DANCING IN THE RAIN (2018)

14 komentar
Sungguh hidup seperti putaran roda yang sulit ditebak arahnya. Baru tiga minggu lalu, Screenplay Films baru saja mempersembahkan karya terbaik mereka lewat Something in Between (review), sekarang muncul Dancing in the Rain sebagai salah satu yang terburuk. Film karya sutradara Rudi Aryanto (Surat Cinta untuk Starla the Movie, The Perfect Husband) ini mendobrak batas kengawuran bertutur disease porn. Setelah sempat beralih ke tangan Titien Wattimena, departemen penulisan naskah dikembalikan pada duo Tisa TS-Sukhdev Singh (Magic Hour, London Love Story) yang beranggapan bahwa penyakit merupakan satu-satunya penghasil penderitaan. Padahal, mereka yang sehat pun bisa menderita. Penonton film ini misalnya.

Saya takkan mengaku paham betul mengenai segala aspek medis film ini. Saya bukan ahli, bukan dokter, bukan pula psikolog. Apalah artinya ilmu saya yang butuh waktu 7,5 tahun menyelesaikan studi psikologi dibanding psikolog profesional yang (konon) jadi konsultan naskah sekaligus pendamping sepanjang proses produksi. Saya hanya bisa menyebut bahwa merujuk pada definisi DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition), akting Dimas Anggara sebagai pengidap gangguan spektrum autisme telah memenuhi simtoma-simtoma yang tertulis. Tapi saya tak bisa mengukur akurasinya secara detail, apalagi kondisi penderita autisme amat beragam. Satu hal pasti, Dimas melakukan yang ia bisa, sesuai keinginan sutradara dan petunjuk sang psikolog dalam proses yang saya yakin cukup singkat.

Pun saya yakin, Tisa dan Sukhdev melakukan wawancara kepada psikolog. Bukan karena naskahnya tersaji mendalam, namun beberapa kalimat terdengar bagai hasil verbatim (menulis ulang kata per kata tanpa pengubahan) dari wawancara formal, ketimbang ucapan manusia normal. Tengok saja voice over Ayu Dyah Pasha yang memerankan psikolog. Itu bukan ucapan psikolog pada klien. Itu pembacaan halaman Wikipedia.

Mari beranjak menuju alurnya, yang mengisahkan penderita spektrum autisme bernama Banyu (Dimas Anggara), yang akibat kondisinya, sulit meneukan teman. Di sekolah ia dijauhi, sementara di lingkungan sekitar rumahnya, ia jadi korban bully. Sampai ia bertemu Radin (Deva Mahenra) yang tumbuh sebagai sahabat sekaligus pelindung bagi Banyu. Kemudian Kinara (Bunga Zainal) turut masuk ke hidup mereka, bahkan saat beranjak memasuki masa kuliah, menjalin cinta dengan Radin. Untunglah film ini urung masuk ke ranah cinta segitiga, sebab kebersamaan Radin-Kinara amat disukai oleh Banyu.

Sebelum kehadiran Radin dan Kinara, Banyu hanya memiliki Eyang Uti (Christine Hakim), yang luar biasa sabar merawat sang cucu pasca ditelantarkan kedua orang tuanya. Tentu Christine Hakim merupakan hal terbaik Dancing in the Rain. Caranya meregulasi emosi luar biasa. Momen favorit saya adalah saat Katrin (Djenar Maesa Ayu), ibu Radin, mendatanginya, memaksa agar ia bersedia memutus pertemanan Banyu dengan Radin. Eyang berusaha sabar, pelan-pelan bicara, mempertahankan senyum, walau kita bisa merasakan amarah siap meledak. Hingga di satu titik ia tak kuat lagi, suaranya “pecah”, namun tak lama. Kembali ia mengatur emosinya. Such a bravura performance.

Tapi itu urung menyembunyikan keburukan naskahnya, termasuk penulisan karakter Eyang Uti. Dia betul-betul menyayangi Banyu, satu dari sedikit orang yang mengerti cara menanganinya, sehingga bagaimana mungkin ia seteledor itu meninggalkan Banyu sendirian di pasar? Tentu keteledoran itu dimaksudkan guna menciptakan momen dramatis, tanpa peduli masuk akal atau tidak. Pola serupa terus diulang. Di cafe, beberapa pria dengan lantang mencela Banyu (yang datang bersama Radin dan Kirana), menyebutnya idiot, mengejek gaya berpakaiannya. That’s a terrible soap opera level of dramatization. Sama halnya dengan penokohan dangkal Katrin, yang tak ubahnya sosok ibu antagonis tanpa nurani di sinetron, yang bicara sendiri di depan kamera mengungkapkan rencana jahatnya.

Saya sering kesal mendengar omongan “Ini film kelas FTV” atau “Sinetron banget deh filmya”. Kalimat-kalimat itu adalah simplifikasi rendahan. Tapi Dancing in the Rain benar-benar cocok akan deskripsi tersebut. Naskahnya eksis di universe yang sama dengan Jenazah Mandor Kejam Mati Terkubur Cor-Coran Dan Tertimpa Meteor. Tisa dan Sukhdev membuat semua karakternya terjangkit penyakit, entah agar hidup mereka lebih menderita, memberi pelajaran pada antagonis, atau menghadirkan haru lewat sebuah pengorbanan. Sekalinya mencoba memancing haru melalui momen tanpa penyakit, hasilnya justru canggung, ketika sang pembantu menyanyikan Lelo Ledhung ketika Banyu tengah menangis di dekapan Eyang Uti.

Menciptakan persamaan nasib di antara ketiga protagonis turut melucuti pesan penting mengenai perbedaan, bahwa kita harus memperlakukan semua orang sama, dan walau kita dianggap “normal” dan lebih sehat, bukan berarti kita berderajat lebih tinggi. Tapi apa peduli film yang seenaknya menggambarkan proses transplantasi jantung (silahkan anda cari dari beragam sumber mengenai detail prosedurnya) mengenai pesan? Setidaknya, saya bersyukur Rudi Aryanto masih mampu membungkus filmnya dalam tempo dinamis, enggan tampil bertele-tele dan membuang waktu. Karena jika tidak, menonton film ini akan semakin terasa membuang waktu.

14 komentar :

Comment Page:
Denny mengatakan...

Bang, review film tengkorak donk.

Rasyidharry mengatakan...

Tengkorak udah review kok dari setahun lalu malah.

Anonim mengatakan...

The night comes for us bang

Panca mengatakan...

Haha.. Tulisan Reviewnya cukup kejam tapi tetap dapet 1 1/2 bintang. Apa yg menyebabkan film ini gak masuk Sangat Jelek mas??

Rasyidharry mengatakan...

Christine Hakim. Kalau nggak ada beliau ya cuma 0.5-1

Unknown mengatakan...

Sayang ya padahal lihat trailer nya Bakal menyentuh banget kayak trailer sabtu bersama bapak

Mofan Rizaldi mengatakan...

Jenazah mandor kejam mati terkubur cor-coran tertimbun meteor!? wkwkwk... kirain bakalan bagus nih, secara kan kemaren baca review Something in Between kan lumayan kak... eh taunya malah gini... :)
suka banget kalo baca review film jelek gini... tapi lebih suka kalo lagi baca review film bagus, lokal pula...
rekomendasi film indonesia tahun kemaren yang bagus2 dong kak... :)

Mofan Rizaldi mengatakan...

setuju!!!
liat trailernya kok kayaknya bagus ya... eh, taunya...

Rasyidharry mengatakan...

@Aliando Well, dari trailer udah kelihatan standar disease porn sih, nggak nyangka aja sengaco ini.

@Mofan Beda penulis naskah soalnya. Pengaruhnya luar biasa.
Buat tahun 2017 bisa cek list ini: http://movfreak.blogspot.com/2017/12/15-film-indonesia-terpilih-2017.html

Tommy Ramadanur mengatakan...

1. Menurut Bang Rasyid, Aktingnya Joshua Rundengan lebih bagus disini atau Naura & Genk Juara?

2. Kayaknya salah satu yang bikin film ini jelek (selain kisahnya yang terlalu FTV) yaitu ending tokoh Kinara yang Gantung. Bang Rasyid ada merasa begitu nggak?

3. Bagaimana dengan akting Greesella Adhalia (Kinara Kecil) & Gilang Olivier (Banyu Kecil)?

4. Untuk Naskah Tisa TS + Sukhdev Singh, bagusan ini, SCUS, atau TPH?

Rasyidharry mengatakan...

1.Joshua di sini bagus, misal ada interpretasi autisme yang kurang tepat, itu bukan salah dia.

2.Masalahnya bukan di ending nggantung, tapi apa keperluannya dia dikasih penyakit?

3.They're pretty natural. Nggak ada masalah sama akting pemain ciliknya.

4.Jelas ini paling ancur lah. SCUS paling waras, tapi nggak bagus juga.

Anonim mengatakan...

Baru paham sekarang kalo Asep Kusdinar itu spesialis film-film Screenplay setting luar negeri sedangkan Rudi Aryanto itu untuk film Screenplay bersetting dalam negeri.

Anonim mengatakan...

Kadang ilmu yang terlalu tinggi pun payah juga kalo kurang ngerti masalah cerita. ni si om admin bicara detail kenyataan sama film yang jelas-jelas hanya penokohan. Ibarat orang tua kita dulu menceritakan dongeng, kita pasti cepat nangkap isi cerita dan pesannya. Harusnya setiap penonton itu berfikir seperti itu. tangkap isi ceritanya. bukan mencaci masalah teknis. makanya kalo nonton filmnya itu gambaran umumnya yg diperhatikan, bukan detailnya (kecuali film yg menceritakan ke-detail-an, misalnya detektif, dll).

Terkadang apa yang dikatakan komentator film sesuai emosinya saat menonton film. bisa saja ketika kita nonton, bagus kok filmnya. jadi itu.

Anonim mengatakan...

Gw cuma mau bilang aja... sebagai seseorang yang memiliki autisme, nih film cuma mengulangi stereotipe-stereotipe yang diulangi semenjak Rain Man tahun 80
. Hyper-intelligent in scientific fields, likes to bang heads, has that blank stare. Lo bakal liat gua di jalanan dan gak percaya gua itu autis, ya karna film ini.