MILLY & MAMET (2018)

30 komentar
Kunci untuk menikmati Milly & Mamet sederhana saja. Jangan mengharapkan suksesor mumpuni seperti Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016), apalagi romansa legendaris yang tak lekang oleh zaman macam Ada Apa Dengan Cinta? (2001). Ini adalah hiburan sekali waktu, di mana alih-alih beradaptasi dengan dunia AADC, Ernest Prakasa selaku sutradara dan penulis naskah bersama sang istri, Meira Anastasia, membawa film ini menuju dunia khasnya sendiri. Di situ, romantika bukanlah dongeng, melainkan penggambaran kehidupan di sekitar kita, hanya saja ditambah banyak tebaran ranjau komedi.....sangat banyak.

Adegan pembukanya bertempat di sela-sela film pertama dan kedua, ketika di sebuah reuni, Mamet (Dennis Adhiswara) bertemu Milly (Sissy Prescillia) dan ketiga sahabatnya: Cinta (Dian Sastrowardoyo), Karmen (Adinia Wirasti), Maura (Titi Kamal). Sekuen ini berfungsi dengan baik untuk menunjukkan mengapa Mamet—meski bukan termasuk pria tampan—mampu mencuri hati Milly lewat kebaikan hati serta kejenakaan yang memberi kenyamanan. Sebuah momen “kecil”, namun Ernest bisa meniupkan magisnya romantisme saat dua insan menyadari berseminya cinta lewat peristiwa sederhana.

Beberapa tahun berselang, keduanya telah menikah dan memiliki seorang bayi. Milly menjadi ibu rumah tangga, sementara Mamet bekerja di pabrik konveksi milik mertua (Roy Marten), mengubur impian menjadi chef demi menghidupi keluarga. Tapi kebahagiaan Mamet kurang utuh karenanya. Sampai Alex (Julie Estelle), kawannya semasa kuliah, datang mengajaknya membuka restoran bermodalkan suntikan uang sang kekasih, James (Yoshi Sudarso). Hasrat Mamet meraih mimpi pun membara lagi.

Tercapainya impian Mamet rupanya bukan akhir permasalahan. Sebaliknya, itulah permulaan masalah baru. Mamet bisa melakukan hal yang ia cintai, tapi bagaimana dengan sang istri? Dari sinilah elemen dramatik film ini mencapai titik terbaik. Walau dipresentasikan secara sederhana, konfliknya cukup efektif mengingatkan kita betapa pernikahan bukan hubungan satu arah di mana seseorang cuma memikirkan kebahagiannya sendiri.

Semakin sibuk Mamet di restoran, semakin kesepian pula Milly. Ditambah kerepotan mengurus buah hati, hidupnya bertambah melelahkan sekaligus membosankan. Tapi begitu Milly mengutarakan niat bekerja di luar (menggantikan posisi Mamet di pabrik ayahnya), Mamet melarang. “Siapa yang mengurus anak?”, tanyanya, sebelum melontarkan kalimat paling menohok, “Hal terbaik yang bisa kamu lakuin sekarang adalah di rumah jaga anak!”. Pada titik ini Mamet menjadi orang yang tidak ia suka, yang selama ini melucuti kebahagiaannya: si ayah mertua.  

Konflik tersebut menyimpan relevansi dengan problematika pernikahan sembari menyinggung perihal hak perempuan, yang sayangnya, hanya berupa paparan permukaan. Konklusinya pun terlalu mengandalkan faktor eksternal sebagai solusi masalah dua tokoh utama, serta terkesan melakukan simplifikasi khususnya terkait pertikaian Mamet dengan sang mertua. Setidaknya, elemen dramanya bekerja cukup baik berkat solidnya Sissy bermain emosi. Walau Dennis perlu memperbaiki akting dramatiknya, ia masih piawai melakoni sisi keluguan serta kebaikan hati Mamet. Chemistry keduanya jelas tidak perlu diragukan. Mereka membuat dua titular character tetap menonjol meski dikelilingi banyak tokoh pendukung.

Seperti sudah disebutkan, tersebar begitu banyak ranjau komedi. Faktanya, hampir seluruh karakter pendukung bertugas melucu kecuali Julie Estelle, Surya Saputra, dan Roy Marten. Bahkan Yoshi turut mendapat suatu running gag yang untungnya cukup menggelitik. Alhasil, mudah menebak ketika seseorang hendak melontarkan banyolan, bahkan sebelum ia buka mulut. Mayoritas humor berada dalam lingkup permainan kata, saling ejek dengan celetukan-celetukan absurd khas para komika, atau ketidakmampuan karakternya memahami istilah “rumit” (mojito, dan lain-lain). Seiring durasi bergulir dan semakin banyak lelucon setipe dilontarkan, daya bunuhnya makin berkurang. Hasil akhirnya hit-and-miss.

Apalagi, serupa Susah Sinyal (2017), Ernest lagi-lagi memakai teknik “senapan mesin” bagi penghantaran komedinya, membombardir penonton lewat humor sesering mungkin, berharap beberapa mendarat di sasaran. Beruntung, sewaktu tepat sasaran, efeknya tidak main-main. Saya tidak terkejut ketika Dinda Kanyadewi kembali unjuk gigi memerankan karakter absurd, namun lain cerita dengan Isyana Sarasvati sebagai sekretaris aneh (dengan hewan peliharaan tak kalah aneh). Isyana sanggup mengangkangi komedian-komedian yang jauh lebih senior dalam debut layar lebarnya, bersinar lebih terang, bahkan dibanding keseluruhan filmnya.

30 komentar :

Comment Page:
Andre dana mengatakan...

Khas nya film2 ernest..komedi garing yg trlalu sering..berujung pada kebosanan sehingga pintu exit bioskop mnjadi hal yg pling di dambakan dan kursi bioskop mnjadi hal yg mnyiksa..Film Sampah khas para komika..Membosankan..

Anonim mengatakan...

Saya sangat setuju kalimat terakhir. Isyana memang selalu bersinar

Anonim mengatakan...

Setuju dengan Andre Dana

Rasyidharry mengatakan...

Lebay ah kalau dibilang sampah. Film apa pun, walau punya banyak kekurangan & jelek, asal digarap dengan sungguh-sungguh dan nggak offensive, nggak pantas disebut sampah.

Akbar Pradhana mengatakan...

Sangat setuju sama bang Andre Dana. Hampir semua film komika sampah. Pengecualian buat film Marmut Merah Jambu & Single-nya Raditya Dika, sama "Ngenest"nya Ernest Prakasa. Lainnya, kalah jauh.

Felix Bossuet mengatakan...

Saya fans AADC
Tapi jujur sama sekali ga berminat nonton film ini
Apalagi akhir tahun ini banyak film bagus menyerbu bioskop
jadi ada film2 tertentu yang menjadi prioritas

Maaf, sekedar pendapat

Felix Bossuet mengatakan...

@Akbar Pradhana: Single itu yang paling oke menurut saya. Paling "wah" juga secara kemasan. Jadi enak diliat filmnya. Ngenest mah kaya FTV gambarnya. Standar.

Akbar Pradhana mengatakan...

@felix mungkin standar gambar Ngenest udah kek FTV, tapi bagaimana humornya sama alur ceritanya itu lumayan IMO

Rasyidharry mengatakan...

@Felix Soal gambar FTV, itu bukan ada di Ernest sebenernya. Starvision mayoritas selalu begitu. Kurang memperhatikan artistik.

@Akbar Define "sampah" please

Anonim mengatakan...

Heh, ngapain sih kalian para kampret nongkrong dimari? Pulang sono, cari kerja. Ntar nasib lo tambah butek nyalahin aseng lag

Onix Octarina mengatakan...

Reviewnya bagus. Lugas. Jujur. Rapi .Suka!

Chan hadinata mengatakan...

Contoh film sampah.. arwah tumbal nyai,, filmnya ian kasela,, tusuk lubang jailangkung apalah judulnya

Akbar Pradhana mengatakan...

Sorry dude. I'm quite mad for reading Andre's comments. But actually, seburuk-buruknya film komika (dari cerita klise, humor garing dan faktor lainnya), masih lebih buruk filmnya Raffi Ahmad & Tusuk Jailangkung yang sekarang, termasuk film Rumah Hantu yang nilainya 0

Reza mengatakan...

Haha gue curiga sama komentar2 yg bilang filmnya Ernest sampah bukan krn objeknya yakni film2 itu sendiri, tapi ada person yg dituju dan berkaitan sama peristiwa di luar filmnya, dan gue tahu ini konteksnya ke mana. Tapi ini sebatas kecurigaan gue doang sih, jadi enggak perlu dibawa seriuslah yaa hehe.

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan...

Saya akui memang masih banyak film sampah lain, tapi yang mas Andre Dana bilang "film sampah khas komika". Jadi ini spesifik mengarah ke komika. kalo sesuatu yang berkaitan sama komika ada di film memang cenderung jadi garing menurut saya karena komika itu bukan aktor. Alangkah baiknya jika ingin menampilkan komedi pakailah aktor/aktris yang memang bisa ngelucu, gak cuma hanya mengandalkan celetukan2 garing.

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

ikut komentar ah
saya sih selama filmnya terlihat dibuat dengan niat baik dan gak asal asalan ga akan saya sebut sampah
pasti selalu ada yg bisa dinikmati
bahkan. keburukannya pun bisa ditertawakan (contoh azrax)
bisa jadi kebanyakan film komika gagal membuat anda tertawa, tapi ya tetap ada orang lain yang tertawa
mungkin segmentasi humornya aja ga nyambung ama diri kita
diantara yg disebutkan bagus kok ga ada CTS ya
padahal menurut saya dari cerita paling bagus CTS, dan humor hit miss nya lebih banyak hit(tentu saja setiap pendapat ya sesuai selera masing masing)
komika yang udah bagus difilm ya menurut saya baru radit dan dodit

Unknown mengatakan...

Mungkin bagi dia film yg terbaik adalah film 212
Masalah personal jgn dibawa deh

Rasyidharry mengatakan...

@Chan Buset, masih inget Musik Untuk Cinta. Mantap! hahaha

@Akbar True. Sayangnya penonton sekarang sering terlalu enteng menyebut "sampah". Ada banyak kurang dibilang sampah. Nggak suka sama filmnya langsung dicap sampah.

@Reza Semoga bukan karena itu ya :)

@Pusfita Nah, kalau pakai istilah "filmnya jelek" atau "filmnya garing" itu sih monggo. Dan memang nggak keliru. Kebanyakan film yang isinya komika memang garing. Tapi kalau sampai pakai kata "sampah" ya terlalu berlebihan.

@Teguh Betul itu. Milly & Mamet contohnya. Saya sering nggak ketawa, tapi penonton lain selalu ngakak, bahkan sampai tepuk tangan. Itu makanya "garing" belum tentu "jelek", dan "jelek" belum tentu "sampah".

aan mengatakan...

Humor memang relatif ga bisa bikin semua orang ketawa.sampe berkomentar jelek bilang sampah.makanya bisa hit atau miss.saya aja kadang liat yg bukan humor juga bisa ketawa.semisal film avangers civil war...pas tony bilang bibinya peter cantik.yg saya tau marissa tomei mantan pacar robert .....

Yolana mengatakan...

Apa karena terlalu memaksakan "musti lucu di setiap scene" ya mas, makanya ada yg kurang?

Alvan Muqorrobin Assegaf mengatakan...

Kalau menurut saya komedi itu daya temvaknya itu relatif sih. Saya pas nonton Milly dan Mamet jujur menjadi salah satu orang yg ngakak hampir di tiap banyolan yg muncul. Kalaupun ada guyonan garing paling itu sedikit dan masih bisa bikin saya tersenyum. Dan yg paling ok pesannya film tersebut itu lhoo. Kebanyakan reletable,karena guyonannya kebanyakan diletakkan pada situasi serius. Jadinya cukup efektif sih. Perasaan hbis nonton film milly dab mamet kayak perpaduan hbis nonton aadc 2 dan CTS sih. Jusy opinian.

KOKO mengatakan...

Menurut saya agak lebay ya kalo “ ngecap “ film buruk dengan sebutan “ sampah”. Kasus dalam Milly & Mamet ini hanya soal kejenuhan yang sama kok yang kita dapat di fim2 Ernest sebelumnya. Ia memang tak menawarkan hal baru dalam menonjolkan sisi komedinya. Selalu konsisten menggunakan formula Komika sebagai pemancing tawa.. Namun kita sebagai penonton pasti ingin melihat sesuatu yang beda dari seorang Ernest. Bukan cuma itu2 saja .. well . Gak buruk2 banget sih,Buat saya Milly & Mamet Berhasil menciptakan sisi emosional dramanya. Namun sekali lagi. Ia terlihat terlalu menggampangkan konklusi juga..

Rasyidharry mengatakan...

@Yolana Pendekatan gitu sebenarnya nggak salah juga (toh memang komedi), asal kuantitas itu dibarengi kualitas.

@Alvan Nah itulah kenapa nggak bisa segampang itu bilang komedi jelek. Agak tricky memang.

@Koko Oh iya. Dari dulu Ernest memang selalu lebih kuat di drama (bukan berarti komedinya sama sekali garing). Ngenest, CTS, Milly & Mamet, bahkan Susah Sinyal yang jadi film Ernest terlemah pun kuat di drama. Karena dia peka sama masalah-masalah di sekitarnya.

Shanaya mengatakan...

Filmnya sangat menghibur kok, kemarin yg nonton jg banyak, pada ketawa smua, bahkan beberapa scene ada yg sampai tepuk tangan, dan nggak ada yg keluar smpe film berakhir, malahan msh banyak yg duduk krn ada credit titlenya yg bikin ngakaks abis, lebay bgt klo blg komika film sampah, ernest jelas jauh melebihi itu, tau gmn caranya melucu, dan gk garing macam film2 sejenis security ugal2an. Bravo untuk ernest, menunggu karyamu selanjutnya.

Shanaya mengatakan...

@Andre Dana...apa yg kamu lakukan itu, jahit!

Tonton filmnya, dan temukan kelucuan dlm kalimatku di atas

Unknown mengatakan...

pertama kali ngepost disini..
Halo salam kenal mas Harry...saya penggemar Blog Anda...kebanyakan kalo mo ntn pelem pasti saya ngintip sini dulu...hehhee
jujur aj buat saya semua film Ernest itu punya makna...dan ada yang bisa kita ambil dari film itu..mmg gk selalu bagus banget..tapi enak untuk diikuti filmnya...
walau belum ada yang bisa menyaingi suksesnya Cek Toko Sebelah (buat saya itu SUPER)

Jadi untuk film milly mamet ini..mungkin nostalgia yaaa.,.utk melihat mereka berdua (kayak kangen2xan ma AADC)

Sekian hehhee

Unknown mengatakan...

@Akbar Pradhana Kalo Raditya Dika..menurut saya lebih enak baca bukunya...lebih menghibur..dibanding harus ntn filmnya... Untuk urusan tulis menulis Raditya Dika Nomor 1 buat gw...lucu abis..kreatif abis..keren abis...tapi untuk film..Raditya masi kalah jauh dari Ernest..

Zamal mengatakan...

Ngakak ..dsini isyana juaranya...

Nas mengatakan...

Aku gak suka film ini. Bikin gue sakit perut krn ketawa. 😂😂