YOWIS BEN 2 (2019)

13 komentar
Sebuah band merantau dari kampung halaman dan/atau mengganti manajer “asli” karena dianggap kurang kompeten memfasilitasi ambisi mereka melompat lebih jauh adalah perkara umum. Biar demikian, situasi itu sungguh rumit. Tapi dalam Yowis Ben 2, pesannya sederhana: Tindakan tersebut tidaklah bijak, karena kita tidak seharusnya meninggalkan keluarga yang tumbuh bersama kita sedari nol.

Tapi apakah anda mengharapkan olahan cerita kompleks dari film begini? Rasanya tidak. Serupa keceriaan lagu-lagu synth-pop berbahasa Jawa milik Yowis Ben, filmnya pun tercipta demi menyulut keceriaan penonton. Kedalaman dan kesubtilan mungkin tetap dirindukan, tapi takkan menghancurkan Yowis Ben 2. Sebab memasuki film kedua, pijakannya makin mantap, sementara humor mengalir nyaman dan penuh percaya diri.

Alkisah, setelah lulus SMA, para personil Yowi Ben dihadapkan pada rentetan masalah. Bayu (Bayu Skak) ditinggalkan kekasihnya, Susan (Cut Meyriska), yang memilih berkuliah di Jerman bersama Roy (Indra Widjaya). Konflik yang dipresentasikan sambil lalu ini sejatinya membuat segala perjalanan film pertamanya sedikit sia-sia. Bukan itu saja, ia mesti membantu sang ibu (Tri Yudiman) melunasi kontrakan rumah.

Lalu ada Yayan (Tutus Thomson), yang selepas menikahi Mia (Anggika Bolsterli) via taaruf, dituntut menanggung perekonimian keluarga. Nando (Brandon Salim) masih kesulitan menerima papanya (Richard Oh) berpacaran lagi, tapi hal ini tak berdampak besar akan keseluruhan kisah, sedangkan Doni (Joshua Suherman).....well, he’s just there.

Berangkat dari beberapa kegundahan itu, Yowis Ben merasa Cak Jon (Arief Didu) tak lagi cocok menjadi manajer, karena ia berulang kali memberi mereka gig absurd (sunatan massal, lapas, dan lain-lain) yang gagal menghasilkan bayaran. Secara bersamaan, datanglah Cak Jim (Timo Scheunemann) dan asistennya, Marion (Laura Theux), menawarikan diri memanajeri Yows Ben asalkan mereka mau pindah ke Bandung. Cak Jim menjanjikan kehidupan mewah serta kesuksesan kilat. Yows Ben tergiur.

Sesampainya di Bandung, semangat keempatnya diuji, pula kebersamaan mereka tatkala idealisme dan tali kekeluargaan berbenturan dengan kebutuhan material. Kembali, situasi tersebut lebih kompleks dari sekedar “Jika memilih uang artinya kamu rakus dan tidak berperasaan”. Tapi memang itulah pesan usungan film ini. Mau tidak mau kita mesti menerimanya. Setidaknya itu pesan yang baik.

Seperti beberapa komedi yang juga ditulis Bagus Bramanti belakangan ini (Yowis Ben, Benyamin Biang Kerok, Love Reborn: Komik, Musik, & Kisah Masa Lalu), jalinan ceritanya berceceran di segala penjuru bagai tak terstruktur. Kisahnya penuh sesak—termasuk romansa Bayu dengan Asih (Anya Geraldine) si gadis Bandung—dan bukan mustahil penonton melupakan intisari kisahnya, sebelum diingatkan lagi oleh third act yang menyelesaikan konflik dengan begitu sederhana, cenderung menggampangkan.

Walau menyoroti perjalanan sebuah band, dan kita masih sering melihat mereka memainkan lagu-lagu yang tak kalah catchy dibanding film pertama, substansi kisah Yowis Ben 2 adalah bagaimana sebuah keluarga menghadapi perbedaan di antara mereka. Ujian itu juga saya rasakan saat mendapati Yayan melakukan taaruf, suatu praktek yang saya kurang sependapat. Tapi naskah Bagus Bramanti bukan propaganda taaruf (atau hal lain), melainkan sekadar presentasi realita. Karena itu, saya pun tergerak untuk menghormati karakter berbeda keyakinan seperti Yayan, membuktikan bahwa filmnya cukup berhasil menyampaikan pesan.

Pesan baik tersebut (dan elemen cerita lain) bakal makin berdampak andai penyampaian komedi dan dramanya tidak terkesan berdiri sendiri-sendiri. Seolah saya bisa mendengar filmnya “ganti gigi” kala melompat dari komedi menuju drama, dan sebaliknya. Pada mode komedi, karakternya bersikap sekonyol mungkin, namun begitu menginjakkan kaki di area drama, karakter yang sama mendadak bisa  bicara luar biasa serius, bahkan melontarkan petuah-petuah bijak yang bepotensi membuat Yowis Ben 2 terdengar preachy bagi sebagian penonton.

Beruntung, keceriaan “gojek kere” film ini mampu mengangkangi kelemahannya. Bukan cuma materi yang makin segar, penyutradaraan Fajar Nugros (Yowis Ben, Moammar Emka’s Jakarta Undercover) pun makin baik berkat kesediaan memperhatikan timing kala menghantarkan humor. Jajaran cast pun masih bersinar. Arief Didu berkesempatan memamerkan kapasitas mengolah rasa, Bayu Skak makin nyaman menampilkan talenta komikal lewat ekspresi dan penyampaian hiperbolis, sedangkan Anggika Bolsterli sekali lagi membuktikan bahwa ia salah satu aktris paling “gila” saat ini.

13 komentar :

Comment Page:
Mahendrata Iragan Kusumawijaya mengatakan...

Bang ada mau bikin artikel khusus buat IMMA ga bang?

Ulik mengatakan...

saya Merasa IMMA ngak netral saat saya lihat koki koki cilik sebagai film terbaik menurut saya karena bikinan MNC pictures

Ikhwan TriA mengatakan...

Waah Anggika Bolsterli artis baru ya bang
Filmnya apalagi bang yg dia bintangin.yg aktingnya ga kalah keren dari di yowes band 2 inii?

Unknown mengatakan...

Anggika itu yang maen Target filmnya Raditya Dika kan?

Di film Target kayanya B ajah..

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

anggika bosterly main di belok kanan barcelona
bagus banget doi disana

Rasyidharry mengatakan...

Nope, nggak ada yang menarik dibahas

Rasyidharry mengatakan...

Khusus untuk kategori film, cuma ada film terfavorit. Jadi murni vote audiens.

Rasyidharry mengatakan...

Anggika udah main dari 99% Muhrim: Get Married 5 (2015). Tapi baru bener-bener oke di Trinity The Nekad Traveler. Di Targer itu murni karena Dika nggak kasih materi yang fasilitasi mainnya Gika. Tapi di beberapa momen tetep kelihatan bakatnya.

Unknown mengatakan...

Mas Rasyid,

Maaf yak kemaren bilang Anggika "B" ajah..

Di YB2 Anggika beneran kocak!!
Apa karena saya wwong Jowo yak, sampe ngakak sepanjang film..

Adegan sedihnya juga berhasil bikin mewek wong Jowo..
Mantep dah pokoke!!

Oia Mas,
Ngomong ngomong soal Dilan...

Kenapa?

Kayanya berat yak bisa ngalahin perolehan penonton Dilan 199o..
Padahal seminggu pertama pecahin rekor muluk..

Bangga sih film Indo bisa begitu..
Piye mas pendapat'e sampeyan?

Rasyidharry mengatakan...

Karena Dilan 1990 jalannya lapang,nggak ada pesaing hampir sebulan. Kalau Dilan 1991 baru seminggu udah ketemu Captain Marvel, berikutnya Yowis Ben 2. Makanya genjot di awal. Kalau pake taktik kayak biasa, paling mentok 4 juta. Sekarang bisa lah 5,5 ke atas dikit.

rahmadamazing mengatakan...

Ini filmnya beneran bahasa jatim? Gak pake bahasa indo? Terus yg gak ngerti gimana

Rasyidharry mengatakan...

Pake. Malang campur Sunda campur Indonesia. Bahasa daerahnya masih yang bisa dimengeryi orang luar daerah itu. Tapi efek jokesnya bakal beda dibanding yang native speakers

Unknown mengatakan...

Ada subtitle bahasa indo nya juga kok masbro..

Saya wong Jowo juga nggk ngerti bahasa Sunda, makanya liat subtitle..
Lucu sih, anggep aja lagi nonton film komedi hollywood..

Tp memang lebih lucu kalo nggk perlu baca teks, wkwkwkkwk..