ADRIFT (2018)

1 komentar
Sepasang kekasih (or soo-to-be one) berenang di telaga. Mereka tertawa ditemani matahari yang bersinar dari kejauhan, memberi kesan romantis hangat di musim panas yang hangat, sementara Where’s My Love milik SYML mengalun lembut di belakang. Elemen-elemen audiovisual tersebut dikemas mengikuti aturan dasar “How to make a romantic scene”. Keseluruhan Adrift mengikuti aturan dasar, memilih bermain aman, namun itulah mengapa filmnya bekerja dengan baik. Sutrdara asal Islandia, Baltasar Kormákur (Contraband, 2 Guns, Everest), hanya perlu menangani hal-hal esensial di tengah proses produksi berat di tengah lautan yang memakan waktu beberapa minggu.

Adrift merupakan adaptasi buku non-fiksi Red Sky in Mourning: A True Story of Love, Loss, and Survival at Sea buatan Tami Oldham Ashcraft dan Susea McGearhart, yang mengangkat perjuangan Tami bertahan hidup di laut lepas selama 41 hari pasca kapalnya mengalami kecelakaan. Pertama kita bertemu Tami (Shailene Woodley), kapalnya telah rusak parah dihantam badai. Dia berteriak, mencari tunangannya, Richard (Sam Claflin). Keduanya sedang berlayar dari Tahiti menuju San Diego, dalam rangka mengantarkan kapal pesiar “Hazana” ketika Badai Raymond menerjang. Lalu kita dibawa mundur menuju momen pertemuan mereka.

Skenario garapan Aaron Kandell, Jordan Kandell, dan David Branson Smith menggunakan narasi non-linier, melompat antara dua linimasa: perjuangan di tengah laut dan kebersamaan bahagia Tami-Richard. Pilihan bentuk itu bertujuan menguatkan dampak emosi, di mana berulang kali, sesaat setelah mengunjungi kebahagiaan, kita segera dilempar menuju penderitaan. Tidak selalu berjalan mulus, tapi chemistry Woodley dan Claflin cukup kuat untuk tampak meyakinkan sebagai pasangan yang sama-sama yakin telah menemukan tambatan akhir masing-masing. Menyenangkan melihat mereka bersama, dan itu menguatkan pesan filmnya, yakni mengenai cinta yang memberi kekuatan.

Poin utamanya memang bukan soal detail bertahan hidup, walau sesekali kita melihat apa yang Tami lakukan, dari mengembangkan layar, mengumpulkan sisa makanan, atau memperbaiki kerusakan di sana-sini. Adrift bukan tentang apa yang Tami lakukan, melainkan apa yang mendorongnya melakukan itu. Apa yang menyuntikkan kekuatan, apa yang menyokongnya supaya senantiasa berdiri walau berulang kali dijatuhkan. Jawabannya tentu saja “cinta”. Sounds too cheesy? Probably, you haven’t found true love then.

Woodley memerankan karakternya dengan baik. Karakter yang menyatakan keengganan untuk pulang, sampai semesta mengabulkan permintaan itu, yang justru menjadikan keinginannya kembali ke rumah lebih besar dari sebelumnya. Karakter yang ingin mengarungi samudera tanpa ujung dengan cinta selaku layar penggerak sekaligus jangkar yang menjaganya bertahan di realita. Performa itu sayangnya direcoki keputusan para penulis naskah sepenuhnya menanggalkan kesubtilan bertutur. Woodley dituntut menyebutkan hampir semua yang ia lihat, rasakan, dan peristiwa apa yang sedang terjadi selaku alat penjelas kepada penonton, walau di banyak kesempatan, bahasa visual saja sudah cukup. Kadang sang aktris nampak bak sedang bermain di B-movie, di mana karakternya meneriakkan detail segala peristiwa.

Babak pertengahannya sewaktu rintangan yang karakternya hadapi semakin terjal, Adrift justru seolah terhanyut dalam pola penceritaan aman miliknya. Fase ini menentukan bagi penonton, apakah memilih menyerah dalam dinamika yang perlahan surut, atau tetap bertahan, berlayar memasuki klimaks yang bakal mencengkeram kuat. Kormákur mengurung protagonisnya dalam badai raksasa dibungkus efek visual meyakinkan serta tata suara bombastis, sementara saya di bangku penonton dibuat tak berdaya dicengkeram ketegangan, meski intensitasnya sesekali naik-turun akibat lompatan latar waktu alurnya. Karena mendadak pindah ke laut tenang jelas menurunkan tensi, sehinnga perlu usaha lebih untuk melambungkannya kala filmnya kembali memasuki gempuran badai.

Konklusinya menyentuh, sekali lagi berkat kemampuan Baltasar Kormákur menangani elemen-elemen formulaik. Menyoroti soal memori, sambil (lagi-lagi) ditemani alunan lagu akustik manis, kali ini Picture in A Frame-nya Tom Waits, Kormákur sukses membangun penutup emosional. Bukan disebabkan pembangunan konsisten yang terbayar lunas, melainkan kepandaian sang sutradara memanipulasi rasa melalui formula. Bukan cara pintar apalagi segar, tapi efektif. Adrift pun bukan film luar biasa, tapi jelas tontonan yang bekerja dengan baik.

1 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

bikin penasaran padahal jarang tertarik sama film tipe survive gini, review Inuyashiki dong mas film superhero Jepang, mumpung lagi banyak yg ngomongin apalagi Jepang jarang produksi film bertipe superhero gini walau adaptasi asli dari manga dan anime.