GENTAYANGAN (2018)

6 komentar
Jangan tonton film ini sendirian. Bukan karena Gentayangan begitu mengerikan, melainkan berbagai kekurangannya lebih mengasyikkan bila ditertawakan bersama teman-teman. Ketika belakangan perfilman kita dibanjiri horor berkualitas tiarap, Gentayangan jadi makhluk langka. Keburukannya tidak membuat hati panas seperti produk-produk MD Pictures, tapi kekonyolan yang termasuk teritori so-bad-it’s-good, hingga nyaris membuatnya layak menerima gelar “Azrax-nya horor tanah air”. Satu-satunya penghalang adalah masih terdapat “kelemahan konvensional” macam jump scare ala kadarnya yang dibalut musik berisik.

Bukan hasil mengejutkan bila melihat keberadaan Shyam Ramsay, sang legenda horor kelas B Bollywood yang karyanya terdiri atas judul-judul seperti Purana Mandir (1984), Veerana (1988), hingga Bandh Darwaza (1990), meski bagi publik Indonesia, mungkin karyanya yang paling dikenal adalah serial Nagin. Saya menonton beberapa filmnya, sehingga tahu mesti berekspektasi apa dan harus memasang perspektif bagaimana kala menyikapi Gentayangan. Jadi sewaktu tali yang menarik Ronny P. Tjandra masih tampak jelas, saya harus menganggapnya sebagai bagian hiburan, bukan kelalaian yang wajib dicaci, walau itu bukan suatu kesengajaan.

Ceritanya berpusat pada Abimanyu (Baim Wong) yang terpaksa mengajak keluarganya pindah ke Hotel Kaki Langit peninggalan orang tuanya setelah bisnisnya bangkrut. Tidak butuh waktu lama sampai hantu-hantu gentayangan mulai mengganggu mereka dalam teror yang terinspirasi dari kengerian di Hotel Overlook milik The Shining (1980). Bahkan beberapa referensi terhadap film buatan Stanley Kubrick itu pun bermunculan, seperti penggunaan kapak, juga momen ikonik “Here’s Johnny!”.

Masalah finansial Abimanyu tak pernah menemui jalan keluar, tapi saya menyukai bagaimana naskah yang ditulis Adi Nugroho (Kuldesak, Jelangkung, Ruang) menyediakan alasan logis mengapa Abimanyu sekeluarga tidak segera meninggalkan hotel. Kesulitan uang menghilangkan opsi tinggal di tempat lain, ditambah lagi larangan pergi dari pihak kepolisian pasca peristiwa berdarah mulai terjadi. Saya bisa merasakan ada film bagus terkubur dalam Gentayangan (berdasarkan kisah di balik layar yang saya dengar memang demikian faktanya). Konsep terornya menyiratkan hal serupa. Walau beberapa medioker, ada segelintir yang kreatif, sebutlah “bola kepala” dan hantu wanita yang terbang, merenggut salah satu karakter dari belakang.

Justru penyutradaraan Shyam Ramsay yang sudah membuat film selama 46 tahun jadi pelaku jatuhnya kualitas Gentayangan. Menolak memperhatikan timing di setiap jump scare, Shyam pun gagal membangun atmosfer, walau hotel dengan sederet patung sebagai properti merupakan modal memadahi guna mencuatkan kesan mencekam berbasis set. Tapi jika bukan karena sang legenda hidup, kita takkan memperoleh barisan kekonyolan. Shyam membiarkan pemainnya berakting buruk, dan acap kali, kombinasi dua aspek itu (penyutradaraan + akting) menghasilkan hiburan tiada tara.

Perihal tersebut, gelar MVP (Most Valuable Player, bukan Multivision Plus) jadi milik Jelita Callebaut yang memerankan Sheila, adik Abimanyu. Menjalani debut yang sayangnya kurang jelita, sang aktris membalikkan tubuh bak bintang iklan sampo sedang mengibaskan rambut yang berkibar-kibar. Dia pun kelabakan kala diminta mengikuti pekikan khas para Scream Queens. Teriakannya dipaksakan, kaku, akibat harus melalui ancang-ancang yang begitu kentara, atau terkadang, memakai dua kali tarikan nafas supaya terdengar panjang. Berkat Jelita, pefroma dangkal Nadine Alexandra sebagai Sofia, istri Abimanyu, kalah menonjol.

Bertengger di posisi kedua adalah Haydar Salishz sebagai Arman yang memukau lewat akting sekaku otot orang yang kurang olahraga. Contohnya sudah dibeberkan oleh trailer. Didorong hantu, Arman tersungkur menabrak meja dalam sebuah pemandangan dibuat-buat konyol. Semakin konyol kala Haydar berteriak datar, “Siapa di situ?!”. Momen emas ini mencapai puncak setelah Kania (Brianna Simorangkir), kekasih Arman, menjawab “Ada orang di sini? Ada orang di situ? Nggak kelihatan tuh. Jangan-jangan...hantu?”. Sungguh materi meme yang sempurna. Kasus berbeda dialami Baim Wong yang berusaha keras memberi layer dalam interpretasinya soal frustrasi. Baim berniat menambah dinamika, menolak asal berteriak, coba variatif memainkan intonasi walau tak selalu berhasil dan kadang menciptakan kelucuan tak disengaja lain.

6 komentar :

Comment Page:
Maksum Solikhin mengatakan...

Om gak review crazy rich asians?

Unknown mengatakan...

Dari trailer nya udh gak menarik ni film ternyata hasiknya memang buruk.

Rasyidharry mengatakan...

@Maksum Lah kan belum rilis di sini.

@Aliando Bukan buruk yang bikin kesel tapi. Masih so-bad-it's-(almost)good. Harusnya bagus kalau bukan banyak masalah di balik layar.

Unknown mengatakan...

Saya dan 4 kawan saya kelar film reflek tepuk tangan. Hiburan rakyat kelas wahid. Terhibur di tiap detiknya dari awal sampai akhir!

We need more movie like this.

Anonim mengatakan...

Momen emas ini mencapai puncak setelah Kania (Brianna Simorangkir), kekasih Arman, menjawab “Ada orang di sini? Ada orang di situ? Nggak kelihatan tuh. Jangan-jangan...hantu?”.


Terbaik sih ini. Lebih bikin merinding.

Anonim mengatakan...

kak review to all the boys i've loved before dong. thankyou:)