SIMMBA (2018)

Tidak ada komentar
Pada sebuah adegan, salah satu pemerkosa menyebut alasan perbuatannya adalah dikarenakan sang wanita memprovokasi serta menyerangnya, dan itu melukai egonya. Terdengar familiar, sebab itu jamak terjadi. Pelaku perkosaan (kebanyakan pria) berusaha menjustifikasi tindakan bejatnya dengan menyalahkan korban, yang dianggap “memprovokasi”. Entah lewat tingkah maupun cara berpakaian. Kalau anda merasa alasan tersebut bisa dimaklumi, silahkan menceburkan diri ke neraka jahanam. Jika sebaliknya, kemungkinan, Simmba adalah film untuk anda.

Tapi spin-off dari seri Singham sekaligus remake dari film Telugu berjudul Temper (2015) ini tak langsung menyelami isu penting itu. Protagonisnya sendiri, awalnya bukan figur jagoan kebanyakan. Tumbuh sebagai yatim piatu yang tinggal di jalanan dan belajar bahwa untuk bertahan hidup (baca: mengeruk uang) seseorang mesti memiliki kuasa, Sangram “Simmba” Bhalerao (Ranveer Singh) bercita-cita menjadi polisi setelah mendapati betapa pihak pemegang otoritas bisa bermandikan uang apabila mampu “memanfaatkan” kekuatannya.

Mimpinya pun terwujud. Simmba menjadi polisi yang terkenal karena dua hal: kemampuan fisiknya dalam menghajar kriminal dan korupsi akutnya. Walau berasal dari kota yang sama dengan Bajirao Singham (Ajay Devgn), reputasi Simmba amat berkebalikan. Ketika ditransfer ke Miramar, ia pun berbahagia, karena menurutnya di sana merupakan tambang emas. Sebelum pindah, Simmba telah diwanti-wanti agar tidak mencampuri urusan Durva Yashwant Ranade (Sonu Sood) selaku penguasa dunia hitam Miramar. Tentu ia menolak patuh.

Hari pertamanya langsung diisi dengan penggerebekan di berbagai tempat usaha Durva. Bukan dalam rangka mengakhiri kejahatan, melainkan demi memperoleh lebih banyak setoran. Tapi tanpa sepengetahuan Simmba, Durva memliki bisnis rahasia berupa jual-beli narkoba yang menggunakan anak-anak sebagai kurir.

Sekitar satu setengah jam pertamanya murni komedi konyol over-the-top yang didominasi aksi eksentrik si tokoh utama. Sulit bersimpati pada tindak korupsi kelewat batas Simmba, namun sulit untuk membencinya berkat penampilan komikal kaya energi dari Ranveer Singh, yang cukup kuat menggerakkan filmnya, bahkan ketika plotnya begitu berantakan pula tak terfokus. Sangat tidak terarah, saya berulang kali bertanya pada diri sendiri, “Apa yang film ini incar?”. Farce? Satir? Sajian kriminal? Atau (yang paling lemah) romansa?

Simmba terpikat pada Shagun (Sara Ali Khan), gadis cantik pemilik usaha katering di depan kantor polisi. Usaha Simmba memikat Shagun memang menghibur dan menghasilkan beberapa kejenakaan, semisal ketika ia merekayasa ancaman palsu agar bisa mengunjungi rumah sang gadis. Tapi tak ada dampak nyata bagi alur atau pembangunan karakter. Faktanya, setelah jatuh ke pelukan Simmba, Shagun menghilang sampai jelang klimaks. Ada pula sekuen musikal canggung diisi lanskap indah plus momen manis yang gagal berbaur dengan tone filmnya. Setelah rentetan absurditas, aneh rasanya, menyaksikan Simmba berlagak lembut sambil bermesraan di padang rumput.

Kemudian datanglah titik balik dramatis, yang bukan cuma mengubah arah film jadi lebih tertata, juga karakternya. Titik tersebut sangat kuat, perubahan 180 derajat yang terjadi pada Simmba pun bisa dipahami. Tiba-tiba saya mendukungnya, sementara Ranveer Singh memperlihatkan mengapa ia termasuk jagoan aksi kelas satu, yang nampak meyakinkan kala sambil duduk, ia memukul lawannya hingga terpelanting. Ditambah lagi, pengarahan laga Rohit Shetty (Singham, Chennai Express, Dilwale) efektif memaksimalkan pesona Ranveer.

Sejak titik balik tersebut, skenario buatan Yunus Sajawal dan Sajid Samji mulai menyelipkan elemen sensitif perihal isu pemerkosaan. Presentasinya sering terasa bak PSA, namun relevansi dan kepentingannya tak bisa ditampik. Mengetahui bahwa kasus pemerkosaan di India mencapai ratusan ribu dalam beberapa tahun terakhir, rasanya kesubtilan memang tak diperlukan guna memancing perubahan. Satu jam terakhirnya memprovokasi sekaligus menampar kesadaran penonton, bahwa apabila “rape culture” dibiarkan, atau lebih parah lagi dibenarkan, wanita takkan pernah merasa aman. Dan ketika polisi sampai politisi terus menyalahgunakan kekuatan mereka, apa yang bisa dilakukan selain bertindak tegas?

Serupa momen-momen yang hadir sebelumnya, adegan aksi yang menjadi sajian pamungkas Simmba digarap solid. Sebuah perkelahian (tag team) hard-hitting yang sejatinya adalah bentuk “kecurangan” karena menggunakan elemen deus-ex-machina untuk menyelesaikan persoalan sekaligus sebagai fan service, namun dapat dimaafkan berkat pengemasan keren dari Rohit Shetty. Andai fokusnya didapatkan lebih awal, Simmba berpotensi menjadi mahakarya penting nan berani yang tak perlu memaksa penontonnya duduk menyaksikan 90 menit pertama yang berantakan.

Tidak ada komentar :

Comment Page: