THE GRINCH (2018)

1 komentar
Dibandingkan live action buatan Ron Howard yang dibintangi Jim Carrey 18 tahun lalu, The Grinch ingin tampil sedekat mungkin dengan materi asalnya, buku anak-anak How the Grinch Stole Christmas! karya Dr. Seuss. Naskah buatan Michael LeSieur (You, Me and Dupree, Keeping Up with the Joneses) dan Tommy Swerdlow (Snow Dogs, Bushwacked) mengambil pendekatan sederhana dalam narasinya, yang tak banyak melakukan perubahan terhadap 69 halaman bukunya (Padahal dua halaman mayoritas hanya diisi satu panel), memaksanya jadi tontonan berdurasi 86 menit.

Bila sudah membaca sumber adaptasinya, anda akan tahu bahwa buku itu “hanya” terdiri atas usaha sekali waktu The Grinch mencuri seluruh pernak-pernik Natal warga Whoville dengan menyamar sebagai Santa Claus, sebelum akhirnya menyadari makna sesungguhnya di balik hari raya tersebut. Bagaimana mengaplikasikan kisah sesingkat itu ke dalam film panjang tanpa mengubah banyak elemen?

Dasarnya, LeSieur dan Swerdlow memilih aspek yang pas untuk ditambahkan, seperti proses The Grinch mempersiapkan rencananya “Mencuri Natal”, hingga terpenting, selipan kisah masa lalu sang titular character. Sayang, semuanya terhapus oleh gaya khas Illumination, yang tak seberapa mempedulikan eksplorasi dan penceritaan, serta lebih menitikberatkan humor repetitif konyol minim kreativitas. Bahkan lelucon tentang “Sulitnya orang pendek meraih barang di ketinggian” dilontarkan sampai dua kali.

The Grinch (Benedict Cumberbatch) konon memiliki ukuran hati dua kali lebih kecil dari kebanyakan orang, dan itulah alasan mengapa ia selalu menderita, penuh kebencian, termasuk pada warga Whoville yang selalu bahagia, khususnya kala Natal tiba. Begitu mendengar arahan Walikota agar Natal tahun ini tiga kali lebih meriah, The Grinch merasa jika ini saatnya ia bertindak.

Dibantu Max si anjing loyal, The Grinch berusaha menghentikan Natal. Bagaimana caranya? Perlu diketahui, The Grinch di sini bukan cuma monster pemarah bertubuh hijau, juga seorang jenius yang mampu menciptakan sederet alat eksentrik. Tambahan penokohan menarik yang gagal dimaksimalkan para penulis naskah. Apa guna karakterisasi itu apabila hanya untuk menampilkan sebuah mesin kopi dan segelintir alat-alat ala kadarnya lain, sementara aksi pencuriannya tak memanfaatkan itu?

Bagi The Grinch, langit adalah batas untuk melakukan eksplorasi gila terhadap aspek di atas, namun yang penulisnya pedulikan hanya melempar karakter-karakternya ke langit atas nama slapstick. Demikian cara film ini menghabiskan mayoritas durasinya. Tidak peduli apa rencana si tokoh utama, eksekusinya selalu sama. Dia akan berlari, meluncur, melompat, terbang, dan jatuh. Apakah penonton anak bakal terhibur? Saya tidak bisa mewakili mereka, tapi reaksi para bocah di studio tempat saya menonton, sedingin Whoville kala disambangi salju tebal.

Elemen dramatiknya pun turut terlemahkan akibat pendekatan dangkalnya. The Grinch padahal punya dua karakter, yang masing-masing menyimpan story arc yang berpotensi merenggut emosi. Pertama tentu saja The Grinch, yang sewaktu kecil tinggal sendirian di panti asuhan, merasa terasing di tengah suka cita warga Whoville. Kedua adalah Cindy Lou Who (Cameron Seely), gadis cilik yang ingin bertemu Santa, guna mengajukan permintaan agar sang ibu—yang selalu coba tampak kuat dan ceria meski sesungguhnya urusan pekerjaan serta merawat tiga anak seorang diri amat merepotkannya—bahagia.

Dua kisah tadi semestinya mampu mengaduk-aduk perasaan penonton dewasa, andai bukan sekedar diletakkan begitu saja sebagai selingan nihil eksplorasi di antara rentetan humor konyolnya. Tapi saya bisa memaafkan itu, dan banyak kekurangan lain milik The Grinch berkat 15 menit terakhirnya. Ya, hanya butuh seperempat jam bagi film ini untuk berevolusi menjadi tontonan menyentuh yang sempurna menangkap semangat Natal.

Diawali adegan “bernyanyi dalam harmoni” yang oleh duo sutradara, Scott Mosier dan Yarrow Cheney (The Secret Life of Pets), dikemas demikian indah, The Grinch mengajarkan esensi Natal yang dapat diaplikasikan di segala situasi dan semua kalangan, termasuk mereka yang tak merayakan, yakni anjuran berbuat baik dan memaafkan alih-alih membalas dendam kepada seseorang yang bertindak jahat kepada kita. Jika konklusinya terasa mendadak atau terlalu “ajaib”, karena memang itulah tujuannya: Menunjukkan keajaiban Natal.

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Mending nonton Grinch daripada film narsisnya dokter gigi a.k.a ahli bedah plastik alias dokter ahli forensik yg pendengki