POHON TERKENAL (2019)

10 komentar
Daripada propaganda penuh usaha mengagungkan Akademi Kepolisian (Akpol) atau iklan layanan masyarakat berkedok film, saya mengapresiasi usaha Pohon Terkenal tampil ringan nan menghibur dengan memakai sampul film romansa anak muda. Walau bagaimana ceritanya bergulir bukanlah sesuatu yang pantas dibanggakan. Lahir satu lagi film dengan niatan baik namun tersandung penuturan lemah di mana beberapa konflik selesai secara ajaib, sedangkan lainnya ditinggalkan begitu saja untuk hilang tanpa bekas.

Judulnya merujuk pada sebutan bagi biang onar di Akpol. Para biang onar itu adalah tiga sahabat: Johanes (Raim Laode) si jenaka dari Papua, Ayu (Laura Theux) si anak jenderal yang punya hubungan renggang dengan sang ayah, dan Bara (Umay Shahab) yang terpaksa masuk Akpol karena terlanjur bernazar saat berdoa demi kesembuhan ibunya.

Di antara ketiganya, Bara paling sering membuat masalah, yang bahkan kerap membuat satu angkatan dikenai tindakan (hukuman). Dia bahkan sempat mencoba kabur di satu titik, sebab baginya tak ada alasan untuk tetap tinggal menjalani pelatihan keras di sana. Sampai romansa antara ia dan Ayu mulai bersemi, memberi Bara alasan bertahan di Akpol. Apakah nantinya Bara menemukan alasan selain cinta? Rupanya tidak.

Saya mengira alasan lain itu bakal muncul dalam wujud sang ibu, tapi elemen ibu-anak yang dibangun di awal, hilang sejak pertengahan tanpa memberi emotional payoff sepantasnya. Hal serupa menimpa konflik antara Ayu dengan salah satu senior Taruni yang menuduhnya bersikap manja sebagai puteri jenderal. Pertikaian panas mereka yang bahkan sempat menjurus ke arah benturan fisik mendadak usai, sama mendadaknya dengan menguapnya cemoohan publik terhadap protagonis kita pasca mereka melakukan suatu pelanggaran serius.

Bahkan Pohon Terkenal ditutup lewat cara serupa, sehingga bukan mustahil banyak penonton akan mengira filmnya belum usai. Ketimbang menutup secara pantas, diselipkanlah voice over merangkup nasib karakter-karakternya selepas masa pendidikan yang terasa seperti sebuah langkah malas, kemudian disusul mid-credits scene dengan eksekusi cringey. Tapi saya berbohong jika berkata tidak sekalipun merasa terhibur. Beberapa humornya bekerja cukup baik, khususnya yang melibatkan karakter komikal Johanes.  

Sedangkan romansanya diawali kurang meyakinkan akibat sebuah adegan “ciuman di kening” yang terasa canggung (for the wrong reason), sebab naskah serta penyutradaraan Monty Tiwa (Critical Eleven, Lagi-Lagi Ateng) yang berduet bersama mantan asistennya, Annisa Meutia, menghasilkan proses stimulus-respon yang aneh. Setidaknya performa Laura dan Umay menjadikan romansanya layak tonton. Laura memancarkan aura gadis bertekad kuat, sementara Umay cukup piawai bermain rasa.

Satu hal yang melukai akting Umay adalah tubuhnya. Bukan, ini bukan komentar bernada bodyshaming, melainkan murni logika. Diceritakan, Bara menjalani empat tahun latihan keras di Akpol, namun tubuh sang aktor tak memperlihatkan itu. Gesturnya lembek, posturnya jauh dari tegap, dan tubuhnya belum mengering (berbeda dengan kurus). Dia masih tampak bagai remaja awal yang baru lulus SMA.

Saya tak pernah tertarik pada Akpol atau instansi serupa lain. Walau Pohon Terkenal takkan tiba-tiba memancing rasa kagum, saya suka caranya menggambarkan Akpol sebagai tempat di mana hal-hal keseharian seperti jatuh cinta dan persahabatan bisa terjadi. Penuh ketegasan, tapi bukan neraka dunia, sebab perbedaan ras, agama, atau gender tak jadi masalah. Bukannya membusungkan dada soal kehebatan Akpol, film ini menginformasikan bahwa mereka membuka tempat membangun masa depan bagi masyarakat dengan finansial lemah. “Daripada menganggur tanpa arah, lebih baik masuk Akpol”. Biar bagaimanapun, saya mengamini pernyataan tersebut.

Pohon Terkenal tak lupa menyinggung dualitas peran anggota kepolisian, yakni sebagai individu dan pelayan negara lewat hubungan Ayu dengan sang ayah (Cok Simbara), yang meski pendek pula urung menyentuh tingkat emosi yang diharapkan, cukup selaku penjelas kondisi di atas. Presentasinya pun bukan melalui teriakan nasionalisme berlebihan, tapi tuturan hangat. Andai saja naskah hasil tulisan Monty Tiwa, Annisa Meutia, dan Lina Nurmalina (Bukan Bintang Biasa The Movie, Istri Bo’ongan) mampu tampil solid guna menyokong pesan baik filmnya.

10 komentar :

Comment Page:
Chan hadinata mengatakan...

Gimana akting raim??
Ada potensi ke depan??&

Vian mengatakan...

Kayaknya Umay emang bru mau lulus SMA sih, umurnya juga bru 18

Mahendrata Iragan Kusumawijaya mengatakan...

Ga ada usaha Umay buat nyesuain perannya ya?

Anonim mengatakan...

harusnya Bara diperankan sama 2 orang, Bara sebelum latihan diperankan Umay, Bara sesudah latihan keras diperankan Iko Uwais

Ichsan Hidayatu Robby mengatakan...

😂😂😂😂😂

Rasyidharry mengatakan...

Boleh lah, asal nggak terus jatuh ke typecast

Rasyidharry mengatakan...

Ya yang dilihat kan karakternya, bukan Umay sebagai Umay.

Rasyidharry mengatakan...

Mungkin juga dia nggak dikasih waktu. Jarang sekali film kita kasih waktu pendalaman panjang buat pemain apalagi kalau soal body transformation

Rasyidharry mengatakan...

Yayan Ruhian lebih mantap. Lulus Akpol langsung gondrong dan brewokan

HANEEF mengatakan...

Mohon infonya dong kalo mau nonton film ini dimana ya? lg kangen sama suasana akpolnya