THE WAY I LOVE YOU (2019)

7 komentar
The Way I Love You punya kans menjadi suguhan bernilai tentang proses saling menemukan belahan jiwa yang sanggup menambal lubang dalam hati, andai pilihan fokus utama bukan dijatuhkan kepada unsur lain yang lebih dangkal. Tidak sepenuhnya keliru memang, namun menghilangkan peluang filmnya memiliki pembeda dibanding setumpuk cerita cinta remaja pada umumnya.

Faktanya, naskah buatan Johanna Wattimena (#Teman tapi Menikah) dan Gendis Hapsari menyimpan banyak elemen menarik, seperti duka keluarga, persahabatan yang mengobati kesedihan, atau perihal jatuh cinta lewat perkenalan di dunia maya. Semua itu pernah diangkat ke layar lebar tentu saja, tapi eksplorasi lebih jauh dapat menghasilkan kisah kaya rasa yang tak berkutat di drama romantika remaja yang itu-itu saja.

Setelah kehilangan sang ibu, Senja (Syifa Hadju) tinggal bersama sepupunya, Anya (Tissa Biani), beserta kedua orang tuanya (Adi Nugroho dan Windy Wulandari). Usia sepantaran memudahkan keduanya menjalin persahabatan erat, di mana mereka menganggap satu sama lain sebagai hal terpenting dalam hidup. Bahkan saat menghilangkan buku harian yang selalu jadi tempat Senja menuliskan kegundahan termasuk kerinduan akan mendiang ibunya, Anya membelikan laptop untuk menebus kesalahannya. Melihat itu, Senja memeluk sang sahabat, berurai air mata, sambil berkata, “Keterlaluan lo”. Ucapan sederhana itu merupakan satu-satunya kalimat di film ini yang tak terdengar membosankan sekaligus memiliki rasa.

Tanpa mereka tahu, buku Senja ada di tangan Bara (Rizky Nazar), murid baru yang enam bulan lalu juga baru saja ditinggal pergi ibu. Ayahnya (Surya Saputra), memaksa Bara ikut pindah dari Bandung ke Jakarta guna memulai lembaran kehidupan baru, dan itu memancing amarahnya. Hingga pada satu adegan yang sekali lagi menunjukkan kapasitas Surya Saputra memerankan sosok ayah sentimentil nan gundah gulana, keduanya saling memaafkan. Momen itu muncul di paruh awal, mengakhiri konflik ayah-anak yang ada sebelum sempat berkembang.

Buku itu tidak sengaja ditinggalkan Anya—yang jatuh cinta kepada Bara—ketika duduk di sebelah Bara. Anehnya, tidak sekalipun Bara berasumsi buku tersebut kepunyaan Anya. Jika saya adalah Bara, Anya bakal jadi orang pertama yang saya datangi. Setidaknya langkah itu logis, serta punya probabilitas keberhasilan lebih besar ketimbang secara acak meminta satu per satu siswi di sekolah memperlihatkan tulisan tangan mereka.

Berkat laptop pemberian Anya, Senja pun memulai menulis kisah pribadinya di blog menggunakan nama pena Caramel Latte. Di sana, Senja bertemu seseorang dengan nama pengguna BadBoy, yang mengaku menyukai tulisannya. Senja pun terpikat oleh kata-kata manis si pria misterius. Setelah rutin mengobrol di dunia maya, keduanya memutuskan bertemu. Bertatap mukalah akhirnya Senja dengan Rasya (Baskara Mahendra), dan hubungan mereka makin dekat. Tapi pelan-pelan, Senja merasa ada keanehan. Berbeda dengan BadBoy, Rasya lebih “nakal”, gemar merayu, juga “agresif”.

Tentu kita tahu ke mana alurnya bergerak. Kita tahu bahwa Bara, yang selalu terlibat pertengkaran dengan Senja di sekolah, sejatinya adalah BadBoy. Kita tahu hubungan Senja dan Anya akan diuji begitu rahasia identitas BadBoy terungkap. Kita pun tahu, jika kisah semacam ini punya akhir bahagia, ketika kekuatan persahabatan mendorong salah satu untuk mengalah. Dikarenakan Rasya adalah pria brengsek, kita tahu kalau Senja takkan berakhir di pelukannya, sehingga bisa ditebak, Anya yang bakal berbesar hati merelakan cintanya.

Teramat klise, namun sekali lagi, bukan hal haram. Kekeliruan terletak pada ketiadaan elemen dalam plot yang membuat proses tetap layak kita lewati walau tujuannya mudah ditebak. Aspek-aspek penceritaan yang saya sebut di paragraf awal urung dikembangkan agar tak berakhir sebagai pajangan belaka. Naskahnya kekurangan daya guna menciptakan interaksi dinamis di antara karakter, sedangkan Rudi Aryanto (Surat Cinta untuk Starla the Movie, Dancing in the Rain) bagai memasang mode autopilot di penyutradaraannya. Terdapat usaha memproduksi kejenakaan, tapi satu-satunya momen di mana tawa saya meledak yakni ketika Adi Nugroho melontarkan “lelucon Gaara”.

Beruntung, The Way I Love You punya dua talenta muda berbakat. Syifa Hadju mampu menghadirkan protagonis likeable yang piawai memancing senyum tiap kali ia bertingkah canggung menanggapi pesan-pesan BadBoy di layar laptop. Sementara Tissa Biani melahirkan tokoh paling memorable di sini, serupa keberhasilannya di Laundry Show yang juga rilis minggu ini. Lain cerita bagi Rizky Nazar. Bukan kharismanya yang perlu dipertanyakan, melainkan seberapa alamiah ia dalam berlakon. Tengok tawa dipaksakan selaku respon Bara tatkala sang ayah salah mengartikan “kecelakaan” sebagai “menghamili”, yang menambah kecanggungan adegan komedik gagal tersebut.

7 komentar :

Comment Page:
Panca mengatakan...

Terlepas dari cerita yg agak2 ngeganjel/maksa si Syifa Hadju Lovable sih..

Anonim mengatakan...

Bang Rasyid, mendekat tanggal oscar, ada rencana bikin prediksinya bang?

Unknown mengatakan...

Mas Rasyid,

Review Isabelle dan The Knight of Shadows doooonk..

Bingung mw nuntun yg mana.. hari biasa nggk bisa nuntun maraton sehari 2 film, wkwkwkwk..

Unknown mengatakan...

Mas rasyid, this is unrelated with the post. . Tapi aku mau nanya kira2 The wandering earth kpn release di indo ya? Xie xie

Rasyidharry mengatakan...

Oh ini jelas, tunggu nggak lama lagi

Rasyidharry mengatakan...

Mendingan nonton Happy Death Day 2 U

Rasyidharry mengatakan...

Sayangnya sampai sekarang belum ada tanda bakal masuk sini. Padahal nungguin juga.