FRIEND ZONE (2019)

6 komentar
Friend Zone adalah barang langka. Sebuah tontonan ringan, bahkan tampak bodoh di permukaan, namun di balik itu, sangat menghargai inteligensi penonton. Romansanya ditampilkan serta terus dibangun via momen demi momen ketimbang kalimat puitis, sedangkan motivasi karakternya ditanam kuat-kuat meski secara subtil.

Saya pernah mendengar ungkapan berbunyi, “Pasangan bisa disebut saling mencintai jika sudah berani kentut di depan satu sama lain”. Palm (Naphat Siangsomboon) dan Gink (Pimchanok Leuwisetpaiboo a.k.a. Baifern) telah melangkah lebih jauh. Jangankan buang angin, Gink buang air besar di hadapan Palm dalam salah satu momen terlucu film ini, yang memproduksi salah satu kalimat terlucu tahun ini (“What’s wrong with your butthole?”).

Saya percaya ungkapan di atas. Terdengar konyol, tapi ada benarnya. Berarti keduanya merasa nyaman bersikap apa adanya. Kurang lebih begitulah hubungan Palm dan Gink, hanya saja, mereka bukan sepasang kekasih. Selama 10 tahun Palm terjebak di zona pertemanan setelah menggali kuburnya sendiri dengan berkata bahwa ia mencintai Gink sebagai teman.

Jadilah Palm menghabiskan satu dekade menemani Gink ke mana-mana walau tanpa status hubungan cinta, termasuk ikut mengarungi beberapa negara guna menguntit kekasih Gink, Ted (Jason Young), yang dicurigai tengah berselingkuh di tengah perjalanan bisnisnya sebagai produser musik. Kenapa Gink bertindak senekat itu seolah terobsesi pada sang kekasih? Ini bukan semata usaha filmnya melucu. Demi memahami itu, kita perlu kembali ke sekuen pembuka.

Semasa SMA, Gink, dengan bantuan Palm, memergoki perselingkuhan sang ayah. Tidak lama berselang, kekasih Gink berbuat hal sama kepadanya. Merujuk pada dua peristiwa tersebut, wajar jika kini Gink bersikap paranoid. Saya suka bagaimana naskah buatan Pattaranad Bhiboonsawade, Thodsapon Thiptinnakorn (SuckSeed, May Who?), dan sang sutradara, Chayanop Boonprakob (SuckSeed, A Gift, May Who?) urung meneriakkan alasan itu keras-keras. Bisa saja Gink tak menyadari bahwa trauma itu memantik ketidakpercayaannya. Penonton dibiarkan melihatnya sebagai respon bawah sadar karakternya.

Kemudian Friend Zone mengajak kita mengikuti perjalanan penuh tawa kedua tokoh utama. Palm mampu membuat Gink tertawa guna menghapus kesedihannya, Gink berbuat banyak kebodohan yang membuat Palm tertawa (sambil kerepotan luar biasa), lalu tawa tersebut bertransformasi menjadi cinta. Cinta di antara Gink dan Palm, juga saya kepada mereka.

Terasa romantis justru karena Friend Zone menolak berusaha secara berlebihan agar tampil romantis. Terasa romantis karena Friend Zone memperlihatkan dua manusia yang saling bertindak selaku sumber kebahagiaan masing-masing. Terasa romantis karena apabila kita ditempatkan di tengah situasi serupa, besar kemungkinan kita pun akan jatuh hati.

Baik Naphat maupun Baifern sama-sama sempurna melakoni peran mereka. Dalam film yang dipenuhi humor over-the-top termasuk “momen imajinasi” ketika salah satu karakter membayangkan sedang meluapkan amarahnya terhadap karakter lain yang kerap kita saksikan di film setipe, keduanya tak pernah gagal memancing tawa lewat chemistry komikal yang menyambar sekuat petir. Tentu suplai materi kreatif dari naskah, juga ketepatan timing dalam penyutradaraan Chayanop berperan besar, tapi tanpa Naphat dan Baifern yang tidak pernah takut mempermalukan diri sendiri di depan kamera, hati saya takkan tercuri, dan aksi saling goda yang akhirnya terjadi bakal kurang menggemaskan.

Kelebihan lain Friend Zone terletak pada penggambaran Ted sebagai sosok orang ketiga. Dia pria baik sekaligus bertalenta, yang dengan kerennya sanggup mengatasi permasalahan rumit di proses rekaman hanya dalam hitungan menit. Melihat itu, saya pun paham mengapa Gink terpikat padanya. Sebagai pesaing cinta, Ted bukan “karakter karikatur”, dan walau Gink senantiasa menaruh curiga, benar atau tidaknya ia berselingkuh tidak bisa dipastikan sebelum filmnya mencapai paruh akhir.

Kita bisa menebak kalau Palm nantinya akan mengakui perasaannya untuk akhirnya berhasil merebut hati si wanita idaman. Tapi momen itu hadir dengan sedikit modifikasi, pula tanpa kesan terburu-buru serta simplifikasi. Semuanya mengalir penuh kesabaran guna memaksimalkan dampak emosi, yang muncul setelah Gink menyadari bahwa ada suatu “hal tertentu” (tidak bisa saya sebutkan pastinya) yang mengingatkannya kepada dua rasa berlawanan: kebahagiaan dan rasa sakit. Alhasil, mudah memahami pilihan yang akhirnya ia ambil. Satu lagi kecakapan Friend Zone mempresentasikan motivasi karakternya.  

6 komentar :

Comment Page:
Alvi mengatakan...

Tontonan wajib untuk saya yg juga sudah menjadi korban friend zone secara rutin :"

aan mengatakan...

Smoga ending ga nyesek kayak one fine day itu...haha

Eldwin Muhammad mengatakan...

One Fine Day? One Day kali maksudnya?!

Anonim mengatakan...

ditunggu review US

sinting bener nih Jordan Peele

film debut-nya udah lewat 2 tahun masih bertahan 98% di RT
film keduanya 99%

buset dah, Nolan bisa lewat nih

susan mengatakan...

Nunggu review US

Unknown mengatakan...

Stelah kluar dr bioskop semalem br ngeh klo direc. Sama dgan " i fine thank u lov u" secara emang adegan konyol p**p dimunculkan kembali..

Karena ada yg nyinggung film "one day" yg mnrut sya merpkan film dgan penyutradaraan tingkat atas dri seorang banjong.. Alunan music selama film menarik untuk didownlod..

Dri itu please bang rasyid kasih saya masukan cela apa sja dr filmny..? karena saya masih beranggapan klo 1 day ini masih no. 1 thai film untuk genre love2an.. Film, music, endingnya masih membekas smpai skrag, mungkin sama ky baifern saat nangis di ending "first lov / little call lov"
Klo menyamakan frekuensi sm bang rasyid kasih nilai 4,5 , mgkin saya bisa nilai 1 day 5,5..hehe..IMHO

Thx alot bang...