GULLY BOY (2019)

3 komentar
Suguhan seperti Gully Boy merupakan alasan mengapa saya bersemangat menantikan film Bollywood tiap minggu meski harga tiketnya lebih tinggi. Para sineasnya piawai mewakili suara kaum yang ditekan. Bukan saja memotret kesulitan hidup, pula menyediakan suaka di mana rakyat kecil, minoritas, maupun korban represi punya kesempatan berjuang, sementara mereka yang lebih beruntung coba dibangkitkan nuraninya demi menumbuhkan kepedulian berasaskan kemanusiaan.

Film ini dibuat berdasarkan kisah hidup Naezy dan Divine, dua figur penting dalam pergerakan skena hip-hop Mumbai. Kemiskinan dan ketidakadilan di sekitar jadi sumber inspirasi karya mereka. Dalam menuturkan itu, sutradara Zoya Akhtar (Bombay Talkies, Dil Dhadakne Do) yang turut menulis naskahnya bersama Reema Kagti (Dil Dhadakne Do, Gold), kentara memahami substansi kultur hip-hop sebagai bentuk perlawanan terhdap kungkungan sosial-masyarakat.

Murad (Ranveer Singh) adalah pria muslim yang tinggal di perkampungan kumuh. Sang ayah (Vijay Raaz)—yang menikah lagi lalu membawa istri keduanya ke rumah—selalu menyuruh Murad “menundukkan kepala”, menyadari takdirnya sebagai rakyat kecil yang tak pantas bermimpi besar. Murad pun hanya bisa diam menurut. Bait-bait rima tulisannya jadi satu-satunya tempat di mana Murad bebas menyuarakan isi hati. Dia jatuh cinta pada musik rap.

Murad menjalin asmara dengan Safeena (Alia Bhatt), gadis dari keluarga mampu yang bercita-cita menjadi ahli bedah, meski ibunya beranggapan bahwa wanita tak memerlukan pendidikan tinggi. Keduanya terpaksa selalu diam-diam bertemu di bus, sebab mayoritas orang di sekeliling mereka, termasuk orang tua Safeena, adalah muslim konservatif yang menganggap pacaran sebagai tindakan tak bermoral.

Murad dan Safeena muncul bersama di layar untuk pertama kali lewat salah satu momen romansa non-verbal termanis yang pernah saya saksikan. Saya takkan menjabarkan detail situasinya, kecuali bahwa still photo adegan tersebut digunakan sebagai materi poster filmnya. Hanya melalui satu adegan itu, saya langsung terpikat pada pasangan ini. Terlebih, Ranveer Singh dan Alia Bhatt mampu memproduksi chemistry sempurna, di mana sang aktris menampilkan akting berapi-api sebagai “gadis senggol bacok” yang tak segan melakukan tindak kekerasan terhadap wanita yang ingin “mencuri” sang kekasih.

Peluang Murad memasuki skena rap tiba setelah bertemu MC Cher (Siddhant Chaturvedi) di sebuah pertemuan komunitas rap bawah tanah. Walau masih hijau dan perlu banyak belajar lagi perihal permainan beat, Sher mengakui baka Murad dalam menulis bait yang meskipun indah, begitu tajam pula jujur menangkap realita kalangan bawah.

Ada begitu banyak hal coba dipaparkan Gully Boy selama durasinya yang menyentuh 153 menit. Tidak ada semenitpun terbuang sia-sia dalam penuturan bertele-tele, tapi harus diakui, terlampau banyak permasalahan dipadatkan secara paksa. Menyatukan pengalaman nyata dua sosok manusia, Gully Boy bagai berhasrat mengumpulkan sebanyak mungkin cerita tentang para pencari kebebasan. Mulai dari pergulatan Murad guna membuktikan kemampuannya meraih mimpi, keresahan perihal jomplangnya kesejahteraan masyarakat, kemiskinan yang mendorong kriminalitas, kekolotan pola pikir termasuk mengenai cara publik memandang wanita, dan seterusnya.

Setiap isu memancing subplot baru, yang sesekali melelahkan diikuti dan berisiko merusak momentum. Beruntung, deretan problematikanya relatable, sehingga mudah memancing dukungan bagi tokoh-tokohnya. Kita ikut merasa terpuruk ketika mereka dijatuhkan, dan akhirnya, ketika mereka bangkit, melawan, kemudian berjaya, kita bakal bersorak layaknya merayakan kemenangan besar.  

Penyutradaraan Zoya Akhtar cukup dinamis untuk mengikuti atmosfer yang dihasilkan jajaran lagu rap (beberapa dibuat sekaligus dibawakan oleh Naezy dan Divine) yang setidaknya akan membuat anda tergoda menggoyangkan kepala, terserap ke dalam hentakan adiktif juga permainan kata yang acap kali menggelitik. Sewaktu karakternya beradu rap, beberapa kalimat cacian ampuh memancing senyum, tawa, atau bahkan—seperti sekelompok penonton yang duduk di depan saya—teriakan selaku ungkapan kekaguman atas “serangan brutal” tiap rapper.

Ranveer menciptakan protagonis likeable dalam transformasi perlahan Murad dari pria tertekan yang memilih diam menjadi sosok tangguh yang bersedia berdiri untuk melawan. Semua dipicu proses bermusiknya. Dan di atas panggung, Ranveer meyakinkan kala menjadi pemimpin kharismatik yang mengomandoi ratusan penonton untuk bernyanyi bersama, menyatukan teriakan perlawanan yang lama terpendam hingga menyesakkan dada.

3 komentar :

Comment Page:
IbnuZaen mengatakan...

Ranver sigh asli ngerap disini. flow asik tdak kalah ma repper. pas alia bhatt marah2 jdi teringat Chelsea islan

Fathiya Sefani Ghafira mengatakan...

Film-film india udh semakin bagus aja ya kayak padman, dangal, secret superstar dll saya suka ceritanya sederhana tp eksekusinya bagus. Belom sempet nonton yg ini, tp pasti masuk list buat ditonton setelah baca review bang rasyid. Btw saya pembaca setia blog ini jd sblm nonton pasti baca reviewnya disini hehehe sukses selalu untuk movfreak!

Rasyidharry mengatakan...

Bener. Pengemasannya ringan, tapi nggak kehilangan kekuatan pesan yang mau disampaikan.

Amin, thanks! 😁