JAGA POCONG (2018)

12 komentar
Menjaga pocong adalah premis mengerikan, utamanya karena kegiatan itu amat mungkin dialami siapa saja. Semakin menarik dua figur kunci Jaga Pocong sama-sama menjajaki dunia horor untuk kali pertama: Acha Septriasa yang kerap memamerkan akting-akting dramatik terbaik, dan Hadrah Daeng Ratu di kursi penyutradaraan yang baru saja mempersembahkan tontonan terlucu tahun lalu melalui dua bagian Mars Met Venus. Saya mulai was-was begitu mendapati nama-nama yang tercantum pada departemen penulisan. Aviv Elham (Alas Pati, Arwah Tumbal Nyai) menulis naskah berdasarkan ide cerita Baskoro Adi Wuryanto (Jailangkung, Sakral, Gasing Tengkorak) terdengar bagai kolaborasi dari neraka.

Mila (Acha Septriasa) adalah suster yang menaruh perhatian besar terhadap pasien anak (ini akan jadi modus operandi naskahnya nanti). Ketika ia bersiap pulang dari giliran jaga di rumah sakit, Mila justru diminta secara mendadak menangani seorang pasien di rumah. Mengapa tugas ini dilimpahkan padanya? Menurut sang atasan, “Karena memang harus kamu”. Kalimat itu, yang nantinya bakal dipakai menjelaskan sebuah poin plot penting jelang akhir, merupakan simplifikasi yang jamak kita temui di karya-karya Aviv maupun Baskoro sebelumnya.

Ada satu elemen menarik, yakni kicau burung kedasih, yang konon memberitakan kematian. Kicau tersebut terdengar sebelum seorang pasien di rumah sakit yang Mia rawat meninggal, juga sesampainya Mia di tujuan, dan mendapati bahwa Sulastri (Jajang C. Noer), pasien yang semestinya dia rawat, sudah tak bernyawa. Hanya ada putera Sulastri, Radit (Zack Lee), dan cucunya, Novi (Aqilla Herby). Kicau burung kedasih dapat memberi sentuhan kecil, subtil, namun efektif membangun kengerian, yang sayangnya urung diterapkan lagi begitu Jaga Pocong melancarkan terornya.

Jaga Pocong mengalun lambat di awal, mengajak kita melihat Mila memandikan jenazah Sulastri, mengafaninya, sampai akhirnya diminta menjaga jenazah karena Radit harus mengurus izin pemakaman. Rangkaian aktvitias tersebut dekat dengan realita, dan itulah alasan pembangunan atmosfernya cukup berhasil. Jaga Pocong menempatkan protagonis dalam situasi yang kengeriannya mudah penonton pahami.

Tapi seiring waktu berlalu, naskahnya mulai memperlihatkan kelemahan demi kelemahan. Salah satunya ketiadaan ide mengenai apa yang harus Mila perbuat selama ditinggal seorang diri bersama pocong Sulastri yang terbaring di tengah ruangan. Alhasil, dibuatlah Mila menjadi karakter penuh rasa penasaran (baca: bodoh). Sewaktu tiba-tiba, entah dari mana kain kafan membentang di hadapannya, Mila menarik itu, berusaha mencari ujungnya. Di lain kesempatan, disorotnya wajah pocong dengan senter, seolah tidak puas cuma melihat bagian bawah tubuhnya.

Karakterisasi lain, seperti sudah saya sebutkan, adalah perhatian besar kepada anak-anak. Mia amat mempedulikan Novi, sampai menghabiskan mayoritas durasi film memanggil nama si bocah. Ketimbang Jaga Pocong, film ini mestinya disebut Jaga Novi. Demi mengakali ketiadaan plot (yang sejatinya bukan masalah asal ditangani secara tepat), naskahnya menggiring Mila dalam kesibukan mencari Novi yang berulang kali menghilang. Aviv Elham perlu memahami jika tidak semua peristiwa wajib diverbalkan. Bahasa non-verbal justru berpeluang memaksimalkan penuturan visual sutradara maupun akting pemain.

Keharusan meneriakkan nama Novi cukup mengganggu penampilan Acha, yang meski bukan akting terbaik sepanjang karirnya, jelas jauh lebih baik dibanding banyak pemeran utama horor medioker kita. Acha berteriak, menangis, dengan cara yang memudahkan kita merasakan keputusasaan Mila. Keputusasaan wanita biasa yang terjebak dalam situasi di mana ia benar-benar tidak berdaya. Hadrah paham betul kapasitas aktrisnya dan berusaha memanfaatkannya sebisa mungkin, membiarkan kamera menangkap emosi Acha secara utuh terlebih dahulu sebelum berpindah ke teror berikutnya.

Perihal menangani teror, Hadrah sanggup menghadirkan beberapa jump scare solid, walau keseluruhan, masih jauh dari spesial. Tapi saya rasa itu masalah pengalaman. Jaga Pocong merupakan pengalaman pertama Hadrah menggarap horor, dan merujuk pada fakta tersebut, debut ini jelas tidak buruk-buruk amat. Terlebih, tidak banyak yang bisa diperbuat ketika diberi modal naskah yang miskin kreativitas. Riasan pocong—yang tampak mumpuni dibanding deretan hantu muka bubur basi dalam deretan horor lokal kelas D—pun tak banyak menolong.

Kemudian, setelah nyaris tak memberi kontribusi, naskahnya menghabiskan 10 menit terakhir mempresentasikan twist yang memancing saya bertanya, “Apabila ada jalan gampang guna mencapai tujuannya, untuk apa repot-repot meneror Mila melalui penampakan-penampakan pocong yang nihil signfikansi dengan tujuan itu?”. Lalu ketika saya mulai melontarkan pertanyaaan berikutnya, “Kenapa harus Mila?”, naskahnya langsung menjawab, “Karena memang harus dia”. Oh, baiklah.

12 komentar :

Comment Page:
Zamal mengatakan...

Seburuk apapun saya tetap penasaran,terutama adanya acha dsini..., brtti espektqsi jngn trrllu tinggi ya

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

penasaran sih acha kan ekspresif banget
kayaknya ok akting film horror

hilpans mengatakan...

Acha bukannya my udah pernah maen film bergenre horor y bung kyk barakati trus midnight show..doi emang ekspresif bgt jago pisan..ketakutan dia.. ekspresif dia...menyelamatkan film horor itu sendiri..tapi saya menyukai ekspresif ny Nirina Zubir dfilm horor "mirror"sayang Nirina sudah gk keliatannlg main film horor setelah itu

Rasyidharry mengatakan...

@Zamal Oh tenang, Acha worth your time & money.

@Teguh Dan itu yang dia kasih di sini.

@hilpans Barakati lebih ke adventure sih, ala Indiana Jones yang pakai elemen horor. Kalau Midnight Show, personally lebih mandang itu sebagai giallo, yang mana kombinasi thriller+horor. Makanya Jaga Pocong ini horor murni pertama.

Alvan Muqorrobin Assegaf mengatakan...

Kalau boleh tahu, kok ratingnya sama dg film Bayi Gaib? Apakah memang kualitasnya sama? Menurut mas rasyid mending ini apa Bayi Gaib?

Panca mengatakan...

"Saya mulai was-was begitu mendapati nama-nama yang tercantum pada departemen penulisan. Aviv Elham (Alas Pati, Arwah Tumbal Nyai) menulis naskah berdasarkan ide cerita Baskoro Adi Wuryanto (Jailangkung, Sakral, Gasing Tengkorak) terdengar bagai kolaborasi dari neraka."

Oke skip dulu deh kayaknya..

Tomy Bossuet mengatakan...

Pertama kali liat trailernya udah terlanjur jatuh hati
Jadi tetap bakal nonton
Baca review hanya sekedar referensi
Terima kasih review nya

Rasyidharry mengatakan...

@Alvan Skor 2,5 buat Bayi Gaib itu karena saking jeleknya, jadi fun ditonton. Kalau Jaga Pocong film yang digarap serius tapi kurang oke. Skor sama tapi kualitas jauh beda. Tapi memang, kalau sekarang suruk kasih skor, Bayi Gaib kasih 2 aja cukup.

Anonim mengatakan...

premis dan trailer-nya cukup menjanjikan

Unknown mengatakan...

Suasana yg dibangun pas awal udah oke sih apa lagi suara "dug dug dug.." yg berasa bener seperti pocong lompat lompat.

Eldwin Muhammad mengatakan...

Saya juga sependapat 😂😂

Alvan Muqorrobin Assegaf mengatakan...

Saya udah nonton filmnya tadi. Sebenernya filmnya punya premis yang oke, namun entah kenapa ada teror yg kurang kuat motivasinya untuk dihadirkan, seperti ketika novi kesurupan, pocong yg cuma nongol. Pada intinya mereka cuma butuh jasad mila, udah kyak X Man aja hehe. Terus kenapa harus ada teror tidak berarti. Sejauh ini beberapa film horor indonesia masih belum benar-benar meninggalkan penyakitnya, yaitu teror dg motivasi lemah, atau bahkan kosong.