GOOSEBUMPS 2: HAUNTED HALLOWEEN (2018)

6 komentar
Kalau film adaptasi Goosebumps pertama (2015) ibarat penghormatan bagi monster-monster dalam buku horor anak tersebut beserta R. L. Stine sang kreator, maka sekuelnya yang bertajuk Haunted Halloween adalah penerapa gaya narasi Stine, yang sejauh ini telah membentang hingga 231 buku. Tapi keduanya memiliki satu kesaman, yakni sama-sama berakhir menjadi petualangan keluarga medioker juga sarat keklisean.

Memindahkan lokasi dari Madison ke Wardenclyffe di malam Halloween, strukturnya mengikuti pola yang telah kita saksikan ratusan, bahkan ribuan kali. Terdapat tiga protagonis: Sonny (Jeremy Ray Taylor), sahabatnya, Sam (Caleel Harris), dan sang kakak, Sarah (Madison Iseman). Sonny adalah bocah nerd, yang ingin membuat ulang menara penghantar listrik milik Nikola Tesla. Bersama Sam, ia juga menjalankan bisnis memungut barang rongsokan.

Tentu keduanya jadi korban perundungan. Tentu mereka secara tidak sengaja mengumpulkan rongsokan di bekas rumah R. L. Stine (Jack Black), membuka buku karyanya (berjudul Haunted Halloween, buku pertama Stine yang belum sempat diselesaikan), menghidupkan lagi Slappy the Dummy ke dunia manusia. Tentu Madison akan menangkap basah perselingkuhan kekasihnya di pesta, dalam sebuah sekuen yang bisa dengan mudah kita temukan di film remaja manapun. Dan keretakan hubungan cinta itu tak menyimpan signifikansi bagi keseluruhan alur.

Naskah buatan Rob Lieber tidak berusaha memberi pembeda, atau setidaknya, membuat elemen formulaik di atas menarik disimak. Semua hanya pengisi durasi sebelum Slappy menampakkan wujudnya di hadapan Sonny, Sam, dan Sarah. Modus operandi si boneka iblis itu adalah mengontrol kehidupan ketiganya, memperbudak, menghancurkan hidup mereka, yang mana merupakan tipikal teror Goosebumps dan telah menghadirkan mimpi buruk bagi anak-anak pembaca bukunya. Ending-nya pun diisi twist kelam kesukaan R. L. Stine.

Andai saja Goosebumps 2: Haunted Halloween setia mempertahankan elemen tersebut selaku plot device. Sayangnya tidak, karena setelahnya, film ini kembali bergerak pasrah mengikuti arus dalam pola kisah petualangan anak, di mana hal terpenting adalah menghajar monster-monster, tanpa menekankan teror di pikiran mereka mengenai konsekuensi jika rencana Slappy berhasil. Padahal itulah keunggulan terbesar Goosebumps, ketika petualangan ringan mampu membaur dengan teror menyeramkan.

Berjalan selama 90 menit, alurnya bergerak cepat, langsung merangsek ke inti konflik begitu Slappy bangkit, kemudian menghidupkan monster-monster lain. Beberapa sosok dari buku, seperti manusia serigala (The Werewolf of Fever Swamp) Abominable Snowman (The Abominable Snowman of Pasadena), hingga para gnomes (Revenge of the Lawn Gnomes), tampil, bersama sekelompok monster baru. Tapi kehadiran mereka sekedar glorified cameo, sebagaimana peran tidak penting Jack Black, yang seolah dipaksakan ada meski minim karena sang aktor sibuk terlibat di film setipe, The House with A Clock in Its Walls.

Penyutradaraan Ari Sandel (When We First Met) gagal menciptakan gelaran aksi menyegarkan, atau paling tidak menghibur, begitu pula deretan one-liner Slappy yang sama tidak lucunya dengan humor-humor medioker yang kentara diciptakan buru-buru lalu ditempel secara asal-asalan. Ditutup oleh simplifikasi luar biasa pada konklusinya yang menghapus metode kreatif film pertama (yang juga tribute terhadap kreativitas R. L. Stine) guna menyelesaikan konflik, Goosebumps 2: Haunted Halloween sebaiknya dikesampingkan demi penghematan menyongsong sederet film menarik yang segera menyusul di bulan ini.

6 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Min review film film jadul lagi dong

aryo mengatakan...

Secara pendapatan, film pertama dinilai sukseskah? Kalau sukses saya yakin pengaruh jack black cukup signifikan.. Nah ini dibikin sequel tanpa doi, saya pribadi liat trailernya aja ga tertarik. Sebagai penggemar goosebumps yg khatam semua bukunya

Badminton Battlezone mengatakan...

Sampe 3x ditulis "tentu saja". Tp filmnya memang formulanya banyak repetisi. Nerd dibuly,dikhianati pas prom nite.

Anway saya suka slappy versi komik,lebih sayko dan seram mukanya. Kl versi movie mukanya baek2 hahaha,tp mungkin karena memang film ini biar bisa dinikmati remaja.jadi dibikin spt itu

Anonim mengatakan...

kayanya lebih bagus kalo film-nya mengadaptasi salah satu bukunya aja, jangan mencampuradukan semua bukunya

Rasyidharry mengatakan...

@aryo Biasa aja. Mepet balik modal doang kalau dihitung bujet+biaya marketing. Ada kok Jack Black, tapi nggak penting perannya.

@Badminton Oh iya, semua monster Goosebumps di bukunya itu berkali-kali lipat lebih serem dari versi film.

Fajar mengatakan...

Setuju banget kalau film sesuai buku aja. Kalau seperti ini monster yg seram jadi berasa cameo aja. Padahal monster goosebump itu unik.
Kayak film it, the shining, the thing karya Stephen King. Padahal penjualan bukunya kan lebih laris goosebump dibanding bukunya stephen king. Tapi kok di movie, malah lebih keren bukunya stephen king.