SABRINA (2018)

14 komentar
Ada tiga jenis template. Pertama, yang diulang karena digandrungi publik. Kedua, yang diulang karena disukai pembuatnya kemudian menjadi gaya. Ketiga, yang diawali jenis kedua, tapi begitu laris manis, pengulangannya dilakukan atas dasar poin pertama. Rocky Soraya rasanya masuk jenis ketiga. The Doll (2016) memberinya tempat menumpahkan segala elemen favoritnya (trik ala James Wan bertemu banjir darah), tapi begitu lebih dari 550 ribu penonton sukses didapat, tiada alasan meninggalkan usungan formula itu. Apalagi setahun berselang, Mata Batin dan The Doll 2 masing-masing menembus angka 1,2 juta penonton.

Saat banyak pihak memuji Mata Batin, saya justru sampai pada titik jenuh, sebab Rocky mulai repetitif. Karyanya selalu dibuka oleh first act lambat minim penampakan—yang mana langkah berani dan patut diapresiasi—berlanjut ke second act berupa deretan jump scare medioker, hingga ditutup klimaks berdarah-darah. Sabrina, selaku spin-off seri The Doll yang makin memperlihatkan ambisi Rocky mengikuti jejak James Wan dengan seri The Conjuring, memakai pola sama. Tapi kentara terdapat perbaikan di sana-sini. Belum menyeuruh, namun satu langkah kecil jauh lebih berarti daripada keengganan melangkah.

Maira (Luna Maya) pun melangkah maju ketika menikahi Aiden (Christian Sugiono), meninggalkan tragedi dalam The Doll 2 di masa lalu. Keduanya belum dikaruniai momongan, tapi ada Vanya (Richelle Georgette Skornicki), keponakan Aiden yang mereka rawat pasca kedua orang tuanya meninggal. Mencuri hati Vanya yang masih selalu merindukan mendiang ibunya tidaklah mudah. Karena itu, Maira memberikan boneka Sabrina edisi kedua yang khusus dibuat Aiden (dia pemilik pabrik mainan) untuk mengenang Kayla, puteri Maira yang sudah tiada. Harapannya, sebagaimana Sabrina edisi pertama dahulu bagi Kayla, boneka baru ini bisa menemani sekaligus menguatkan Vanya.

Memasuki kemunculan keduanya, desain Sabrina makin mengerikan, yang berarti, semakin tak logis bila disukai bocah. Sepertinya sekarang adalah waktunya kita menyimpan rapat-rapat ekspektasi melihat boneka Sabrina yang lebih “masuk akal”. Bedanya, kali ini boneka itu tidak langsung menjadi sumber masalah, melainkan permainan memanggil arwah bernama Pensil Charlie, yang Vanya pakai guna bertemu arwah sang ibu. Bisa ditebak, justru sosok gaib jahat yang hadir. Baghiah namanya. Salah satu anak iblis. Apakah ia mempunyai hubungan darah dengan Ghawiah dari The Doll pertama? Entahlah.

Paruh awalnya dibungkus tempo cukup lambat pula minim teror, yang sayangnya urung ditunjang naskah solid di tatanan drama, sehingga pondasi kisah kekeuargaan serta gejolak batin si paranormal, Laras (Sara Wijayanto), yang kini telah menikahi sesama paranormal bernama Raynard (Jeremy Thomas), berakhir lemah. Gagal pula usahan menyentuh hati lewat porsi drama tersebut, walau untuk subplot mengenai Laras, akting kurang meyakinkan Sara Wijayanto turut jadi penyebab.

Singkat cerita, bermain Pensil Charlie membuat Vanya mampu berkomunikasi dengan sang ibu, atau tepatnya, sosok yang ia percaya merupakan sang ibu. Khawatir akan kondisi bocah itu, Maira dan Aiden sepakat berlibur bertiga. Liburan itu juga titik balik filmnya, di mana tempo dipercepat, sementara teror mulai menyergap. Kali ini, Rocky dibantu tim efek spesialnya berkenan memutar otak demi variasi. Beberapa trik memikat, dari adegan “Edward Mordrake-esque” sampai “kesurupan pertama” menyita atensi saya. Beberapa kali bulu kuduk berdiri, bukan karena seram, melainkan dipicu kekaguman atas aspek teknisnya. Those weren’t scary, yet fun and highly admirable. Dipadu kemampuan sutradara memancing intensitas melalui nuansa chaotic, jadilah Sabrina suatu perjalanan seru. Bila diibaratkan musik, Rocky bak tengah menggeber musik rock beroktan tinggi.

Selain faktor teknis, repetisi turut diminalisir oleh naskah karya Fajar Umbara (Comic 8, The Doll 2) dan Riheam Junianti (The Doll 2, Mata Batin) lewat disertakannya beragam lokasi, yang berujung menyediakan beragam metode berbeda pula untuk meneror. Pantai, penginapan, pabrik, dan pastinya rumah. Setidaknya terjadi pergantian suasana sehingga mata kita takkan lelah, walau dari alur, naskahnya sendiri seperti carbon copy dari seri-seri sebelumnya, termasuk twist-nya.

Mencapai klimaks, Sabrina seolah kehabisan amunisi trik, ditambah kerap terlampau panjang di banyak titik. Kita diajak berdiam terlalu lama mendengar Laras dan Raynard merapal mantra berupa puja-puji terhadap Yang Maha Kuasa, sama seperti first act-nya yang terus-terusan menyeret kita melihat Vanya menjalankan aplikasi pendeteksi han...maaf, maksud saya entitas. Rocky dan tim bukannya menyerah begitu saja. Tampak usaha menambah varian peristiwa melalui bumbu aksi yang sayangnya, tanpa koreografi mumpuni, plus lagi-lagi performa kurang meyakinkan Sara Wijayanto mengayunkan senjata. Sebaliknya, Luna Maya terlihat bersenang-senang melakoni akting kesurupan gila nan over-the-top sebagaimana dalam The Doll 2.

Beberapa kelemahan sudah teratasi, kini pekerjaan rumah Rocky Soraya tinggal terus mengeksplorasi variasi trik jump scare dan tusuk-menusuk supaya tidak stagnan, mencari naskah dengan pondasi solid, dan bersedia memadatkan momen-momennya agar tak kehilangan momentum. Sebab konklusinya, yang berusaha menutup kisah di nada melodrama, pun tidak kalah berlarut-larut bagai akan berjalan selamanya. Namun seperti saya ungkapkan, Sabrina memang bukan lompatan, melainkan langkah, yang meski kecil, asalkan konsisten berjalan ke depan, bukanlah suatu persoalan. 

14 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Hai bang Rasyid, big fan here!
Mohon maaf nih bang, bukan ngajarin gimana nulis ulasan atau sebagainya, tapi mohon dipertimbangkan untuk engga ngasih tahu kalo ada semacam "plot twist" di suatu film. Nanti pas nonton malah nungguin twist nya aja, "'cuz mentioning a plot twist counts as a spoiler" - Wisecrack 😁

Again, I'm a big fan, love your writing and all. Ini cuma masukan aja. Peace.

Rasyidharry mengatakan...

@Tuan hi, thanks for reading dan masukannya. Prinsip saya sih sama kayak yang baru-baru ini dibilang Scott Derrickson, "kalau sebuah film bisa dirusak oleh spoiler, berarti film itu nggak oke". Well, nggak menganut seekstrim itu, tetep ngikutin aturan nggak tertulis: kalo mau bahas spoiler, taruh warning. Tapi kalo nulis "ada twist" nggak termasuk spoiler. Kalau sampai filmnya "rusak" karena itu, ya emang udah busuk dari sono 😁

Buat penonton sih, just don't think too much. Kalau nggak lama-lama sinopsis & materi promosi bisa dihitung sebagai spoiler. Just enjoy the movie 😊

Anonim mengatakan...

Wah,jadi lebih tercerahkan. Terima kasih keterus-terangannya bang.

Betul juga sih, paling balik ke individu masing-masing ya bang? Poin yang saya omongin juga sangat relatif 😁

Btw, JoSyid di YouTube engga update lagi bang? Nungguin nih spoiler reviewnya Deadpool 2 😁

Unknown mengatakan...

Si Josyid ga update lagi nih?

Unknown mengatakan...

Kalo aja yang mainin peran jadi Bu Laras itu adiknya Sara Wijayanto, barangkali lebih bagus aktingnya. Haha.

Rasyidharry mengatakan...

@Tuan Itu dia. Balik lagi juga, tujuan baca review apa. Ada yang buat cari rekomendasi, ada juga yang cari sudut pandang penulisnya. Beberapa pembaca ada kok yang emang pengen sama sekali nggak tahu tentang filmnya, lalu mutusin buat baca setelah nonton 😊

@Jonathan Will be back soon. Lagi proses "transformasi"

@Heru Wah bukan barangkali lagi, barang pasti 😁

Dana Saidana mengatakan...

Bang ada yang saya kurang ngerti.
Pas ending di kuburan Arka tertulis wafat 27 Maret 2018.
Sementara kejadian tewasnya Arka itu sudah 1 tahun yang lalu.
Berarti setting waktunya Tahun 2019 dong :-D
Futuristik.


Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Jangan-jangan tahun depan ada spin off-nya lagi. Baghiah vs Bathseeba.

dim mukti mengatakan...

Klimaknya masih sama ngga mas adegan berdarah tapi korbanya ga mati-mati walau udah ditusuk dibanting berkali-kali??

Badminton Battlezone mengatakan...

Ngga ulas rocker baling kampung bang?

Rasyidharry mengatakan...

@dim Nggak seekstrim The Doll pertama, tapi masih gory

@Badminton Nonton tapi nggak sempet nulis. Nggak sampah kok, pesannya baik, simpel, tapi penyampaiannya nggak rapi.

Mahendrata Iragan Kusumawijaya mengatakan...

Tahan juga nonton film ginian. Bang kasih list 10 film yang bikin ente walk out dong

Rasyidharry mengatakan...

@Mahendrata Tahan lah, kan oke filmnya. Nope, nggak pernah walk out. Selalu kasih kesempatan sampai akhir.