TAKE POINT (2018)

5 komentar
Ketika ada film aksi Asia memakai jajaran pemain negeri Barat, mengadopsi gaya serta kultur Barat agar terasa “lebih Barat” guna mencuri perhatian penonton Barat, penonton perlu menyalakan tanda bahaya. Bahkan di film seperti Take Point sekalipun, yang digarap sutradara berbakat Kim Byung-woo (The Terror Live) sekaligus dibintangi Ha Jung-woo selaku salah satu aktor terbesar Korea Selatan saat ini.

Hampir seluruh kalimat dalam naskah yang ditulis sendiri oleh Byung-woo memakai Bahasa Inggris, termasuk setumpuk variasi kata “fuck” yang disebar secara acak supaya karakternya nampak lebih tangguh (in Western kind of way), namun akhirnya justru terdengar dipaksakan dan canggung. Demikian pula alurnya yang dituturkan dengan berantakan, khususnya pada 30 menit pertama.

Berlatar tahun 2024, Ha Jung-woo memerankan Ahab, seorang kapten prajurit bayaran elit, yang mendapat tugas rahasia dari pemerintah Amerika untuk menangkap salah satu pejabat tinggi Korea Utara, dalam rangka meningkatkan elektabilitas sang Presiden yang terus menurun jelang pemilu. Tapi begitu tiba di lokasi yang terletak di bawah Zona Demiliterisasi Korea, yang mereka jumpai justru King (Wook-Hyun Sun) sang Supreme Leader.

Berikutnya, seiring perubahan misi dengan tingkat bahaya yang turut meninggi, Byung-woo coba menjabarkan plot yang terdiri atas konspirasi internasional dan pengkhianatan di luar berbagai twist lain, melalui baris-baris kalimat eksposisi berbelit yang dituturkan dalam tempo manik layaknya presentasi gugup seorang mahasiswa di depan kelas.

Lupakan penonton yang duduk nyaman di kursi bioskop. Saya terkejut tokoh-tokohnya, yang ditempatkan di tengah situasi hidup dan mati, sanggup mencerna seluruh peristiwa di sekitar mereka. Begitu ramai, begitu rumit, begitu berbelit, tensi setengah jam pertamanya pun menjadi lemah, juga menghadirkan rasa lelah. Kapasitas bercerita Byung-woo amat buruk. Kalau anda merasa penceritaan Mile 22 kacau, silahkan coba Take Point.

Beruntung, pasca pembangunan (atau lebih cocok disebut “penghancuran”) plot itu berlalu, Take Point sepenuhnya meluangkan waktu dan sumber daya untuk menyusun aksi beroktan tinggi, yang intensitas serta kegilaannya perlahan meningkat seiring waktu. Byung-woo bak mengambil ilmu dari buku panduan “How to Direct An Action Movie” milik Paul Greengrass, di mana ia mengkombinasikan shaky cam berkadar normal dengan gerak kamera yang lincah menjelajahi ruang-ruang sempit bunker, yang turut mengingatkan saya akan gim bergaya First-person shooter.

Di samping kritik terhadap kepentingan politik (Amerika) yang tak seberapa memberi dampak, Take Point tak ketinggalan menyelipkan pesan anti-peperangan, khususnya terkait Korea Selatan dan Korea Utara. Pesan tersebut disimbolkan oleh dua tokoh utama, Ahab si prajurit Korea Selatan dan Yoon Ji-eui (Lee Sun-kyun) selaku kepala tim medis King, yang dituntut bekerja sama untuk dapat keluar dari bunker. Subteks itu pun sejatinya lemah, tapi saya menyukai sebuah adegan tatkala Ahab, di bawah instruksi Ji-eui, berusaha menyelamatkan nyawa King. Di suatu film aksi yang begitu ringan mencabut nyawa karakter melalui baku tembak, menarik rasanya melihat bagaimana ketegangan tinggi mampu disajikan lewat adegan menyelamatkan nyawa ketimbang merenggutnya.

Anda hanya harus melupakan betapa alurnya kerap meninggalkan lubang, tidak masuk akal, serta dituturkan dengan berantakan, agar bisa menikmati gelaran aksi milik Take Point, yang secara konsisten bertambah besar, hingga akhirnya berpuncak di klimaks gila nan mengejutkan, ditemani iringan musik bombastis gubahan Lee Ju-noh (Armor Hero Atlas) dan Jaeil Jung (Doraemon: Nobita and the Space Heroes, Okja).

5 komentar :

Comment Page:
Markygirl mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
sylvia mengatakan...

cara bercerita Kim Byung Woo memang tidak sesederhana cara bercerita sutradara korea lain seperti Kim Yong Hwa (along with the gods). Selain usia yang masih belum senior, gaya dia bercerita memang ingin sekali kebarat2an, seperti yg sedang tren, film2 perang. saya akui kalau cuma nonton sekali filmnya pasti akan sedikit kebingungan dengan maksud yang ingin dia ceritakan. Tidak sedikit juga komen seperti ini saya temukan di beberapa blog penonton korea, yg kebingungan tentang alur cerita, dan maksud dari akhir cerita take point. Buat saya, di akhir cerita, sebenarnya itu adalah maksud dari cerita awalnya film ini. Dengan durasi 120 menit memang banyak orang lalu sudah tidak konsen di akhir2 film lalu mulai terdistraksi untuk tidak terlalu memperhatikan jalan cerita krn dianggap sudah mau ending, toh akan jd lebih ringan alurnya.. Menurut pendapat pribadi saya sebagai orang awam super biasa, review alur cerita yg ditulis Pak Rasyid belum sesuai dengan apa yang saya tangkap. Bukan mengenai tanggapan negatif anda mengenai cara mereka menceritakan yg katanya "berantakan" seperti Miles 22, tp tentang apa hubungan Amerika, Korea Utara, dan tentara2 bayaran tersebut. Masih ada maksud sebenarnya yang mohon maaf sekali.. belum tertulis di review diatas..

No offense ya.. hanya memberi masukan, semoga bs diterima dengan bijak :)

p.s: kynya kemarin malem kita ketemu di screening.. ;)

Rasyidharry mengatakan...

Kalau endingnya sih udah bagus itu. Bikin ceritanya jadi full circle. Nah problem bukan ada di "apa yang disampaikan" tapi "bagaimana". No matter how insightful the story, it's useless if it failed to generate audience interest. Kalau ada intepretasi lain soal pesan filmnya, boleh lho dibagi. Kan pemaknaan cerita ndak ada yang absolut.

Wah, lain kali kalau ngelihat pas screening samperin aja, jadi bisa diskusi filmnya hehe

Markygirl mengatakan...

Baru kelar nonton nih kak.. In my opinion itu film setingkat Hollywood... Intense.. Awal emang agak aneh kebanyakan 'fuck' tapi aku enjoy koq.. Apalagi acting Ha Jung Woo nampol bangetttttt... Btw, si ha jung woo ini tertarik mau gabung di Marvel lho kak

Rasyidharry mengatakan...

Hoo bagus itu. Pintu Marvel terbuka lebar pokoknya buat Ha Jung-woo & Hwang Jung-min :D