JCW 2018 - COLOR ME TRUE (2018)

5 komentar
Apalah cinta kalau tidak saling mewarnai hidup sepasang manusia? Dalam Color Me True a.k.a. Tonight, at the Movies, tokoh Puteri fiktif dari film hitam-putih lawas yang terlupakan, tiba-tiba keluar dari layar. Tapi bukan menyeberang ke dunia nyata yang memberinya warna, melainkan pertemuan dengan sineas muda yang tiap hari, seorang diri, mendatangi bioskop demi melihat si gadis impian yang takkan mampu dia jangkau.....setidaknya hingga keajaiban datang.

Pemuda itu bernama Kenji (Kentaro Sakaguchi), yang berprofesi sebagai asisten sutradara. Artinya, ia dituntut berlarian ke sana-kemari mengerjakan tugas, dari melukis properti layar, sampai melayani megabintang Ryunosuke Shundo (Kazuki Kitamura dalam performa komikal menghibur) yang menyebut dirinya sendiri “Pria Tampan”. Bagi Kenji, kemunculan Puteri Miyuki (Haruka Ayase) turut mewarnai kehidupan membosankan miliknya, walau menariknya, di awal pertemuan, Miyuki dengan polah antiknya justru merepotkan Kenji. Tapi seiring proses saling mengenal dan memahami, Miyuki justru menginspirasi naskah film perdana Kenji, sebab cinta memang sumber inspirasi terbesar, termurni, dan terjujur.

Kita semua menyimpan mimpi serupa Kenji, di mana sosok pujaan (fiktif atau bintang dunia nyata), secara ajaib muncul di samping kita. Color Me True bukan film pertama yang mengusung konsep tersebut, bukan juga yang terbaik dalam hal eksekusi elemen fantasinya. Setelah Miyuki mewarnai tubuhnya dengan riasan dan pakaian, sejatinya film ini tak ubahnya romansa bernuansa “head over heels biasa. Miyuki memanggil Kenji “pelayan”, dan sang pemuda menuruti segala keinginan sang Puteri.

Color Me True diawali sebagai ode bagi sinema, dengan narasi mengenai tendensi dilupakannya film-film lama, yang teronggok di dalam lemari berdebu, atau lebih buruk, hilang. Protagonisnya adalah seseorang yang mencintai film namun begitu jarang kita mendengar ia bicara soal film. Pun Color Me True menghabiskan banyak durasi di studio film namun urung menunjukkan sihir pembuatan film, padahal Miyuki meminta Kenji membawanya ke sana untuk melihat bagaimana dunia tempat tinggalnya dibuat.

Ya, meninjau eksplorasi konsep, Color Me True belum menawarkan pendekatan baru, meski sulit ditampak, efektivitasnya sebagai hiburan cukup tinggi. Komedinya bekerja dengan baik, sementara interaksi kedua tokoh utamanya mudah memancing senyum. Bukan kejutan tatkala pertemuan seorang Puteri yang bertindak semaunya, memukul semuanya yang ia anggap tidak sopan dengan pria pemalu yang selalu meragu menghasilkan beragam pemandangan lucu.

Kentaro Sakaguchi melakoni perannya dengan apik, lewat gestur canggung dan senyum penuh kepolosan, membuat sosoknya bisa dipercaya sebagai pemuda naif. Sedangkan Haruka Ayase memancarkan pesona bintang film masa lalu yang bersinar teranng dalam tiap kemunculannya di layar. Berhiaskan puluhan baju elegan beraneka warna dan gaya, Haruka nampak seperti reinkarnasi Audrey Hepburn.

Color Me True bisa saja berakhir menjadi romansa biasa, yang solid namun jauh dari kesan spesial, kalau bukan karena 30 menit terakhirnya: parade momen mengharukan yang enggan memberi penonton waktu mengatur napas maupun menahan banjir air mata. Ketika anda kira sebuah momen sudah cukup emosional, momen lain yang lebih menyesakkan segera menyusul. Terus demikian hingga shot penutup.

Film ini mengesampingkan pendekatan subtil demi gaya melodramatik, yang untungnya berhasil mencapai tujuannya terkait olah rasa. Sutradara Hideki Takeuchi (Thermae Romae) dan penulis naskah, Keisuke Uyama, tahu apa yang membuat penonton terisak serta bagaimana memaksimalkannya. Entah melalui dialog bertaburan kalimat manis nan memorable, atau sentuhan kecil semisal penempatan fokus kamera pada senyum simpul karakternya. Scoring bergaya orkestra megah gubahan Norihito Sumitomo (Whiteout, Dragon Ball Z: Resurrection ‘F’) yang setia mengiringi tiap situasi, terdengar layaknya musik yang mengalun dalam hati kala kita berlinang air mata karena cinta. Sejak La La Land, belum pernah saya menangis sekeras ini, hingga dada dan tenggorokan terasa sakit. Such a beautiful love story!

5 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Pertahanan udah jebol di 30 menit terakhir itu.
Paling susah memang nahan nangis kalo nonton di bioskop, karena bikin dada nambah sesak. Apalagi kalo adegan sedihnya pas di endingnya, harus buru2 hapus sebelum lampu nyala.

Rasyidharry mengatakan...

Sialan emang film ini, kalau nggak nahan pasti bakal sesenggukan kenceng banget.

Unknown mengatakan...

lebay lu

Anonim mengatakan...

Paling jijik sama orang yang apa apa dibilang lebay, antara biar kelihatan sok jagoan atau emang otaknya gak nyampe mencerna adegan film

gp4 mengatakan...

Terima kasih mas udah review film ini dan bikin saya nonton film ini.
Film yang cantik dan indah, perasaaan yg timbul sama seperti saya nonton Cinema Paradiso