KALANK (2019)

4 komentar
Diproduseri oleh sang legenda Karan Johar (Kuch Kuch Hota Hai, Kabhi Khushi Kabhie Gham, My Name is Khan), film berdurasi 166 menit ini diisi kisah cinta segitiga, isu pernikahan, hingga keluarga disfungsional dengan rahasia kelam. Kalank bagai usaha menangkap kembali semangat romansa epik khas Bollywood klasik dalam sentuhan modern berupa kemegahan departemen artistik.

Alhasil tatkala Kalank hanya berakhir sebagai “karya yang tidak buruk”, pantaslah rasanya cap “mengecewakan” disematkan. Digawangi oleh sutradara/penulis naskah Abhishek Varman (2 States), filmnnya mengusung ambisi tinggi. Terlampau tinggi malah, sehingga meroket ke tingkat yang tak mampu dijangkau. Selipan konflik sosial-politik setengah matang mengenai pemisahan India malah menciptakan distraksi alih-alih memperkuat dramanya.

Begitu mengetahui usianya hanya tersisa setahun akibat kanker, Satya (Sonakshi Sinha) meminta kerabat masa kecilnya, Roop (Alia Bhatt), agar menikahi sang suami, Dev (Aditya Roy Kapur). Satya berharap, sepeninggalnya, Dev takkan hidup kesepian. Roop dan Dev bersedia menikah demi Satya, namun tak ada cinta di antara mereka. Keduanya tinggal seatap, tapi jangankan berhubungan layaknya suami-istri, mengenali wajah masing-masing saja tidak.

Kehidupan baru di kediaman keluarga Chaudhry ini meninggalkan kekosongan di hati Roop. Mencari hiburan, ia meminta Bahaar (Madhuri Dixit), guru vokal merangkap pemilik rumah bordil, melatihnya bernyanyi. Niatan itu ditentang keras oleh keluarganya, sampai Roop bersedia bekerja di kantor surat kabar milik Dev yang belakangan kerap menyulut kontroversi sekaligus menjadi musuh kelompok Islam setempat akibat sikap kerasnya menolak pemisahan.

Dari situlah awal mula pertemuan Roop dengan Zafar (Varun Dhawan), seorang pandai besi sekaligus anggota kelompok muslim garis keras, yang memendam benci terhadap keluarga Chaudhry. Meski sempat dibuat kesal, lama-lama Roop malah menemukan kenyamanan dari kehadiran Zafar. Ditemukannya sesuatu untuk mengisi kehampaan biduk rumah tangganya. Tapi tanpa Roop ketahui, Zafar menyimpan agenda lain.

Presentasi elemen sosial-politik dalam naskah Abhishek, yang kelak memberi bekal bagi dramatisasi klimaksnya, kesulitan menemukan kadar yang pas. Lebih dari sekadar latar, namun minim eksplorasi bila ingin dijadikan santapan utama. Proporsi romansa pun jadi korban, meski dasarnya, perihal romansanya memang sudah terasa kekurangan jiwa. Abhishek berlebihan memakai kalimat quotable bernuansa puitis maupun bernada filosofis, yang kurang memanusiakan serta melucuti keintiman antar tokoh, pula kerap bergulir terlampau panjang dan terkesan bertele-tele.

Kalank membutuhkan sentuhan humanis, yang beruntung, dapat ditemukan dari performa jajaran pemain. Alia Bhatt memancarkan aura kehadiran kuat yang—sebagaimana banyak pelakon papan atas Bollywood—membedakan antara “aktor baik” dengan “megabintang”. Sedangkan Varun Dhawan mulus melakoni transformasi Zafar, dari pria penuh kebencian yang “takut” akan kebaikan, menjadi sosok baik nan tak individualis berkat cinta.

Sayangnya, itu pula yang film ini gagal maksimalkan: Bagaimana cinta memantik kebaikan hati, dan sebaliknya, ketiadaan cinta bisa membawa kekacauan. Pesan sederhana, kalau bukan klise, yang tertutup bayang-bayang ambisi tampil kompleks, termasuk pemakaian paksa gaya bertutur non-linier, tatkala Roop menuturkan kisahnya kepada pewawancara. Elemen itu hadir tiba-tiba entah dari mana, dan tak membawa pengaruh sedikitpun bagi narasi.

Jalinan cerita Kalank memang bak opera sabun, dan itu bukan hal yang wajib dihindari. Sebab, se-cheesy apa pun, pengungkapan tiap fakta mengejutkan mengenai rahasia masa lalu atau identitas karakter, sudah cukup untuk membuat penonton terkesiap atau merasa gemas. Filmnya tidak perlu merasa malu, karena dengan veteran-veteran hebat seperti  terkesiap atau merasa gemas. Filmnya tidak perlu merasa malu, karena saat veteran-veteran hebat seperti Sanjay Dutt dan Madhuri Dixit beradu rasa, mustahil Kalank terkesan murahan.

Tengok pula pencapaian departemen artistiknya. Biarpun penyutradaraan Abhishek kentara masih jauh di bawah sang mentor (ia pernah menjadi astrada Karan Johar di My Name is Khan dan Student of the Year) terkait cara menangani kemegahan semacam ini, mata kita tetap bakal terpuaskan oleh kain-kain serta dekorasi mahal beraneka warna dan desain. Pun berkat sekuen penutupnya yang indah juga menyentuh, Kalank meninggalkan aftertaste positif.

4 komentar :

Comment Page:
SALEMBAY mengatakan...

bang avengers endgame dapet nilai 98 di roten tomattoes wajib nonton nih.. 😂

Rasyidharry mengatakan...

Nggak akan turun sampai di bawah 93 itu. Malah bisa 95 ke atas skor akhirnya

Anna B mengatakan...

Ditunggu endgamenya mas rasyid

kronospoker.com mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.