlubang. Koki-Koki Cilik bak gemar memencet tombol fast forward. Contohnya saat Bima, si ahli masakan Indonesia yang tak tahu sushi, berhasil mengkreasi masakan Jepang sebagai simbol kesuksesan melampaui batasan diri. Bisa menjadi peristiwa bermakna andai sebelum merengkuh sukses, kita dibawa sejenak menyaksikan Bima meresapi apa yang telah dipelajari, menerapkannya, kemudian baru memetik hasilnya. Alih-alih demikian, Koki-Koki Cilik bergegas mencapai garis akhir saat ramen buatan Bima disajikan. Masalah itu pula penyebab tensi kompetisinya kurang. Kita tak diberi kesempatan “gigit jari” menantikan koki-koki cilik ini berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan.

Tugas pertama bagi koki-koki cilik yakni membuat hidangan berbahan dasar buah. Saya bersorak dalam hati ketika Bima berjaya berkat rujaknya. Itulah titik di mana Koki-Koki Cilik mengingatkan penontonnya kepada hal penting dalam hidup. Ini bukan bagaimana terlihat elegan dan tidak kampungan. Itu dangkal. Bima hanya jujur dan melakukan apa yang dia cinta (masak), yang ia tekuni karena seseorang yang dia cinta (bapak). Do what you love and love what you do. Klise, sederhana, namun benar adanya.  

8 komentar :

Comment Page:
dim mukti mengatakan...

Seneng kemaren satu studio full banyak anak-anak walaupun bukan theater utama tapi pada ikutan ketawa dan sedih.. Tapi sayangnya berisik jadinya..😀

Anonim mengatakan...

kalau disuruh milih untuk ditonton, pilih mana kak, ku lari ke pantai atau koki koki cilik?

Rasyidharry mengatakan...

@dim Nggak masalah asal mereka berisik karena ekspresi enjoy & happy 😁

@Unknown personally Kulari ke Pantai, tapi kalo bawa bocah, kemungkinan Koki-Koki Cilik.

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

kalo nonton film kadang ada berisik yg mendukung atmosfer nonton film jd lebih merinding
*contoh
nonton horor berisik karena teriak bareng
nyanyi bareng pas nonton film chrisye(sumpah ini merinding sebioskop pada nyanyi bareng)
sama ketawa bareng juga seru
bukan berisik ketika film lg hening tiba2 ada anak yg nangis,(yakali dulu ada yg bawa bocah nonton annabele)

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

bohemian bakal masuk indo gak ya? berharap ada adegan naynyi yg bikin sebioskop nyanyi juga😂😂😂

Rasyidharry mengatakan...

@Teguh Bener tuh. Selalu cari atmosfer. Makanya film MCU selalu Imax, ngincer fasnya yang hobi tepuk tangan 😁

Bohemian masuk, rencana tanggal 31 Oktober

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

paling seru nonton dengan orang orang yg paham dan sadar apa yg akan dia dapat dengan menonton film ini
contoh kemaren nonton hereditary penonton pinggir saya terus aja nyeletuk, film apaan sih ini, ngantuk
hahaha
tapi kemaren hereditary nonton di GI dan pdan parah banget sih, ada sekitar 5 orang penonton yg datang telat dan gak bisa duduk, ternyata ada yg salah duduk dan adan akhirnya mesti geser geserlah bangku depan gue, di di intruksiin ama petugas bioskop
asli bikin gagal fokus