TEEN TITANS GO! TO THE MOVIES

14 komentar
Walau tidak reguler seperti semasa kecil dulu tiap Minggu pagi, saya masih kerap menghabiskan waktu menonton serial animasi (lewat YouTube tentu saja), sekedar untuk sejenak bersantai. Setiap menemukan episode yang berhasil menghibur, saya selalu berharap kesenangan itu berlangsung lebih lama dari sekedar belasan samapi 30 menit. Jika anda pernah merasakan hal serupa, Teen Titans Go! To the Movies bakal mengabulkan harapan tersebut. Berasal dari serial Teen Titans Go!, film ini memiliki nuansa ringan yang sama, production value sama (bujetnya cuma $10 juta), tapi melipatgandakan humor meta-nya, dan sudah pasti, durasinya. Yes, this feels like an extended episode of the series, which also means, extended fun.

Ada salah satu episode musim kedua Teen Titans Go! Yang berjudul Let’s Get Serious!, di mana Teen Titans merasa bahwa pahlawan super tak semestinya gemar bercanda. Harus serius, harus tragis. Hasilnya adalah olok-olok yang menyasar mangsa empuk, dibalut dalam bentuk humor meta yang meski tidak bisa disebut cerdas, namun luar biasa menghibur. Teen Titans Go! To the Movies pun sama, kini giliran maraknya film pahlawan super yang jadi sasaran tembak. Superman punya film, Batman punya film, belakangan Wonder Woman pun dibuatkan film. Mengapa Robin (Scott Menville) tidak?

Pertanyaan itu mengganggunya, apalagi banyak pihak menganggap Teen Titans bukan tim pahlawan super sungguhan, karena senantiasa bergurau dan bergurau. Melihat sang teman bersedih, Cyborg (Khary Payton), Starfire (Hynden Walch), Raven (Tara Strong), dan Beast Boy (Greg Cipes) pun mencari alasan mengapa Hollywood ogah membuatkan mereka film layar lebar. Salah satu kesimpulan yang dicapai yaitu ketiadaan musuh besar. Sambut Slade alias Deathstroke (Will Arnett), yang kemunculannya memfasilitasi lelucon soal kemiripannya dengan Deadpool. Humor meta seperti ini—yang menyasar hal populer nan mudah dipahami penonton umum—akan banyak dijumpai sepanjang durasi.

Baik yang bersifat meta maupun bukan, mayoritas humornya tak masuk kategori pintar. Komedi pintar mana yang menggunakan lelucon kentut? Tapi kepintaran tidak berkorelasi dengan kelucuan. Lelucon mengenai “pelafalan dramatis nama supervillain” atau “Slade’s mind manipulation trick” tergolong apa yang disebut “receh”. Bodoh, tapi itu poinnya. Seperti para Teen Titans, film ini hanya ingin bersenang-senang, dan mengajak kita turut serta. Sedangkan terkait plot, saya tidak bisa membahas banyak, bukan demi menghindari spoiler, melainkan memang tidak banyak yang dapat dibicarakan.  

Mayoritas cuma menapilkan usaha Teen Titans memenuhi impian dibuatkan film melalui cara-cara acak. Keacakan menyenangkan tentunya, di mana pada satu titik mereka mengunjungi berbagai peristiwa ikonik dalam sejarah DC. Di sela-sela cerita pun turut diselipkan nomor musikal, yang kentara hanya bertujuan menambal slot durasi. Setidaknya deretan lagunya luar biasa catchy, khususnya Upbeat Inspirational Song About Life (ya, itu judulnya). Seusai film, seorang bocah di toilet terus menerus bernyanyi, “Upbeat! Upbeat!”, dan saya berani bertaruh kebanyakan penonton lain, termasuk dewasa seperti saya, kesulitan menghapus lagu itu dari ingatan.

Disutradarai duo Peter Rida Michail-Aaron Horvath yang memproduseri serialnya, gelaran aksi film ini, sebagaimana elemen lain, mengusung semangat “asal ramai, asal kacau”, yang kadang terlampau kacau,membuatnya tak seberapa memorable. Biar demikian, visual kaya warnannya tak kalah catchy dengan deretan lagunya, apalagi bagi penonton bocah. Masih seputar aksi, tersimpan satu poin pintar, yakni saat Teen Titans selalu mengandalkan kemampuan Raven menciptakan portal dimensi. Sebab kisah superhero punya tendensi enggan memaksimalkan kekuatan atau senjata pamungkas yang bisa dipakai menyelesaikan apa saja, semata demi kesan dramatis.

Jadi apakah film ini pintar atau bodoh? Dari sudut pandang finansial, tidak diragukan lagi sebuah kepintaran. Bermodalkan biaya amat kecil, Warner Bros dan DC niscaya akan bergelimang keuntungan. Dan meski belum layak disematkan status “film bagus”, tingkat rewatchability-nya tinggi. Saya takkan terkejut apabila home video-nya laku keras. Karena sekali lagi, layaknya animasi Minggu pagi, Teen Titans Go! To the Movies mampu memberikan kesenangan tanpa perlu banyak berpikir. Bedanya, kesenangan itu berlangsung lebih dari 30 menit.

14 komentar :

Comment Page:
aryo mengatakan...

Wajib nonton sih ini... Trailernya aja lucu banget

Taufik Adnan mengatakan...

Nungguin equalizer 2, udah tyang blum d indo ya? Dan bklan d review gk mas bro?

Rasyidharry mengatakan...

@Taufik Tayang tanggal 15 Agustus. Pasti, suka banget sama yang pertama

ROYA mengatakan...

yang saya sukai dari DC adalah mereka menganggap semua media setara dan sama penting-nya, dari mulai komik, serial TV (live action dan animasi), film, hingga video game semua digarap serius (walau tidak selalu berakhir bagus), berbeda dengan Marvel yang hanya menonjolkan film dan seolah meng-anak-tiri-kan media lainnya. MCU memang sangat menarik untuk diikuti tapi selain itu, tak ada hal lain yang menarik lagi dari Marvel. Serial TV hambar, video game medioker (ada harapan untuk Spider-Man PS4), komik apalagi, malah jadi corong propaganda liberalisme Disney. Selain itu mereka juga terlalu terobsesi pada singularitas yang justru membuat dunia Marvel menjadi sempit. Membuat Captain America hanya sekadar seorang Chris Evans dan Iron Man hanya sekadar Robert Downey Jr. Berbeda dengan DC yang memang karakter-karakternya sangat kuat dan tidak terikat pada aktor sehingga tetap ikonik walau aktor-nya diganti beberapa kali pun. 10 tahun ke depan bagi saya DC lebih menarik untuk diikuti setelah DCEU dibubarkan dan kelahiran franchise multiverse "The World of DC" yang tidak menonjolkan singularitas dan kontinuitas, melainkan lebih menonjolkan kekuatan film sebagai karya tunggal. Jika MCU lebih seperti Serial TV di mana film-film solo cuma jadi bridging menuju even-even crossover, arah cerita dari semua film terpolarisasi pada 1 tujuan, The World of DC lebih seperti antologi film-film standalone yang berdiri sendiri-sendiri hanya saja secara setting berada dalam universe yang sama. Membuat film solo menjadi film yang benar-benar solid sebagai karya tunggal bukan cuma dijadikan bridging semata. Tak ada aturan untuk menjaga tone pun membuat setiap film menawarkan kebaruan, constant freshness. The Batman-nya Matt Reeves yang akan menceritakan masa muda Batman (tidak diperankan oleh Ben Affleck) dan Film Origin Joker-nya Martin Scorsese dan Joaquin Phoenix menjadi awal untuk mendobrak keobsesian orang-orang pada singularitas dan kontinuitas itu. Kalau yang sudah baca komik The Killing Joke, pasti tahu Origin Story Joker itu sangat epic dan punya potensi kuat untuk menjadi film crime yang bermutu. Dualisme Joker di layar lebar juga mungkin menjadi semacam paralel dengan komik terbaru Geoff John "The Three Jokers" di mana 3 Joker dari universe yang berbeda bertemu. Mungkin kelak akan diangkat ke layar lebar juga. Bahkan konon Superman Christopher Reeve, Batman Michael Keaton, dan Batman Christian Bale itu termasuk dalam franchise "The World of DC" di mana mereka berada dalam shared multiverse dengan Superman Henry Cavill dan Batman Ben Affleck, mungkin akan menunjukkan cameo or maybe easter egg di film The Flash juga. Fokus untuk membuat film-film klasik bermutu seperti yang telah mereka lakukan di masa lalu tampaknya menjadi kontra-strategi yang jitu bagi DC untuk menggeser dominasi Marvel yang bertopang pada singularitas dan kontinuitas-nya.

Rasyidharry mengatakan...

@ROYA True, di luar media film, DC lebih unggul. Apalagi soal komik.

Soal aktor, itu bukan kekurangan/kelebihan. Di Marvel, artinya mereka berhasil dalam hal branding. UNTUK GENERASI INI, Tony ya RDJ, Capt ya Evans, dst. DC pernah kok dulu dengan Reeve, dan sekarang WW & Gal Gadot. Dari sisi finansial, faktor itu bikin sebuah film bisa dijual dengan nama aktor. DC pun tujuannya pasti ke sana, just wait. Mereka juga nggak mau kali gonta-ganti aktor. Biarlah Affleck itu ditendang.

Tentang "The World of DC", well, saya nggak mau komentar banyak. Lha dari WB sendiri belum bisa provide plan yang jelas. Belum ada konfirmasi bentuk pasti "The World of DC". Semua sebatas rumor yang dibikin media atau fans yang kadung antusias duluan lalu bikin teori. Just wait. As a comic reader, while right now Marvel is definitely far more superior, I won't chose between them. I just wanted them both to make great movies.@ROYA True, di luar media film, DC lebih unggul. Apalagi soal komik.

Soal aktor, itu bukan kekurangan/kelebihan. Di Marvel, artinya mereka berhasil dalam hal branding. UNTUK GENERASI INI, Tony ya RDJ, Capt ya Evans, dst. DC pernah kok dulu dengan Reeve, dan sekarang WW & Gal Gadot. Dari sisi finansial, faktor itu bikin sebuah film bisa dijual dengan nama aktor. DC pun tujuannya pasti ke sana, just wait. Mereka juga nggak mau kali gonta-ganti aktor. Biarlah Affleck itu ditendang.

Tentang "The World of DC", well, saya nggak mau komentar banyak. Lha dari WB sendiri belum bisa provide plan yang jelas. Belum ada konfirmasi bentuk pasti "The World of DC". Semua sebatas rumor yang dibikin media atau fans yang kadung antusias duluan lalu bikin teori. Just wait. As a comic reader, while right now Marvel is definitely far more superior, I won't chose between them. I just wanted them both to make great movies.

Fajar mengatakan...

@ROYA
Setuju banget soal DC yg kualitas di luar movie juga bagus. Soalnya iseng2 nonton versi animatednya Marvel, benar2 gak mutu. Gerakan tokohnya kaku banget, mirip animasi anak sekolahan yg baru belajar flash, padahal ini kan Marvel. Beda banget ama animatednya DC yg bahkan bisa lebih bagus dari DCEU yg berantakan (kecuali Wonder Woman).

Anonim mengatakan...

Menurutku kesalahan WB dan DC cuma 1 yaitu menunjuk Zack Snyder jadi nahkoda cinematic universe mereka. Cuma itu doang kesalahan mereka. Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Coba aja kalau yang dijadikan nahkoda itu James Wan yang lebih tau kaidah film yang baik berkolaborasi dengan Geoff John yang tau cara mengemas karakter DC, udah pasti DC tidak akan dipermalukan seperti 2 tahun terakhir ini.

Perihal Marvel, benar kata ROYA, mereka bukannya tidak bisa bikin animasi, komik, serial TV, atau video game yang bagus, mereka bisa kok, hanya saja mereka tidak menganggap media-media itu penting sehingga mereka tidak serius, di situ Marvel jadi terasa timpang.

Rasyidharry mengatakan...

@Tri Yep, "Batman: Mask of the Phantasm" misal, masih salah satu film animasi terbaik.

@Anonim Simple. Marvel have Kevin Feige, WB & DC don't.

Erik Flower mengatakan...

Tapi bisa jadi bom waktu karena Marvel terlalu mengandalkan 1 orang, yg jadi pertanyaan, apa yg akan terjadi pada Marvel, terutama MCU selepas Kevin Feige (dan Robert Downey Jr yg selalu jadi magnet) pensiun? DC pernah berjaya lebih dari 50 tahun dalam live action (film dan serial), selama 50 tahun itu live action Marvel sampah semua. Tapi kemudian Marvel mulai bangkit lewat film X-Men nya Bryan Singer dan Spider-Man nya Sam Raimi, mereka mulai bisa mengimbangi DC. 10 tahun kemudian, akhirnya Marvel bisa membalikkan keadaan lewat Avengers 1. Seperti roda yg berputar, yg dulu di atas bisa jadi ada di bawah, yg dulu di bawah bisa jadi ada di atas. Tapi menurut saya, MCU tak akan bisa bertahan sampai 50 tahun, bahkan 5-10 tahun lagi pun tampaknya sudah terlalu panjang. Selepas event Infinity Gauntlet berakhir di Avengers 4, sulit melihat hal menarik lagi dari MCU kalau hanya mengandalkan continuity dengan film formulaik yg begitu2 saja. Menurut saya selepas Avengers 4, itu momentum tepat bagi DC untuk bangkit dengan menawarkan kebaruan.

ROYA mengatakan...

That's the point of The World of DC, kontra strategi yg dilakukan DC di mana franchise multiverse ini tak akan dikendalikan secara otoriter oleh 1 orang yg membuat setiap film punya warna/trademark yg sama (berpotensi membuat bosan dan jenuh), melainkan membuat franchise multiverse ini menjadi wadah untuk sutradara2 untuk berkarya tanpa harus dibatasi atau distir oleh 1 orang tertentu, negatif-nya there will be no continuity, but there will be freshness in every movie.

Faisal Fais mengatakan...

setuju

Momentumnya ada tp yg jadi pertanyaan apa DC bisa memanfaatkan momentum itu dengan baik?

Akan bisa kita lihat bersama dari film Aquaman dan Shazam yg sebentar lagi akan dirilis, coz itulah 2 film DC tanpa campur tangan Zack Snyder yg sudah dipecat dari jajaran produser.

There's hope because Zack Snyder Legacy has been ended in Justice League.

Rasyidharry mengatakan...

@Lou Wah kalau 50 tahun hampir mustahil ya. Jangan dibandingin sama era Reeve & Keaton dulu, pas film superhero keluar paling cuma beberapa tahun sekali. Sekarang tiap tahun >1. True, kalau mengandalkan 1 orang bisa monoton, dan itu kejadian di phase 1-2 MCU. Nah, sekarang Feige itu chief. Dia kontrol arah mau ke mana, plan storyline ke depan, tapi soal gaya, sejak phase 3 udah nggak banyak campur tangan. Makanya Gunn, Waititi, Derrickson, dan of course Russo Bros bisa patenin style masing-masing.

@ROYA Nah kalau soal freshness setuju. Malah lebih bagus lagi, kalau mau kontra, ya udah, nggak perlu pakai brand spesifik. Cukup "DC Movie". Ya intinya balik ke masa sebelum shared universe dipopulerkan. Fokus ke film stand alone. Baru nanti, misal ambil lingkup 2 tahun tertentu deh, filmnya fokus ke share, yang leading to big crossover.

@Faisal Ya itu dia, bikin yang bagus dulu aja. Silahkan plan jangka panjang di balik layar, tapi kalau belum bener-bener paten dan yakin, nggak perlu dipublikasikan. Nanti juga kalau 2-3 film beruntun kualitas bagus, atensi publik otomatis didapet kok.

Fajar mengatakan...

Kalo liat dari trailer Aquaman dan Shazam, kayaknya mengambil sisi berlawanan. Aquaman ambil sisi serius dan epik. Sementara Shazam ambil sisi simpel dan ringan.

Unknown mengatakan...

Shazam emang di komik atau animasi emang kocak banyak humornya bang