MILE 22 (2018)

10 komentar
Melalui Mile 22, Peter Berg (Battleship, Lone Survivor, Deepwater Horizon) jelas ingin membuat The Raid versinya. Berg sendiri mengaku, bekerja bersama Iko Uwais merupakan alasannya membuat film ini. Menurut Gareth Evans, bukan saja aktor, Iko adalah pengarah laga (peran yang juga dilakoni di Mile 22) yang piawai menciptakan koreografi yang tampak menawan di kamera. Artinya, agar kemampuan itu terfasilitasi, gerakan buatannya perlu diperlihatkan seutuh mungkin, alih-alih dimutilasi oleh penyuntingan liar, trik malas yang jamak dipakai, termasuk di sini. Tapi kita sedang membicarakan Iko Uwais. Tidak ada yang bisa menghentikannya melambungkan kualitas sekuen aksi. Dampaknya bisa berkurang, namun tak bisa dilenyapkan. Ditambah kesediaan Berg menyipratkan darah, setiap laga yang melibatkan Iko dalam Mile 22 jauh lebih baik dibanding gabungan semua film aksi generik Hollywood.

Pertanyaannya, apa tujuan penyuntingan liarnya dipilih? Apalagi teknik itu dipakai bukan cuma di tengah baku hantam, melainkan keseluruhan film, menghasilkan momen-momen blink-it-and-you’ll-miss-it, yang berfungsi sebagai penjelas. Penonton dituntut menjaga fokus—yang mana melelahkan bila dilakukan terus menerus selama 94 menit—bila enggan tersesat. Untunglah, seperti telah disinggung, Berg ingin membuat The Raid versinya, yang berarti, mempunyai alur sesederhana mungkin. Sekelompok agen rahasia menempuh perjalanan 22 mil guna mengantar aset yang menyimpan kode perangkat keras berisi lokasi senjata pemusnah masal, sembari menghadapi pasukan yang dikirim musuh. Sesederhana itu.

Salah satu agen, James Silva (Mark Wahlberg), merupakan pria temperamental pengidap ADHD, yang sulit berdiam diri, dan bila suasana terlalu intens, memainkan karet gelang pemberian mendiang sang ibu yang selalu ia kenakan di tangan. Itu dia. Salah satu alasan Berg menerapkan kesan manic bagi temponya yaitu untuk menyelaraskan pergerakan film dengan kondisi mental protagonis. Perlukah? Tentu tidak. Lagipula Mile 22 tidak dituturkan melalui sudut pandang James dan berpusat pada dirinya seorang. James perlu berbagi porsi dengan beberapa tokoh lain.

Pertama Alice Kerr (Lauren Cohan), anggota tim James yang diberi subplot perihal kesulitannya menjaga hubungan dengan sang puteri pasca bercerai. Kisah sampingan ini coba menggambarkan bahwa profesi dalam bidang spionase tak memungkinkan orang-orangnya menjalani hidup normal, namun hanya tampil sekilas tanpa resolusi maupun dampak emosi. Tokoh kedua tentu saja Li Noor (Iko Uwais), polisi Indocarr yang mengkhianati bangsanya dengan membocorkan rahasia pada pihak Amerika.

Ya, anda tidak salah baca. Ketika negara lain seperti Rusia disebut memakai nama aslinya, Indonesia berubah menjadi Indocarr. Rumor menyebutkan, naskah buatan Lea Carpenter awalnya menggunakan nama Indonesia, pun filmnya sempat berniat mengambil gambar di sini. Sayang rencana itu batal akibat semrawutnya kondisi Jakarta serta ketiadaan insentif dari pemerintah. Alhasil, proses dipindah ke Bogota, Kolombia. Bisa dipahami, walau semestinya mereka bisa memikirkan alternatif nama yang lebih baik, sebab Indocarr terdengar seperti showroom mobil.

Memerankan sosok misterius, gaya kalem jelas cocok dilakoni Iko untuk sekarang, hingga kapasitas akting dramatiknya pelan-pelan meningkat suatu hari nanti. Paling tidak saya lebih nyaman menyaksikannya mengucap sepatah dua patah kata daripada akting berlebihan Mark Wahlberg, dengan mata melotot yang menggelikan serta pengucapan kalimat dibuat-buat selaku usaha mati-matian mengesankan sosok hiperaktif. Sedangkan pada porsi laga jelas Iko tak tertandingi. Menjalani mayoritas stunt-nya dengan tangan diborgol, dia menyayat tubuh lawan, meremukkan tulang mereka, bergerak indah bak penari menarikan tarian mematikan, membuktikan kapasitas sebagai bintang laga terbaik masa kini.

Kembali menyinggung persoalan penyuntingan kilat dan keliaran tempo, tampaknya tujuan Berg memilih teknik tersebut supaya mengurangi penurunan tensi, menjaga filmnya sepadat mungkin. Sense of urgency. Itu yang dicari, dan itu pula yang berhasil diciptakan. Walau kadang terasa bagai tes daya tahan, selama anda mampu bertahan, Mile 22 akan menjadi sajian laga spionase cepat, liar sekaligus cekatan, yang menolak melepaskan penonton dari cengkeraman intensitasnya. Berg paham betul alurnya setipis kertas, lalu memilih memacu filmnya agar penonton tidak berkesempatan menyadari itu kemudian merasa bosan.

10 komentar :

Comment Page:
Badminton Battlezone mengatakan...

Ya ampun indocarr lhooh hahaha...td jg kepikiran showroom mobil.

Menurut bang Rasyid,kalo head to head di film box office. Lebih oke iko atau joe bang?

Rasyidharry mengatakan...

Jelas Iko. Trio Iko-Yayan-Cecep (khususnya Iko) levelnya udah fight coreographer kelas dunia, bukan cuma jago bela diri, tahu juga gerakan mana yang cakep di depan kamera.

Hilman Sky mengatakan...

entah kenapa filmnya serasa "kosong"

Ricky Manurung mengatakan...

Sy sih yakin andai jadi ini film dibuat trilogi akan sukses..mungkin Yayan dan Cecep bisa bergabung...hehehe

agoesinema mengatakan...

Kekurangan film ini peter berg tdk bisa memaksimalkan koreo yg sdh dibuat Iko dan timnya. Sy malah lebih menikmati behind the scene coreography yg dirancang Iko dan timnya. Pergerakan kamera terlalu liar dan shaky, andai ini disutradarai Gareth Evans mungkin lain cerita.
Peter Berg memang bukan sutradara kacangan tp utk film action yg memadukan dgn martial art beliau harus berguru dgn Gareth. Tp overal film ini masih layak ditonton bahkan sy berharap tetap menjadi trilogi seperti yg sdh direncanakan.

Oya satu lagi, selain menyia-nyiakan potensi koreo dari Iko, Berg jg menyia-nyiakan kehadiran Rousey dijajaran castnya.. sayang sekali

stanleu mengatakan...

Kerasa agak kosong si filmnya, cut nya nyaris bikin pusing kek resident evil yg final chapter tapi untung disini koreo nya bagus jdi gasampe mabok gitu

tegar mengatakan...

IMHO, menurut sy ini film peter berg terburuk sejauh ini. ini lebih mirip film2 kelas B nya nicholas cage/bruce willis era sekarang. kalau gak ada iko uwais, sy yakin movfreak malas jg ngereview, hehehe..ga nyangka aja film ini di sutradarai oleh sutradara lone survivor atau deepwater horizon, kaya nya film ini di buat hanya untuk iko uwais rules! aksi dan akting iko melesat pesat! tim koreonya jg tambah mantab lah..harusnya iko aja yg jadi pemeran utamanya, pasti lebih keren. kasian jg mba ronda rousey dan pakde john malkovich di sia2kan gitu..mudah2an antoine fuqua nonton film ini, dan ngajak iko uwais main di filmnya, hehehe

Rasyidharry mengatakan...

@Ricky Film kedua, Iko vs Mark, udah tinggal jalan sih.

@agoesinema Ya Ronda mestinya jadi musuh, bisa kesempatan lawan Iko. Jadi protagonis ya jelas numpang lewat.

@tegar Tetep review dong, soalnya Peter Berg hehe. Nggak terburuk, masih ada Battleship yang ngaco itu. Berasa jauh soalnya tiga film terakhir dia keren semua.

Muhammad Faisal Aulia mengatakan...

Semenjak lone survivor yang mantap kuadrat, entah Peter Berg makin kesini makin menurun.

Btw Drathstoke digarap sm Gareth Evan jadi ga bang?

Rasyidharry mengatakan...

@Muhammad Belum nonton Patriot Day sih, tapi suka banget Deepwater Horizon. Berg itu kuat kalau cerita simple, grounded, ada unsur humanity. Makanya begitu macam Battleship & Mile 22 ada yang kurang.

Nggak jadi, filmnya aja batal tuh.