3 DARA 2 (2018)

1 komentar
Komedi adalah “makhluk” yang sulit ditaklukkan, tapi berkomedi sambil menuturkan pesan ada di tingkatan berbeda. Sekuel dari 3 Dara yang tiga tahun lalu sukses mengumpulkan lebih dari 666 ribu penonton ini hendak menunjukkan pada para misogynist, male chauvinist, hingga pemuja toxic masculinity bahwa pekerjaan rumah tangga yang kerap dibebankan pada wanita sungguh bukan main-main. Belum tentu pria sanggup menjalaninya. Tapi cara 3 Dara 2 melucu justru membuatnya gagal meruntuhkan dinding pembatas  just-for-fun-fiction supaya pesannya dapat ditanggapi serius.

Sejatinya, trio penulis naskah: Monty Tiwa (Rompis, Critical Eleven), Nataya Bagya (7/24, 3 Dara), dan Fatmaningsih Bustamar (Demi Cinta, Meet Me After Sunset), telah memilih jalur yang tepat, bahkan cerdik guna mengembangkan cerita tanpa keluar dari persoalan kesetaran gender dan kisah “pria menjadi wanita”. Masih mengetengahkan Affandy (Tora Sudiro), Jay (Adipati Dolken), dan Richard (Tanta Ginting), kali ini, alih-alih berubah jadi wanita, mereka mesti bertukar peran dengan para istri, alias menjadi bapak rumah tangga.

Akibat kegagalan investasi, mereka pun berhutang puluhan milyar, harus terusir dari rumah, dan terpaksa tinggal di rumah Eyang Putri (Cut Mini), ibunda Aniek (Fanny Fabriana), istri Affandy. Demi melunasi hutang tersebut, Aniek bersama Grace (Ovi Dian) dan Kasih (Rania Putrisari) memutuskan bekerja, sementara ketiga suami gantian mengurus hal-hal rumah tangga. Affandy mencuci, Jay bersih-bersih, Richard berbelanja dan memasak.  Mereka semakin kerepotan akibat keberadaan Jentu (Soleh Solihun), si penjaga rumah yang bertindak semena-mena setelah diberi wewenang kuasa oleh Eyang Putri.

Pondasi memadahi telah ditempatkan, pun sebuah pernyataan dari Windy (Rianti Cartwright) sang psikolog cukup menekankan pesan yang filmnya hendak utarakan (melalui perspektif biologis, sebagai dua jenis kelamin, pria dan wanita jauh berbeda, namun tidak dari sisi gender beserta peran-perannya), tapi kemudian 3 Dara 2 melanglang buana terlalu jauh. Kebodohan Affandy-Jay-Richard dalam usaha menebus cicilan rumah justru dikedepankan ketimbang pergulatan ketiganya sebagai bapak rumah tangga, yang sebatas ditampilkan melalui montase singkat.

Semakin kisahnya bergulir, semakin repetitif, di mana pola “berbuat kebodohan-gagal-dimarahi-menyesal-ulangi kebodohan” disajikan secara terus menerus. Daripada proses belajar gradual, karakternya dibiarkan tanpa perubahan sampai konklusi. Sebuah konklusi bertabur twist yang menempuh jalan pintas guna menyelesaikan segala permasalahan. Twist yang mengejutkan? Ya, karena sulit dipercaya 3 Dara 2 menerapkan resolusi semalas itu.

Dipandang selaku hiburan, balutan humornya bekerja cukup baik. Beberapa ide kentara menunjukkan para penulisnya lebih mencurahkan usaha dan kreativitas dalam membalut komedi daripada konklusi kisah. Tidak semua bekerja maksimal, tapi berkat performa sekaligus chemistry menghibur Tora, Adipati, dan Tanta, setidaknya saya bisa dibuat terus terjaga. Belum lagi Cut Mini yang senantiasa menguasai tiap momen kemunculannya dengan kejenakaan "mengerikan". Sementara Fanny Fabriana mampu melakoni peran sebagai jangkar bagi elemen dramatik filmnya.  

Tapi sekali lagi, 3 Dara 2 ingin tampil lebih. Karenanya, gaya “dilebih-lebihkan” dari leluconnya mencuatkan masalah. Benar komedi harus dilebih-lebihkan selaku pendekatan hiperbolis terhadap realita supaya kelucuan tercipta. Namun hiperbola di sini, yang membuat masalah tokoh-tokohnya nampak konyol, berpotensi “membentengi” pihak-pihak yang dikritisi. Mereka bakal berpikir “Situasi begini takkan terjadi di kehidupan nyata”, atau “Kenyataannya takkan seberat ini” kala menyaksikan susah payahnya Affandy, Jay, dan Richard beradaptasi sebagai bapak rumah tangga, mayoritas diproduksi oleh perilaku absurd Jentu, yang memang benar, takkan kita temui di realita. Para misogynist dan male chauvinist pun rasanya hanya akan terkekeh.

1 komentar :

Comment Page:
susan mengatakan...

Kemarin g nnton premiere Bohemian Rhapsody ya min 😁