COLD PURSUIT (2019)

3 komentar
Liam Neeson membantai puluhan penjahat seorang diri demi membalas kematian sosok tercintanya. Baik premis, trailer, maupun posternya mengesankan bahwa Cold Pursuit merupakan satu lagi installment dalam seri tak resmi “Liam Neeson’s One Man Army Revenge Action Flick”. Dan bagaimana filmnya bermula makin menguatkan kesan tersebut.

Nelson Coxman (Liam Neeson) adalah pembersih salju di sebuah kota resor ski fiktif, Kehoe, yang menjalani hidup bahagia bersama sang istri, Grace (Laura Dern), dan anaknya, Kyle (Micheál Richardson). Kebahagiaan itu makin lengkap kala Nelson dianugerahi gelar “Citizen of the Year”. Hingga suatu malam, beberapa orang menculik Kyle lalu menyuntikkan heroin ke tubuhnya. Pagi harinya Kyle ditemukan tewas overdosis.

Peristiwa itu terdengar seperti “tragedi sempurna” selaku pemicu bangkitnya insting membunuh karakter peranan Liam Neeson, yang biasa kita saksikan di fase karirnya pasca Taken (2008). Sampai adegan di ruang jenazah terjadi, saat tim forensik kesulitan menunjukkan tubuh Kyle kepada orang tuanya. Di situlah saya, yang menonton tanpa membaca ulasan atau menonton film aslinya (Cold Pursuit merupakan remake film Norwegia In Order of Disappearance yang juga disutradarai Hans Petter Moland) sadar, Cold Pursuit berbeda dengan ekspektasi saya dan banyak penonton lainnya.

Ini adalah komedi hitam yang lebih dekat ke arah karya-karya Coen Brothers ketimbang thriller-aksi khas Liam Neeson. Bahkan salah satu adegan menampilkan obrolan dalam mobil antara dua mafia tentang trik menyetubuhi pelayan motel di sela-sela misi penculikan yang mereka emban. Situasi tersebut mengingatkan pada adegan legendaris dari Pulp Fiction-nya Quentin Tarantino.

Jumlah korban yang berjatuhan masih tinggi, pun berkat metode brutal Nelson banyak dari mereka tewas mengenaskan, yang sayangnya kerap meninggalkan transisi jumpy sebagai dampak penyensoran (Walau saya mencurigai penyuntingan film ini memang buruk di beberapa titik). Selepas masing-masing kematian, kita akan diperlihatkan layar hitam berisi nama korban, yang kebanyakan memiliki panggilan unik sepeti Speedo, Wingman, dan lain-lain. Gaya tersebut kerap menghasilkan tawa, khususnya memasuki klimaks sewaktu banyak nyawa melayang di satu waktu.

Alurnya pun tidak sesederhana kelihatannya. Karena Viking (Tom Bateman), bos mafia yang Nelson bantai, mengira anak buahnya tewas di tangan sang rival, gembong narkoba Indian yang dipimpin White Bull (Tom Jackson). Kedua pihak sempat terlibat perjanjian pembagian wilayah kekuasaan, sehingga mereka (juga para polisi) mengira seluruh kematian ini berkaitan dengan perang memperebutkan teritori. Terciptalah pertikaian sarat kekacauan selaku pondasi memadahi bagi terciptanya suguhan komedi hitam.

Beberapa karakter, khsusunya anak buah Viking, meski mayoritas diberi screentime minim, cukup meninggalkan kesan berkat ciri beragam yang disematkan naskah buatan Frank Baldwin, entah berbentuk sikap tidak biasa, cerita yang mereka sampaikan, atau rahasia yang mereka pendam.

Tidak semua humornya efetktif, dan banyak di antaranya akan segera terlupakan, entah karena di berbagai kesempatan Hans Petter Moland belum begitu piawai melukiskan situasi komedi gelap memorable, atau murni disebabkan penulisan humor yang tak cukup tajam. Konflik seputar kesalahpahaman pun sejatinya bukan merupakan intrik inovatif yang mampu secara konsisten menjaga momentum, terlebih saat Moland gemar menggerakkan filmnya dalam tempo lambat.

Tapi sungguh saya berbohong bila menyatakan bahwa absurditas Cold Pursuit kurang menyenangkan, dan melihat Liam Neeson, yang masih tampil setangguh biasanya, ditempatkan di tengah situasi aneh semacam ini, tatkala alih-alih dentuman ritmis klise khas thriller-aksi justru musik bernuansa Eropa gubahan George Fenton (Gandhi, The Fisher King) yang terdengar, tidak terasa menyegarkan.

3 komentar :

Comment Page:
baron mengatakan...

pas nonton, serasa fargo ama lock stock n 2 smoking barrel. Susah siy, secara cinta mati ama aki liam, apapun, nntn nya asiiik

Badminton Battlezone mengatakan...

Kalimat opening ulasan ini bener2 menggambarkan bagaimana saya terkecoh melihat poster (tanpa melihat trailer sama skali).

Btw Hans Petter ini apakah muridnya Tarantino ya bang? Karena jokes,cinematic komikal,dan dialognya sedikit mendekati Tarantino.

banyak scene di cut jg scara kasar,saya sampe curiga apakah ini jg bagian dari jokes hahaha

Rasyidharry mengatakan...

Bukan murid, emang gaya black comedy Eropa banyak yang gitu. Hans & Quentin ini seangkatan kok. Tapi kalo kemudian sedikit terinspirasi ya bisa aja.

Itu bukan bagian jokes, emang banyak cut kasar karena sensor.