FIRST MAN (2018)

10 komentar
Tokoh utama First Man ambil bagian dalam misi menuju bulan. Sebuah destinasi teramat jauh sekaligus misterius, apalagi 49 tahun lalu ketika teknologi NASA bahkan kalah canggih dibanding smartphone di saku celana kita. Tapi dalam mengadaptasi biografi First Man: The Life of Neil A. Armstrong karya James R. Hansen, sutradara Damien Chazelle (Whiplash, La La Land) bersama penulis naskah Josh Singer (Spotlight, The Post) urung menuturkan kisah kepahlawanan maupun merayakan pencapaian sains. Bukan pula sebuah puja-puji kebangkitan Amerika Serikat dalam “perang angkasa” melawan Rusia. First Man adalah cerita personal yang menunjukkan betapa hati manusia dapat berjarak lebih jauh dan kompleks ketimbang perjalanan ke bulan.

Adegan pembukanya menampilkan pendaratan darurat Neil Armstrong (Ryan Gosling) di suatu misi. Tapi alih-alih beralih menuju evaluasi teknis terhadap insiden tersebut, filmnya langsung mengajak kita mengunjungi keluarga Neil yang sedang dirundung duka. Pasca pergulatan panjang, sang puteri, Karen, meninggal akibat tumor. Rasa kehilangan amat mempengaruhi Neil. Dia ingin memulai hidup baru, salah satunya dengan melamar sebagai astronot untuk proyek Gemini, yang memiliki tujuan akhir menerbangkan manusia ke bulan. Namun bukannya awal baru, Neil justru makin dihantui oleh satu hal: kematian.

“Kami terbiasa mendatangi pemakaman”, sebut istri Neil, Janet (Claire Foy). Pernyataan yang merujuk pada seringnya Neil melihat rekan-rekannya sesama pilot tewas dalam misi. Kepergian Karen menyulitkan Neil menghadapi konsep kematian. Sehingga begitu Gemini dilangsungkan, lalu kecelakaan demi kecelakaan terjadi dan satu per satu nyawa melayang termasuk sahabat-sahabatnya, Neil mesti bertarung melawan ketakutan terbesarnya, yang saya percaya, juga ketakutan terbesar banyak orang. Takut saat sang maut menjemput diri sendiri atau orang-orang terdekat.

Kemudian naskahnya memperlihatkan kepiwaian menautkan misi luar angkasa dengan studi karakter seorang Neil Armstrong. Segala trial and error (especially the errors) bukan sekedar alat pembangun tensi dan permasalahan teknis yang harus dipecahkan, juga observasi mengenai terbentuknya perilaku protagonis. Di salah satu adegan, seekor lalat terbang di kabin pesawat. Neil hanya bisa memperhatikan sebelum seorang temannya membunuh lalat itu. Sebagaimana astronot lain, tentu Neil terganggu akan keberadaan seekor lalat, tetapi ia tak mampu berbuat apapun. Dia terlalu takut untuk menatap kematian, meski cuma kematian seekor lalat.

Di rumah pun ia kelabakan menata perasaan. Sulit baginya membahas jika selepas 20 Juli 1969, hari di mana Apollo 11 diluncurkan, ada kemungkinan kedua puteranya menjadi yatim dan Janet menyandang status janda. Bahkan sebelum tubuhnya berangkat ke bulan, hatinya telah lebih dulu pergi entah ke mana. Gosling sanggup menghidupkan perasaan itu, sehingga tiap Chazelle menempatkan kamera demikian dekat dengan kedua matanya, seluruh ketakutan serta beban Neil terpancar nyata. Di sisi lain, Claire Foy memperkaya jalinan emosi filmnya. Matanya yang berair menahan ledakan tangis pada malam sebelum keberangkatan Neil jelas mengaduk-aduk perasaan.

Satu-satunya tembok penghalang usaha filmnya mengalirkan rasa kepada penonton adalah dialog yang mengalami permasalahan serupa Interstellar (2014) dalam pilihannya memakai pendekatan realistis. Baris-baris kalimat sarat istilah ilmiah terus bertebaran, nyaris tanpa alat bantu bagi kalangan awam memahami konteksnya, yang berpotensi besar membuat banyak penonton tersesat. Penggunaan gaya itu pun kontradiktif dengan tujuan menyertakan penonton dalam sebuah perjalanan intim. Semakin kontradiktif tatkala disandingkan bersama elemen-elemen lain yang semuanya mengarah ke tujuan serupa. Salah satunya sinematografi garapan Linus Sandgren (American Hustle, La La Land) yang memakai tekstur grainy, yang selain bertujuan menciptakan kesan lawas, juga agar filmnya tampak bak home video, format yang identik dengan keintiman serta keluarga.

Pada setiap sekuen penerbangan, Chazelle gemar menggoyangkan kameranya (shaky cam). Begitu keras goncangannya, bukan mustahil anda merasa mual (konon ada yang sampai muntah di studio). Biasanya, teknik demikian terasa mengganggu, namun dalam First Man, teknik itu justru selaras dengan tujuan menempatkan penonton di posisi karakternya. Sebelum misi puncak alias peluncuran Apollo 11, dalam seluruh sekuen penerbangan, Chazelle terus mengurung kita dalam interior pesawat. Di tiap goncangan mengerikan dan bahaya, seperti Neil, penonton hanya bisa mengintip ke luar lewat jendela kecil, memunculkan ketidaknyamanan dan suasana klaustrofobia.

Bukan berarti First Man cuma berkutat di penderitaan lalu mengesampingkan kekaguman. Selain departemen visual, tugas membangkitkan rasa tersebut diemban pula oleh Justin Hurwitz (Whiplash, La La Land) selaku kompose. Di momen ketika Agena Target Vehicle (ATV) melayang-layang di kehampaan langit, musik gubahan Hurwitz seolah berasal dari katalog musik klasik yang dipakai Stanley Kubrick untuk mengiringi 2001: A Space Odyssey (1968). Sedangkan kala klimaks pendaratan di bulan mulai bergulir, Hurwitz menghantarkan kemegahan tanpa banyak mengeksploitasi formula “boom bang braam” sebagaimana jadi andalan mayoritas sajian blockbuster.

Kita takkan melihat publik berkumpul, menonton peluncuran Apollo 11 di depan televisi dengan kekaguman dan kecemasan, sebab First Man tak ingin menjadi cerita kepahlawanan. Bahkan setelah Neil mendarat dengan selamat di Bumi, tak ditemukan pula momen “wajib” ketika seorang protagonis disambut penuh suka cita, dielu-elukan ribuan manusia. First Man sempat menyulut kontroversi akibat keengganan menampilkan momen ikonik penancapan bendera Amerika Serikat. Chazelle menggantinya dengan pemandangan lain yang lebih personal, yang bermuara kepada perjuangan Neil melawan gejolak batinnya.

10 komentar :

Comment Page:
SALEMBAY mengatakan...

Bang raysid kenapa di imdb nih felm bisa rating 6.5 yah.. ?

Rasyidharry mengatakan...

Imdb kan yang kasih skor user bebas dan buat penonton kasual, First Man mungkin bakal bikin bosen. Ini macam versi lebih pop & less-surreal dari 2001: A Space Odyssey.

Anonim mengatakan...

Kemungkinan Chazelle tidak mau mengambil resiko untuk itu, penancapan bendera Amerika di bulan. Terlepas hal ini menuai pro-kontra, sepertinya Chazelle juga menghindari agar filmnya tidak memuat isu politik.

aan mengatakan...

Kadang bingung menikmati film ini.sbg kejadian nyata atau film yg menghibur...krn banyak pro kontra ttg pendaratan di bulan.banyak analisa kejanggalan dari hasil foto di bulan.tp mungkin lbh enak menonton sbg film pendaratan manusia di bulan.walo tokoh2 nya bukan fiksi...

Rafika mengatakan...

Kira kira untuk oscar berpeluang nominasi apa saja ?

Mudbloodroy mengatakan...

Bang. review Folklore : a mother's love nya joko anwar yang di HBO dong.

Rasyidharry mengatakan...

@aan Ya prinsipnya kan selalu sama, film biografi yang diangkat dari kisah hidup karakter nyata pun nggak semua adegannya asli, pasti banyak dramatisasi fiktif.

@Rafika 2 kategori sound, musik, sutradara, film terbaik. Sinematografi, naskah adaptasi, aktor, & aktris pendukung juga ada peluang.

Anonim mengatakan...

Senang sekali baca blog ini, menghibur, nambah insight, dan jadi bisa lihat film dari perspektif lain. Kalau boleh tau, adakah website atau kritikus tertentu yg biasa Mas baca sebagai referensi sebelum menulis review? Kalau ada apakah bisa di-share? Thanks.��

KOKO mengatakan...

Saya suka cara Damien mengganti adegan ikonik penancapan bendera Amerika di bulan dengan sesuatu yang menurut saya lebih dalam maknanya. Satu adegan yang berhasil mencairkan gejolak batin si Neil dari awal film di putar.. ada perasaan haru. Lega dan memang . Kita seharusnya harus berdamai dengan rasa kehilangan sejak lama..

Rasyidharry mengatakan...

@Anonim Thanks! Dari dulu ngefans Roger Ebert. Sampai beliau meninggal pun masih tetap baca-baca ulasannya.

@Koko Nah itu dia. Ini bukan film nasionalisme ternyata, tapi personal journey :)