RAMPANT (2018)

3 komentar
Rampant membuktikan jika semakin tinggi suatu konsep, semakin sulit pula pengembangannya. Saya langsung kepincut begitu mendengar premis soal serbuan zombie pada era Dinasti Joseon. Bayangkan bagaimana orang-orang di masa itu bereaksi. Bayangkan cara pihak kerajaan menerapkan strategi perang untuk membasmi monster-monster haus darah itu. Bayangkan pula betapa menyegarkan gambar-gambar di dalamnya, setelah selama ini kita terbiasa menyaksikan zombie berkeliaran di masa modern, di antara bangunan modern dan masyarakat berpenampilan modern.

Lalu bayangkan, betapa mengecewakannya saat film garapan sutradara Kim Sung-hoon (Confidential Assignment) ini rupanya minim perbedaan dengan film zombie kebanyakan. Rampant adalah satu lagi ide brilian yang berhenti di ranah premis, tatkala pembuatnya kekurangan akal guna mengembangkannya menjadi suatu sajian baru. Tidak semua film mesti menyajikan hal baru, namun Rampant jelas mengincar pencapaian tersebut dan gagal total.

Pasca adegan pembuka yang memperlihatkan seorang pria berubah menjadi zombie dan memakan warga desa termasuk anaknya yang masih balita, Rampant bergerak tak terkontrol, menuturkan kisah berbelit soal pemberontakan dan perebutan kekuasaan di kerajaan. Saya tersesat, sebab naskah buatan Hwang Jo-yoon (Masquerade, Oldboy) enggan repot-repot memperkenalkan dahulu identitas karakter serta garis besar gambaran situasi. Seolah filmnya sendiri tidak sabar untuk melenggang ke poin berikutnya, di mana sang protagonis akhirnya memasuki sentral cerita. Dia adalah Pangeran Lee Chung (Hyun Bin) yang baru kembali ke Joseon setelah sekian lama tinggal di Qing. Lee Chung kembali atas wasiat kakaknya, Putera Mahkota Lee Young (Kim Tae-woo), yang bunuh diri sebagai bentuk penebusan dosa karena menyulut api pemberontakan.

Lee Chung adalah sosok membingungkan. Terkadang ia Pangeran menyebalkan yang cuma memedulikan wanita dan enggan mengemban tanggung jawab, namun kadang kala menyimpan kepedulian, hanya saja berlagak menyebalkan karena gengsi. Di lain waktu dia murni seorang pria dengan kebaikan hati. Inkonsistensi penokohannya menghasilkan kesan seolah sedang menyaksikan beberapa orang berbeda. 

Sewaktu Lee Chung tiba, ia mendapati desa telah hancur lebur. Ketika ia mengira tengah terjadi perang atau wabah penyakit (banyak mayat gosong bergelimpangan), sesosok zombie, atau yang mereka panggil “Iblis Malam”, menyerang. Beruntung, beberapa anggota kelompok pemberontak memberi pertolongan. Sebagai gantinya, mereka meminta Lee Chung membujuk Raja supaya mengirim pasukan untuk membasmi zombie-zombie itu.

Bagi warga, situasi semakin genting kala stok makanan dan air bersih menipis. Kita digiring agar peduli akan penderitaan serta perjuangan mereka, sehingga saat ada yang meregang nyawa, diharapkan emosi kita tercabik-cabik. Tapi tidak. Saya tidak cukup mengenal karakternya untuk bisa meluangkan simpati, tidak pula mengetahui hubungan antara mereka, bahkan tidak tahu bahwa ada kakak-beradik di antaranya, kalau bukan karena panggilan “kakak” yang diucapkan. Atau panggilan itu bukan merujuk pada saudara kandung? Bagaimana saya bisa menangisi karakternya kalau filmnya sendiri gagal menjabarkan penokohan?

Bukan karakterisasi saja yang tidak jelas, pula pembangunan dunianya. Seolah ada banyak keping puzzle menghilang. Keping-keping yang menjelaskan detail situasi Joseon hingga peristiwa-peristiwa penting sebelum dan selama serbuan zombie, yang penting diketahui guna memahami gambaran utuh kondisinya. Sedangkan elemen aksinya tidak buruk, meski tak juga luar biasa, hanya mengandalkan tebasan-tebasan pedang tanpa koreografi menonjol, yang dibungkus penyutradaraan minim gaya. Praktis, Rampant sekedar mengandalkan gore berdosis medium. Biar bagaimana, melihat zombie-zombie ditusuk, disayat, lalu dipenggal, memang cukup menyenangkan.

Tapi sungguh sulit menahan pertanyaan, “Lalu apa perbedaan Rampant dengan film zombie kebanyakan?”. Didominasi serbuan zombie cepat di malam hari (seperti vampir, sinar matahari membakar tubuh mereka), desain lokasi serta kostum yang mestinya mampu memberi warna baru urung dimanfaatkan. Pun akhirnya, karakternya menerapkan rencana pemusnahan zombie paling klise. Rencana yang kalau dipikir lebih jauh, sejatinya tidak efektif, memiliki probabilitas kesuksesan tak seberapa tinggi. Rampant gagal memadukan elemen teror zombie dan film period bertema kerajaan, yang seharunya identik dengan adu taktik cerdik dalam medan pertempuran.

3 komentar :

Comment Page:
Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

nanti akan ada series kingdom juga netflix
tentang zombie di era kerajaan juga
mudah mudahan itu lebih bagus sih
biasanya series pembangunan karakternya lbh bagus

Rasyidharry mengatakan...

Lebih tepatnya karena punya lebih banyak durasi buat storytelling ditambah bujet lebih kecil, jadi mau nggak mau, mesti pakai pendekatan character-driven.

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

zombie di era kerajaan jd kesannya unik
macam game of thrones