APP WAR (2018)

3 komentar
Menurut film ini, hanya 2% usaha startup sanggup meraup kesuksesan. Karena, meski dijalankan oleh orang-orang dengan ambisi, semangat, serta harapan tinggi, kesulitan juga risiko yang dihadapi pun tak kalah tinggi. App War kaya sutradara Yanyong Kuruaungkoul (Back to the 90s) berbagi ambisi serupa dalam hal cakupan cerita yang memasang banyak target. Apabila diibaratkan startup, meski bukan termasuk 90% yang kolaps, film ini belum cukup solid untuk bergabung dalam kelompok kecil berisi 2% peraih keberhasilan.

Tokoh utamanya adalah Bomb (Nat Kitcharit) dan June (Warisara Yu), dua pemilik startup yang masih kesulitan mengembangkan usaha kala tiap kompetisi yang diikuti selalu berujung kegagalan. Sampai suatu hari pasca sebuah kompetisi, mereka bertemu, menghabiskan malam bersama, dan menemukan bahwa masing-masing memiliki setumpuk kesamaan.

Walau tak berlanjut ke hubungan romantis karena June (masih) memiliki kekasih, pertemuan itu tetap meninggalkan makna bagi Bomb, yang sudah sekian lama melakukan kegemarannya sendiri (makan masakan India, bermain lasser tag). Bomb pun terinspirasi membuat Inviter, aplikasi untuk mempertemukan orang-orang dengan kesukaan serupa agar bisa bertemu tanpa harus menyinggung ranah romantis (tagline aplikasinya berbunyi, “Non-Romantic Relationship”.

Bersama dua sahabatnya, Build (Apiwich Reardon) dan Tai (Sirat Intarachote), Bomb bisa pelan-pelan membawa Inviter menuju kesuksesan.....hingga aplikasi serupa bernama Amjoin hadir sebagai pesaing dan mengancam posisi Inviter. Bisa ditebak, Amjoin dalah kepunyaan June. Saling mengetahui posisi satu sama lain, hubungan Bomb dan June pun memanas. Bomb menganggap June mencuri idenya, yang tentu disangkal sang gadis. Sempat menjadi sepasang manusia yang saling menemukan, kini mereka menjadi musuh yang saling menjatuhkan.

Baik Inviter maupun Amjoin punya plus-minus yang mencermikan penciptanya Sistem Inviter rapi, berjalan mulus, tapi tampak membosankan, sementara Amjoin terlihat menarik tapi sistemnya kacau balau. Masalah yang sejatinya dapat teratasi apabila kedua aplikasi disatukan untuk saling melengkapi, sebagaimana sebuah hubungan harusnya berjalan.

Rivalitas ini memancing tercetusnya ide kotor pada kedua pihak, yakni menyusupkan mata-mata. Inviter mengirim Tai sang desainer, sementara Amjoin mengutus Mild (Patchanan Jiajirachote) si anak magang cantik yang diharapkan mampu meluluhkan hati para pria. Karena Bomb dan June telah mengetahui status masing-masing, tidak memungkinkan bagi mereka menjadi mata-mata, sehingga filmnya membutuhkan karakter lain, yang mau tak mau memecah fokus alur, sehingga makin sulit mendapatkan hasil maksimal di tiap subplot.

Tai merasa pekerjaannya tak dihargai di Inviter. Begitu menyusup ke Amjoin, ia mendapati situasi berbeda. June mengapresiasi hasil desainnya. Masalah serupa saya yakin pernah dialami pegawai mana pun. Sayang, problematika ini urung ditelusuri lebih dalam, sebab App War tidak punya cukup waktu untuk diluangkan. Setidaknya Tai lebih beruntung ketimbang Mild. Saya paham kejengahannya atas perlakuan semena-mena para bos di Amjoin, namun alasan mengapa ia betah bahkan terikat dengan Inviter, walau cuma dilihat sebagai “pemanis”, lalai dijabarkan.

Sampai sini barangkali anda telah menyadari betapa banyak poin yang coba film ini tampilkan. Ada romantika, sentilan terhadap lingkungan kerja, juga hiburan berbentuk pertarungan adu trik antara dua perusahaan. Akhirnya tidak ada satu pun poin sukses mencapai potensinya. Kisah cintanya belum cukup manis, sebab Bomb dan June sendiri jarang berbagi momen manis. Sedangkan premis uniknya soal mengirim mata-mata, meski diawali secara menarik, perlahan kehilangan daya tatkala naskah garapan Phuwanit Pholdee (Oversize Cops), Sutthipong Phanthanalai, dan Rangsima Aukkarawiwat gagal menyajikan variasi intrik dalam adu taktik dua kubu.

Beruntung, App War masih menghibur. Deretan humornya efektif, seluruh jajaran cast menampilkan performa yang nyaman dinikmati, dan penyutradaraan Yanyong Kuruaungkoul kaya energi. Film ini membicarakan kultur modern di tengah kehidupan kaum muda, dan pendekatan Yanyong mencerminkan itu melalui tempo bertutur lincah nan dinamis, dibantu penyuntingan cekatan oleh Rachaphun Phisutsinthop (Warrior King 2, Timeline).

Menjelang babak akhir, App War terasa problematik. Pertama, rekan-rekan June di Amjoin terlampau diantagonisasi. Benar bahwa kedua perusahaan melakukan kecurangan bersama, tetapi perbuatan Amjoin sudah terlalu jauh, termasuk caranya memperlakukan karyawan. Di sisi lain, Bomb dan teman-temannya dari Inviter digambarkan sebagai orang-orang berhati baik yang berbuat salah atas dasar khilaf. Perlakuan kurang adil tersebut menciptakan distraksi dalam proses filmnya mengobservasi sisi (agak) gelap dunia kerja.

Masalah kedua, terkait bagaimana konklusinya dibangun berdasarkan keputusan dipaksakan yang dibuat oleh tokoh utama. Sayang, padahal momen penutupnya menyimpan elemen manis—dan berpotensi memancing haru—tentang betapa indah serta bermaknanya melakukan hal yang kita cinta bersama sosok spesial tercinta.

3 komentar :

Comment Page:
Dana Saidana mengatakan...

Ekspektasi saya film ini akan menjabarkan bagaimana sebuah aplikasi rintisan bisa berhasil masuk ke jajaran atas aplikasi yang paling banyak dicari.

Ternyata hal itu urung terjadi ya Bang.

Di film ini kita hanya melihat Inviter tiba2 udah berada diposisi atas.
Kemudian muncul Amjoin menjadi pesaing utama.
Amjoin bisa menjadi pesaing utama pun urung dijabarkan bagaimana caranya.

Nas mengatakan...

Bang, rekomen donk film dramedi romantis Thailand yg alurnya simpel macam Crazy Rich Asians tapi eksekusinya bagus.

Rasyidharry mengatakan...

@Dana Ya, memang nggak terlalu dalam eksplorasi soal startup-nya. Tapi ya udah, tujuannya memang bukan sepenuhnya ke situ.

@nasrullah Coba First Love, Hello Stranger, sama film-filmnya GTH & GDH (penerusnya)