MISTERI DILAILA (2019)

17 komentar
Misteri Dilaila memperoleh hype sebagai film Malaysia pertama dengan dua versi yang dirilis di bioskop secara bersamaan. Tentu pertanyaan terbesar bagi penonton adalah, “Versi mana yang lebih unggul dan sebaiknya ditonton?”. Bagi saya tidak dua-duanya.

Masing-masing versi menyimpan perbedaan di thrid act, yang berjalan sekitar 15 menit (total durasi versi pertama 81 menit, versi kedua 82 menit) dan dibangun berdasarkan prinsip tunggal: Memberi twist sebanyak serta semengejutkan mungkin, meski logika mesti dibuang jauh. Bahkan, semakin Syafiq Yusof (Abang Long Fadil, KL Special Force)—selaku sutradara sekaligus penulis—berusaha membuat konklusinya mengagetkan, semakin bertambah lubang dalam alurnya.

Premis Misteri Dilaila sesungguhnya menarik. Meminjam formula thriller-misteri yang kemungkinan bakal mengingatkan pada karya-karya Alfred Hitchcock (ambiguitas identitas, elaborate scheme, dan lain-lain), kisahnya terjadi saat Jefri (Zul Ariffin) dan sang istri, Dilaila (Elizabeth Tan), mengunjungi villa warisan orang tua Dilaila—yang terlihat menawan berkat kerja memukau tim artistik. Berniat menghabiskan waktu bersama, pasca pertengkaran di malam hari, Jefri justru terbangun keesokan paginya untuk mendapati sang istri telah lenyap.

Dibantu Inspektur Azman yang diperankan Rosyam Nor melalui performa menghibur khususnya kala ia melemparkan beberapa celetukan bernada sarkasme menggelitik, Jefri memulai pencariannya. Tapi tak lama berselang, Imam setempat (Namron) datang bersama Dilaila, (berikutnya dipanggil “Dilaila II”) yang kabur ke kontrakannya setelah bertengkar dengan Jefri. Alih-alih lega, Jefri malah kebingungan, sebab sosok di hadapannya itu punya wajah berbeda dari Dilaila yang ia kenal.

Jefri bersikeras bahwa Dilaila II (Sasqia Dahuri) merupakan penipu, dan kita sebagai penonton pun tahu wajahnya berbeda. Tapi tiada satu pihak pun mempercayai Jefri, termasuk Inspektur Azman yang lama-lama menganggapnya gila. Pemicunya adalah ketidakmampuan Jefri membuktikan kepalsuan Dilaila II. Seisi villa tak memasang foto wajahnya, sementara telepon genggam Jefri ikut menghilang bersama istrinya. Berikutnya, Misteri Dilaila mengajak kita menebak, apakah Jefri memang kehilangan kewarasan atau justru korban rencana jahat terstruktur.

Zul Ariffin menjalankan tugasnya dengan cukup baik memerankan pria kebingungan lewat gaya akting menghibur. Seolah sang aktor sadar jika tidak sedang berada di tengah film serius dan memilih bersenang-senang menerapkan akting penuh letupan, walau naskah buatan Yusof gemar memaksanya berteriak dan merengek memohon pertolongan Inspektur Azman, yang lama-kelamaan terdengar menyebalkan. Pun Jefri kerap mengambil keputusan bodoh yang tambah menyudutkannya. Jefri mungkin jarang menonton horor, sehingga tak tahu salah satu “aturan” dasar: Jika menemukan suatu hal penting, apa pun yang terjadi, jangan meninggalkannya, atau hal itu bakal hilang.

Penyutradaraan Yusof membawa Misteri Dilaila bergerak solid berkat tempo dinamis penyokong kisah yang selalu meninggalkan tanda tanya. Alhasil, alurnya padat, bahkan tatkala di sela-sela misteri, unsur horor supranatural minim substansi dipaksakan masuk. Jump scare-nya, biarpun lagi-lagi dibungkus tata suara berlebihan, rupanya cukup efektif melahirkan efek kejut, didukung riasan untuk deretan hantu yang disturbing.

Sekarang mari membicarakan dua varian ending-nya. Saya menonton versi pertama dahulu, lalu mendapati betapa versi tersebut penuh lubang. Eksistensi elemen horornya dijelaskan secara bodoh, sedangkan penjabaran twist perihal identitas Dilaila II tampil menggelikan akibat mengandalkan sederet ketidaksengajaan dan variabel yang mustahil dikontrol agar bisa terjadi sedemikian rupa. Kejanggalan malah bertambah setelah fakta sesungguhnya diungkap.

Namun ketika saya merasa versi pertamanya buruk, versi keduanya menampilkan keburukan yang lebih memabukkan. Kejutannya makin konyol, demikian pula karakternya yang menggiring diri mereka sendiri ke dalam situasi rumit hanya untuk memperoleh hal sederhana. Saya berasumsi, Yusof menulis versi pertama dulu, kemudian memikirkan cara agar versi kedua jauh berbeda. Dia perlu meluangkan lebih banyak usaha memperbaiki konklusinya ketimbang sibuk menerapkan mask transition (transisi adegan memakai objek bergerak), walau harus diakui, gaya penyuntingan itu merupakan pilihan artistik menarik.

VERSI 1

VERSI 2

17 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

njir ada 2 versi segala wkwk

btw, masalah film malaysia masih di belakang indonesia dan thailand ya

film2 hits mereka levelnya ga lebih baik dari film-film indonesia di masa dark age

Panca mengatakan...

Penasaran sih.. tapi di malaysia film ini sudah jutaan penonton dan ada kontroversi kalo film ini plagiat dari vanishing act.. agak disayangkan

KUUHAKU mengatakan...

Perbedaannya ada dimana?

Taco and Sandwich mengatakan...

FILEM INI COPY PASTE VANISHING ACT... COBA CARI 90% SAMA PERSIS

Unknown mengatakan...

Terima kasih reviewnya berhasil menyelamatkan duit saya 75 ribu dari CGV GI. nyari bioskop yang murah aja, kebetulan cinemaxx lagi diskon.

Mofan Rizaldi mengatakan...

Tumben beda penilaian dari cine crib, bang?😁

Rasyidharry mengatakan...

Oh jelas. Di Asia Tenggara, Indonesia salah satu yang paling oke.

Rasyidharry mengatakan...

Tuh sudah dijelaskan di review mana yang beda. Tapi kalau detailnya ya bakal spoiler

Rasyidharry mengatakan...

Haha GI mah film bagus juga rasanya kemahalan. Nonton di sana cuma kalau screening atau ngincer 4dx

Rasyidharry mengatakan...

Sering beda kok kita. Kemaren aja Aria kesel nonton Captain Marvel 😂

Unknown mengatakan...

Mas Rasyid,

Saya pikir ver1 itu seri 1, dan ver2 itu seri 2..

Kirain, harus nuntun ver1 dulu baru lanjut ver2..

Sampai hari ini belom nuntun dua dua'nya sih..

Mas, review film Leak donk, mau nuntun tapi takutnya model film Wahana Rumah Hantu..
Aslee, WRH itu film paling buruk seumur hidup saya, wkwkwkkwkwk..

Rasyidharry mengatakan...

Kalau mau nonton, pilih versi 1 aja. Paling nggak masih fun biarpun ngaco.
Leak sayangnya nggak tayang di Jakarta sih

Mofan Rizaldi mengatakan...

padahal pengen nonton, bang. tapi drop dah baca review-nya. kalo dipaksain nonton, ntar malah kecewah...

Anonim mengatakan...

film plagiat vanishing act, poster plagiat a tale of two sisters

Unknown mengatakan...

Film Vanishing Act bisa diunduh di mana ya? Aku cari yang sub indo hampir di semua web film gak nemu. Pengin nonton filmnya sebelum nonton Misteri Dilaila biar tau di mana "copy paste"nya.

Abdi_Khaliq mengatakan...

Udah pada tahu dan liat belum trailer film MIDSOMMAR-nya Ari Aster (Hereditary 2018)?
Kan lagi heboh tuh di kolom komentarnya pada ributin script-nya yang bocor di internet, nah iseng2 karena penasaran saya ikutan download dan ternyata setelah baca sedikit saya justru semakin penasaran dan akhirnya jadi baca sampai selesai. Jujur ceritanya asli bikin merinding, benar2 gila dan bikin deg2an, adegan openingnya saja sdh sangat kelam dan depresi. Saya sempat refleks tutup mulut pas baca scene "di pantai." Pokoknya storytelling-nya mantap, adegan gore-nya cukup banyak dan menyayat.
Kalau memang filmnya tdk banyak modifikasi dr script asli maka saya berani bilang MIDSOMMAR lebih mengerikan (berbalut keindahan) daripada Hereditary.
Jadi nggak sabar pengen nonton langsung!! Hehehehe

BTW Ini link film Vanishing Act https://www.youtube.com/watch?v=o02yhQkJMX8 yang mau nonton, nemu di youtube.

Unknown mengatakan...

Trailernya masih teaser. Udah nonton dari kapan hari. Perihal script yang bocor di media mungkin aja itu bagian dari strategi pemasaran. Mungkin.