BAD TIMES AT THE EL ROYALE (2018)

15 komentar
Banyak film bermasalah akibat menjadikan “kebetulan” sebagai jalan pintas malas. Karakter-karakter kebetulan bertemu, terlibat masalah yang dipicu serta diakhiri oleh kebetulan. Tapi melalui Bad Times at the El Royale, Drew Goddard (The Cabin in the Woods) selaku sutradara merangkap penulis naskah, justru sengaja memainkan kondisi tersebut. Bagaimana jika kebetulan (atau nasib sial) membawa sekelompok orang yang masing-masing menyimpan intensi rahasia, saling bersilangan jalan di saat yang kurang tepat? As the title suggests, what a bad time indeed at the El Royale.

El Royale merupakan hotel yang terletak di perbatasan, di mana sebelah sisi berada di California, sementara sisi lainnya di Nevada (terinspirasi Cal Neva Resort & Casino). Empat tamu: Seymour Sullivan (Jon Hamm) si salesman rasis, Daniel Flynn (Jeff Bridges) si Pendeta Katolik, Darlene Sweet (Cynthia Erivo) si penyanyi  berbakat, dan gadis hippie bernama Emily (Dakota Johnson); plus seorang karyawan hotel bernama Miles Miller (Lewis Pullman). Mereka menyimpan niatan terselubung juga masa lalu kelam, yang satu demi satu terungkap di antara title cards bertuliskan nomor kamar tempat masing-masing tokoh menginap (atau nama atau lokasi bagi tokoh tanpa kamar).

Kisahnya mulai menyusuri arah tak terduga tatkala rahasia El Royale terbongkar, yang akhirnya turut membongkar rahasia karakternya. Saya takkan menyebut rahasia seperti apa (trailer-nya telah membongkar beberapa poin), namun satu hal yang bisa saya beri tahu, bahwa titik balik alurnya ditandai momen pembuktian Goddard terkait kapasitas penyutradaraannya. Momen tersebut berupa single take melibatkan mise-en-scène memikat yang memperlihatkan situasi dalam 2 ruangan terpisah, disusun dengan intensitas ketat, sinematografi memukau garapan Seamus McGarvey (Atonement, The Avengers, Nocturnal Animals) di mana pemakaian pantulan cermin jadi highlight, pula cerdiknya pemakaian musik Goddard. Bicara soal musik, pilihan lagu-lagu Goddard plus iringan scoring gubahan Michael Giacchino (Up, Spider-Man: Homecoming, War for the Planet of the Apes) bakal membuatmu tanpa sadar menghentakkan kaki, terhipnotis oleh alunan musik dari era 1950-1960an.

Tapi Bad Times at the El Royale bukan sebatas gaya. Beberapa penonton mungkin bakal menganggapnya sekedar sajian Tarantino-esque berdurasi sama panjang (141 menit) namun dengan dialog kalah tajam untuk menjaga atensi penonton mengarungi perjalanan nyaris 2,5 jam. Tidak sepenuhnya keliru. Durasinya bisa saja dipangkas, meski sejatinya, perjalanan panjang itu memang harga yang harus dibayar dalam upaya menghadirkan kekayaan penokohan. Dan sungguh harga yang setimpal.

Pemakaian flashback menghasilkan kejelasan pemahaman bagi motivasi tiap individu, sekaligus memberi mereka karakterisasi unik yang saling berlainan. Bahkan peran kecil juga memiliki pengaruh, contohnya Buddy Sunday (Xavier Dolan) si produser musik, yang berfungsi membangun kecurigaan serta ketidaknyamanan Darlene kepada pria, khususnya pria pemilik kuasa dan pemegang otoritas. Elemen tersebut berguna pula menciptakan pertarungan psikologis di paruh akhir, yang menghantarkan Bad Times at the El Royale menuju konklusi.

Selama 141 menit, Goddard senantiasa punya cara mempertahankan antusiasme penonton. Misalnya saat muncul flashback di tengah klimaks, yang otomatis memangkas intensitas, sebelum Goddard berhasil membawanya kembali dengan memberi salah satu karakter momen paling badass sepanjang film. Pun menyaksikan jajaran penampilnya saling mengolah peran terasa amat menyenangkan. Bridges seperti biasa menjadi pria tua bersuara growly yang lelah oleh kehidupan; Erivo sebagai penyanyi bersuara emas yang sulit mempercayai dunia; Johnson si wanita tangguh yang tak segan memberantas semua penghalang; Hamm sang mesin kharisma; dan Chris Hemsworth sebagai Billy Lee, pemimpin cult kejam sarat pesona yang gemar memamerkan perut six pack guna memikat para pengikut wanitanya.

Kejutan terbesar dalam Bad Times at the El Royale adalah keberadaan alegori keagamaan. Sejak kemunculan pertama Billy Lee yang terlihat bak kedatangan sesosok messiah, hingga bagaimana filmnya memasang perspetif mengenai Tuhan yang tidak mengenal Pendeta palsu atau Nabi palsu. Hanya ada manusia baik dan buruk, dan Tuhan akan dengan senang hati mengulurkan bantuan bagi sisi baik, meski bantuan itu hadir melalui jalan yang misterius.

15 komentar :

Comment Page:
Nas mengatakan...

Thx ripiunya.

Saran gan, di ujung ripiunya sebaiknya kasih rangkumam secara keseluruhan.

Rasyidharry mengatakan...

Dikasih rangkuman mungkin bisa lebih membantu, tapi resiko makin sedikit yang baca tulisan secara menyeluruh sih.

Unknown mengatakan...

Se7, eh ikutan aja gw😂
btw ngga review hunter killer bg? jawab ya hehe🙈

Luqman mengatakan...

Memakai formula "kebetulan" di film ini jadi terasa ada mirip ama pendekatan2 yang dipakai Coen Brothers di film2nya ya kang Rasyid?

Unknown mengatakan...

Baru aja nonton yang jam 22.00
Ini film keren abis haha. Mirip2 h8full 8 sih. Tapi lebih keren menurut sy

Unknown mengatakan...

Bakal menang oscar ga ya kira2?

Rasyidharry mengatakan...

@Totti Nope, not interested at all. Dari pemain, review, premis, nggak tertarik.

@hergia Ada kemiripan vibe, tapi nggak seekstrim itu.

@Rahmad Nggak akan. Bahkan buat nominasi (kategori apa pun), berani bilang kemungkinannnya mendekati 0%.

Abdi_Khaliq mengatakan...

Kok perolehan Box Ofiice Amerikanya rada-rada Flop ya bang? Padahal rating imdb-nya cukup tinggi.

Rasyidharry mengatakan...

Simply karena nggak ada korelasi pastinya sih, rating (penonton atau kritikus) dengan perolehan BO. Durasi panjang & gaya yang nggak terlalu "bersahabat" jadi faktor flopnya.

Zulfikar Knight mengatakan...

SPOILER!!









jadi tu film isinya apaan ya?

Badminton Battlezone mengatakan...

Hahahahaa saya juga penasaran nih. Kirain mo disetel,malah main buang aja ke api. Bang Rasyid ada pencerahan?

Rasyidharry mengatakan...

Cukup yakin kalau itu video affair JFK & Marilyn Monroe sih.

Beny Kristia mengatakan...

Goddard mungkin bisa dibilang pintar memainkan intensitas alur permainan dan ketegangan dalam film. Diawal, mungkin dari prolog sebelum judul bisa saya kira bakal menjadi vibe-vibe dark comedy ala coen brother. Namun, makin lama makin kesini mulai terlihat tuh menggeser komedi-komedi gelap mulai dari babak Room emily sudah terkesan vibe ketegangan khas film-film thriller. (pendapat audiens yang tidak nonton trailer terlebih dahulu, hahaha)

Anonim mengatakan...

pgn nntn,tp kyknya berat.takut g mudeng.��

Unknown mengatakan...

Baru nonton tadi malam. Bagus nih film. Feel nya berasa seperti nonton The Hateful Eight. Meskipun THE sedikit lebih baik, tapi Bad Times benar-benar film yg menyenangkan dan saya tidak keberatan menonton ulang di lain waktu. :)