ASIH (2018)

8 komentar
Asih membuktikan 2 hal: Awi Suryadi (dwilogi Danur) selalu berusaha memperbaiki kekurangannya dan dia pantas mendapat franchise, atau setidaknya naskah yang lebih baik. Pasca sekelumit peningkatan di Danur 2: Maddah, di sini Awi menyempurnakan penyutradaraannya, tahu kapan waktunya memainkan keheningan guna membangun atmosfer, kapan mengejutkan penonton lewat jump scare, serta bagaimana melakukannya. Patut disayangkan departemen naskah mencoreng pencapaian tersebut.

Bertindak selaku prekuel yang terjadi 37 tahun sebelum film pertama, Asih mengisahkan asal-usul sang titular character (Shareefa Daanish), meski pada kenyataannya, elemen itu cuma muncul dalam satu flashback singkat. Naskah buatan Lele Laila (Keluarga Tak Kasat Mata, dwilogi Danur), yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Risa Saraswati, bahkan tidak berupaya menjelaskan keperluan selipan fakta mengenai perubahan nama Kasih menjad Asih, sebuah informasi yang tak berperan dalam keseluruhan plot.

Sisanya serupa judul-judul lain di Danur Universe, yakni kompilasi teror demi teror yang ditempel paksa tanpa cerita kuat sebagai perekat. Setelah adegan pembuka kala Asih membunuh bayinya sebelum akhirnya bunuh diri, kita dibawa mengunjungi satu keluarga kecil: pasangan suami-istri, Puspita (Citra Kirana) dan Andi (Darius Sinathrya) beserta sang ibu (Marini Soerjosoemarno). Pasutri ini tengah menanti kelahiran anak pertama mereka. Protagonis yang akan memiliki bayi ketika sang antagonis kehilangan bayi jelas bukan pertanda baik.

Asih menebar beberapa benih konflik menarik di awal. Kepikunan ditambah penglihatan Ibunda Andi yang mulai menurun, rasa takut berlebih Puspita akibat mendengar cerita mistis dari sang bidan (Djenar Maesa Ayu), semua itu lebih dari cukup selaku pangkal perpecahan keluarga yang diakibatkan peristiwa mistis, atau tepatnya, ketakutan terhadapnya. Tapi benih-benih menjanjikan itu ditinggal begitu saja seiring penolakan penulis naskah untuk repot-repot menciptakan cerita sungguhan. Menjaga supaya filmnya terus berjalan (baca: mengisi durasi) merupakan fokus tunggal.

Poin menarik naskah Asih hanya saat beberapa kepercayaan mistis lokal turut mengambil peran, yang dapat menghadirkan rasa ngeri bagi penonton yang familiar dengan hal-hal macam suara anak ayam atau tiang listrik yang dipukul. Sisanya nihil. Usaha menjembatani film ini dengan Danur: I Can See Ghosts (2017) pun berujung kekonyolan. Mengapa Asih meningglkan sisirnya?

Di sinilah kapasitas Awi mengambil alih. Dibebani tugas menghabiskan durasi (yang cuma 77 menit), sang sutradara meninggalkan pendekatan mengesalkan yang jadi andalan seri Danur, di mana jump scare berisik menghantam tiap beberapa detik. Kali ini Awi justru berani menyusun atmosfer melalui keheningan plus lagu Indung Indung yang terdengar lebih creepy dibanding Boneka Abdi.

Begitu Asih muncul, musik garapan Ricky Lionardi (Sakral, Rasuk) menolak latah untuk langsung menggebrak. Awi menyimpan gebrakan itu khusus bagi deretan “menu utama” ketika jump scare dilontarkan pada kesempatan  tak terduga, yang sesuai formula di “Buku Panduan James Wan”, saat para hantu bukan sekedar “setor muka”, melainkan menyerang secara agresif. Saya terenta beberapa kali dibuatnya. Bahkan, Awi sanggup memberi sebuah momen yang benar-benar menyeramkan, bukan sebatas mengagetkan. Momen itu berupa sekelebat penampakan Asih, yang mungkin takkan disadari banyak penonton.

Sayang, sekali lagi, pencapaian Awi “dikhianati” kemalasan skenarionya begitu Asih memasuki babak ketiga yang bak tanpa puncak intensitas. Seolah filmnya usai karena penulis naskahnya sudah kehabisan ide, membiarkan teror Asih dihentikan oleh doa ala kadarnya dan teriakan karakter. Secara menyeluruh, Asih memang membuktikan bahwa seri Danur, walau perlahan, konsisten mengalami peningkatan. Namun bila mereka tak kunjung memperbaiki kualitas naskah, sulit membayangkan franchise ini bakal memproduksi installment yang layak menyandang status “film bagus”. Sementara, paling tidak Asih bukan satu lagi horor berisik mengesalkan atau parade repetitif bagi ekspresi gila Shareefa Daanish.

8 komentar :

Comment Page:
Alvan Muqorrobin Assegaf mengatakan...

Menurut saya ada beberapa kemungkinan knp pnulis scriptnya tetep lele laila yang kapasitasnya tidak berkembang.
1. Pak Manoj selaku produser terlalu banyak bikin film hingga tidak membaca scriptnya secara keseluruhan.Karena merasa Asih udah punya hype dri Danur, jdi ia percaya naskahnya pasti bagus.
2. Pak Manoj selaku produser terlalu sibuk, hingga tidak melihat ratting dan banyaknya kritik pada filmnya. Yg ia pedulikan hanya jumlah penonton yg bisa dijangkau.
3. Pak Manoj tidak mau rugi dengan mengganti penulis script.

Pada akhirnya kenapa penulis scriptnya tetep Lele Laila dg kapasitasnya yg masih demikian, itu tidak jauh2 dri permintaan produser. So wajar klo yg belajar cuma sang sutradara.

Film ini emang lemah bgt di bgian cerita, motivasinya lemah. Contoh kyak si dukun, dibuat buta knp hrus dg luka2 buatan macam itu? Trus motivasi si Asih neror keluarga itu kurang kuat. Klo niatnya mau nyulik si bayi, ya tinggal ambil aja, knp hrus nyerang emaknya, neneknya. Lucu deh jdinya. Maaf mas cuma menumpahkan kekesalan setelah nonton film ini.

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

kalo liat dr efektifitas memang asih lebih kuat dari danur
ya karena durasi yg cuma sebentar jadi jumpscare pun sedikit
memang munculnya asih yg jalan jalan sambil nyanyi atau cuman diam sampe banyak penonton ga ngeuh ada penampakannya
cuman kurang aja, ga buat saya merinding
jumpscare terbaik adalah di lemari
yg kursi bagus, cuman sayang sudah muncul di trailer
pembawaan mitos bagus, tp motivasi asih nyerang keluarganya citra kirana juga ga jelas
kalo dia pengen anak, kenapa dia dulu bunuh anaknya
saya si compare ama a mothers love nya joko anwar
motivasi wewe gombel untuk nyulik anaknya jelas, karena dia gak bisa punya anak

Rasyidharry mengatakan...

@Alvan Pertimbangannya selalu sama, "ngapain repot bikin naskah oke, yang makan waktu bulanan, kalau begini aja penonton rame & pada suka?". Kalau soal logika, film horor sebenernya nggak perlu seketat itu. Tetap bisa berkelit ke alasan "setan itu jahat, cuma pengen mengacau sebisa mungkin, jadi bebas ngapain aja". Lain cerita kalau yang pakai "aturan", misal Lights Out, wajib detail itu.

@Teguh Asih bunuh anaknya sih karena depresi, kondisi psikis yang memang nggak semudah itu dipandang pake logika. Ya kurang lebih sama kayak Wewe-nya Joko, bedanya, naskah Asih nggak mampu bikin motivasi itu jelas.

Chan hadinata mengatakan...

Serius mas.. kalo mothers lovenya jokan ada reviewnya.. rame lagi tuh pada komen dgn asumsi masing2 kyk PS
#maksa😁
Tau lah fimnya jokan bnyk yg dibuat tersesat😁

Vsf mengatakan...

Tidak lebih baik dari DANUR2. Alex Abbad ganggu banget, orang sakti yg tdk pny mata tp tau jalan rumah dan denah rumah dmn dapur dmn kamar mandi dan pintu keluar, pdhl baru prtama kali masuk rumah itu. Gk masuk akal sekali, riasan matanya ganggu. Adegan kesurupan Citra Kirana jg ganggu abis, gk lebih baik dari MUNAFIK1. Asih bunuh diri pake sisir? Gk masuk akal bgt, emg bisa potong nadi cuma pake sisir? Film GAK JELAS. BUANG BUANG DUIT..

Alvan Muqorrobin Assegaf mengatakan...

@Rasyid Setan emang jahat, tapi yang diceritain dalam film ini kan hantu. Bukan setan. Murni kisah arwah kuntilanak yang merasa bersalah telah membunuh anaknya sendiri sehingga ia menculik anak2. Tapi gak tahu kenapa tujuannya meneror itu gak jelas bgt, klo untuk mengalihkan perhatian/memainkan psikis keluarga yg diteror supaya bisa ngambil si anak sih gak masalah, tapi kalo neror keluarga tanpa alasan, yg nonton juga pasting mengernyitkan dahi. Dan satu lagi, sebagai spin of, ceritanya kurang dalam menggalih siapa sih sosok asih. Jawabannya sama kayak di danur pertama, kalau jawabannya masih sama, kenapa harus ada spin off. Di Danur pertama kita udah tahu klo asih menanggung malu karena melahirkan di luar nikah hingga membunuh bayinya serta bunuh diri. Di sini kita dikasih tahu lagi, bedanya cuma ditambahin gmn penderitaannya diusir dari kampung, sama durasi membunuh bayinya diperlama. Yaaa itu opini saya sih. Tetep berharap semoga Danur 3 bisa ada progres bukan hanya di penyutradaraan, tapi juga naskah. Semoga juga spin ofnya bisa lebih experimental hehe. Karena horor dari materi risa saraswati menurutku unik-unik. Punya potensi jadi pembeda dengan horor kebanyakan kalau digarap dengan solid.

BUN~~ mengatakan...

Bikin film gak gampang masnya:)

Rasyidharry mengatakan...

@Alvan Wah kalau ini udah pokok pembahasan yang beda lagi. Sudah masuk ke ranah perspektif orang soal hantu/setan/iblis dsb yang pastinya berlainan. Oh, dan kalau kurang menggali soal Asih memang bener (udah disebut di review), dan sayangnya itu selalu jadi penyakit spin-off horor, mau Danur, sampai Conjuring Universe.