KUAMBIL LAGI HATIKU (2019)

Tidak ada komentar
Produksi pertama PFN (Produksi Film Negara) selama 27 tahun setelah kali terakhir menelurkan Pelangi di Nusa Laut karya MT Risyaf pada 1992 ini sebenarnya berpeluang menghembuskan angin segar bagi film lokal bertema keluarga, khususnya berkat suntikkan unsur asimilasi budaya antara India dengan Jawa. Apalagi melihat jajaran pemain papan atas miliknya. Sayang, kekacauan naskahnya dalam menyatukan berbagai cabang cerita berujung melahirkan sebuah film yang kebingungan menentukan arah.

Sinta (Lala Karmela), puteri pasangan pria India dan wanita Indonesia, menjalani hidup bahagia di Agra bersama sang ibu, Widhi (Cut Mini). Karirnya melesat, dan ia pun sedang mempersiapkan pernikahan dengan Vikash (Sahil Shah) yang tinggal menghitung hari. Tapi mendekati Hari-H, Widhi mendadak pulang ke kampung halamannya di Desa Borobudur, Magelang, setelah mendengar kabar bahwa ayahnya telah wafat sejak tiga bulan lalu.

Masalahnya, Widhi selama ini mengaku sudah tak lagi memiliki kerabat di Indonesia. Sinta yang kebingungan akhirnya nekat menyusul ibunya ke Magelang, hanya untuk menyaksikan ketidakharmonisan sebuah keluarga. Widhi bersetigang dengan kakaknya, Dewi (Ria Irawan), sementara Dimas (Dian Sidik) terlilit hutang yang mengancam keberlangsungan penginapan yang ia kelola.

Kuambil Lagi Hatiku diawali secara menjanjikan. Meski terkadang usaha Lala berbicara Bahasa Indonesia memakai logat India terdengar mengganggu, cukup jarang kita melihat karakter dalam film lokal yang bukan sekadar tinggal sementara atau jalan-jalan di luar negeri, namun menetap, bahkan mengimplementasikan kultur setempat dalam keseharian. Setibanya Sinta di Borobudur, ia sempat membantu peneliti muda (atau mahasiswa?) bernama Panji (Dimas Aditya), menjelaskan makna relief Candi Borobudur kepada wisatawan asal India, sebagai simbol penyatuan dua budaya. Tapi asimilasinya berhenti di situ. Setelahnya, tak ada lagi eksplorasi lanjutan yang dapat memperkaya filmnya.

Akhirnya Sinta bertemu Widhi. Dia menuntut jawaban, tetapi sang ibu malah bersikap tak acuh. Dari sinilah naskah karya Arief Ash Shiddiq dan Rino Sarjono (Negeri 5 Menara, Pintu Harmonika) mulai menumpuk kelemahan, yang kebanyakan melibatkan turnover dadakan dan ketidakjelasan motivasi karakter. Cut Mini kembali menghantarkan performa sarat emosi yang dengan gampangnya menjadi aspek terbaik film ini, tapi itu pun tak kuasa menjustifikasi respon dingin Widhi kepada puterinya. Bahkan pasca kebenaran terungkap saya tetap bertanya, “Kenapa?”.

Kata “Kenapa” memang terus mencuat sepanjang durasi, karena tiap karakternya membuat keputusan besar, termasuk titik balik di mana terjadi perubahan sikap, sulit memahami alasan di balik tindakan mereka. Selalu timbul kesan dadakan dan dipaksakan. Serupa Cut Mini, Ria Irawan pun tampil baik, memberi dimensi lebih pada sosok Dewi yang dari luar tampak kejam namun sejatinya berhati lapang. Perselisihan Dewi dengan Widhi menghasilkan problematika keluarga kompleks, sampai filmnya menyelesaikan konflik tersebut melalui sebuah simplifikasi yang akan sulit diterima nalar maupun hati.

Salah satu benda yang memegang peranan penting dalam cerita adalah foto masa kecil yang disimpan Widhi. Di foto itu, ia, Dewi, dan Dimas duduk di Candi Borobudur. Kelak terungkap, itu merupakan foto favorit mendiang ayah mereka, karena di sanalah ketiganya berkumpul sambil tersenyum bersama sebagai satu keluarga bahagia. Andai Kuambil Lagi Hatiku mau berfokus pada unsur satu ini, potensi menjadi drama keluarga yang menyentuh hati sangatlah tinggi. Tapi tidak. Naskahnya selalu hadir dengan konflik baru yang mayoritas tak perlu, yang ironisnya, muncul untuk menyelesaikan konflik lain.

Etos kerja “gali lubang tutup lubang” ini melahirkan problematika yang tidak logis (masalah Sinta di kantor), kekurangan pondasi (kisah cinta Sinta), out-of-place (subplot kasus pencurian dan penculikan), maupun yang cuma numpang lewat tanpa dampak (Widhi melarang Sinta menari). Bicara soal menari, melihat nomor tarian yang kasar dan canggung, rasanya sutradara Azhar ‘Kinoi’ Lubis (Surat Cinta Untuk Kartini, Kafir: Bersekutu Dengan Setan) kekurangan referensi film Bollywood atau belum memahami inti kekuatan estetikanya.

Tidak ada komentar :

Comment Page: