UNSTOPPABLE (2018)

10 komentar
Unstoppable membuktikan bahwa Ma Dong-seok alias Don LEE layak menjadi salah satu bintang film terbesar di Korea Selatan kalau bukan seluruh dunia. Banyak aktor dan aktris mampu memerankan mantan gangster/militer yang coba menjalani hidup damai, namun sedikit yang bisa memberi hati dan kelembutan meyakinkan sebaik Ma. Setelah melihat secercah talentanya sebagai jagoan penyayang dalam Train to Busan (2016) dan Along with the Gods: The Last 49 Days (2018), Unstoppable menyempurnakannya.

Ma memerankan Dong-chul, mantan gangster ternama yang dikenal lewat pukulan mautnya. Dia bahkan pernah membunuh kerbau dengan tangan kosong, sehingga memberinya julukan “Bull” (film ini awalnya berjudul Raging Bull). Tapi sekarang ia menjalani hidup biasa sebagai pemasok ikan yang tengah mengalami kesulitan finansial akibat jarang dibayar dan kerap tertipu dalam bisnis palsu karena kebaikan hatinya.

Sang istri, Ji-soo (Song Ji-hyo) total mendukung kehidupan baru Dong-chul. Bahkan ia kini nampak lebih galak serta dominan daripada suaminya. Di satu obrolan dalam mobil, Dong-chul hanya mengangguk patuh kala diomeli sang istri. Menyaksikan kesungguhannya di adegan itu saja cukup untuk mensahkan statusnya sebagai karakter likeable.

Tidak lama setelah pembicaraan tersebut, mereka tertabrak mobil Gi-tae (Kim Sung-oh), yang sebelumnya kita lihat menyiksa seorang pria yang berhutang padanya dengan tingkah bak psikopat. Dia tertawa riang sambil menawarkan beragam variasi cara bagi sang korban memalsukan kematiannya, tersenyum kala mengiris pergelangan tangan pria itu, lalu menculik puterinya sebagai jaminan.

Ketika Dong-chul meminta permintaan maaf dan kesediaan mengisi laporan ke polisi dengan sopan—yang tentu saja tidak berhasil—Ji-soo keluar dari mobil dan meluapkan amarahnya. Ini satu lagi situasi bermakna, karena saya yakin, Ji-soo melakukan itu demi menjaga agar sang suami tidak tersulut. Sialnya, sikap tersebut menarik perhatian Gi-tae, dan suatu malam, pasca kejutan ulang tahun yang gagal, ia menculik Ji-soo. Jika familiar akan film bertema serupa, mungkin anda bakal terkejut saat Dong-chul tidak serta merta “menyalakan mode vigilante”. Dia melapor pada polisi, memilih sabar menanti.

Keputusan itu memberi naskah tulisan Kim Min-ho—yang juga melakoni debut penyutradaraan di sini—bobot lebih, sebab artinya, momen-momen sebelumnya bukan sebatas jembatan tanpa arti menuju gelaran aksi, melainkan sebuah studi karakter yang nyata. Bahkan di kondisi genting pun Dong-chul tetap coba menahan diri, setia pada identitas barunya. Dia telah berjanji pada istri tercintanya.

Tentu akhirnya ia kehilangan kesabaran setelah minimnya progres investigasi polisi. Dong-chul pun sempat melihat foto-foto wanita korban penculikan di dinding yang belum ditemukan, mendukung asumsi jika kepolisian kurang becus menangani kasus. Apa mereka memang tak mampu atau tak sungguh-sungguh? Pun di satu titik, filmnya sempat menggoda kita untuk berprasangka, “Apakah mereka termasuk polisi korup?”.

Begitu Dong-chul memutuskan turun tangan, Unstoppable tancap gas menyajikan aksi keras di mana sang tokoh utama menghajar habis orang-orang yang menghalangi jalannya. Dibantu Choon-sik (Park Ji-hwan) si kawan lama dan President Bear (Kim Min-jae) yang ahli perihal mencari orang (keduanya dipakai mengisi unsur komikal yang cukup ampuh memancing tawa), Dong-chul memulai penyelidikan.

Elemen investigasi Unstoppable sebenarnya tidak spesial, sekadar mengikuti pakem standar yang melibatkan pencarian plat nomor, nama, hingga markas persembunyian Gi-tae. Kisahnya sedikit menyenggol sisi kelam Korean Wave, tapi serupa isu soal kinerja polisi, urung digali mendalam. Tapi Unstoppable tetap menyenangkan disaksikan. Berkat babak perkenalan yang sukses, dengan senang hati saya mendukung Dong-chul, yang mana cukup selaku pondasi intensitas.

Min-ho sanggup menjabarkan aksi hard-hitting yang solid. Sekalinya pancaran mata Ma Dong-seok berubah, ia bertransformasi menjadi mesin tak terhentikan yang bisa menghilangkan kesadaran seseorang hanya lewat satu pukulan, menggetarkan tembok bagai raksasa sedang melangkah, juga menghancurkan seisi bangunan semudah meremukkan tripleks.

Beberapa perkelahian Ma jelas memancing decak kagum, namun para wanita, khususnya Ji-soo, tak ketinggalan diberi kesempatan bersinar. Dia bukan sosok lemah yang cuma menangis, berdiam diri menanti diselamatkan. Diperlihatkannya kekuatan fisik pula kecerdasan dalam salah satu sekuen paling menegangkan di filmnya. Of course you’re not going to cast Song Ji-hyo as a helpless, passive, damsel in distress, right?  

10 komentar :

Comment Page:
Dana Saidana mengatakan...

Buat orang dewasa gak seru Bang.
Sampai ending film gak ada satupun tokoh yang almarhum.

Ini mah film untuk segala umur :-D

Rasyidharry mengatakan...

Itu kepala nyungsep ke langit-langit kurang almarhum apa 😂

bais mustaqim mengatakan...

Kayak i saw the devil ya?

Badminton Battlezone mengatakan...

Bacanya mirip2 taken atau equalizer bang?

Dana Saidana mengatakan...

Bukannya yang nyungsep dilangit2 masih hidup Bang?
Seingat saya diending film yang badannya gede itu ikut digiring polisi.

wins mengatakan...

Song ji-hyo? I love her...

Rasyidharry mengatakan...

@Bais beda sih, I Saw the Devil kan revenge, kalau ini lebih deket ke Taken.

@Badminton Taken iya. Kalau The Equalizer yang pertama, soalnya yang kedua udah masuk revenge thriller.

@Dana Oo tubuhnya idup, otaknya pasti koit itu haha

@wins yes, me too! Senang lihat dia dapet peran yang pas.

Anonim mengatakan...

jadi tertarik nonton, mau ke bioskop di website download film malah udh keluar, hadehhh

Hadana Lihadzar R. mengatakan...

Film Korea itu jarang yang mengecewakan. Entah setelah saya terobsesi dengan film-film Korea jadi kurang begitu bergairah menonton film Barat, kecuali yang benar-benar booming banyak dibicarakan.

Andah mengatakan...

downloadnya dimana siih??

nyari linknya gak nemu