POCONG THE ORIGIN (2019)

13 komentar
Pocong the Origin, selaku (meminjam istilah Monty Tiwa) “reinkarnasi” Pocong (2006) yang dilarang tayang oleh LSF karena dianggap membangkitkan luka lama  terkait tragedi 1998 (konon film ini dibuat berdasarkan naskah sama), berusaha mencampur elemen horor dengan komedi, mengingatkan akan judul-judul legendaris Suzzanna. Tapi ada satu masalah besar: filmnya gagal tampil menyeramkan.

Adegan pembukanya menjanjikan, kala pembunuh berantai bernama Ananta (Surya Saputra) sedang menanti waktu eksekusi sambil mendengarkan lagu Di Bawah Sinar Bulan Purnama milik Sundari Soekotjo. Saya menyukai keputusan film ini memakai nomor-nomor keroncong, yang di balik keindahannya sebagai karya seni, menyimpan mistisisme yang dapat menciptakan kengerian bila digunakan secara tepat.

Selepas dieksekusi, jenazah Ananta mesti dimakamkan di kampung halamannya sebelum lewat 24 jam. Jika tidak, ilmu banaspati yang ia miliki akan terus bangkit. Karenanya, Sasthi (Nadya Arina), puteri tunggal Ananta yang hidup menyendiri di bawah tekanan sosial akibat status sang ayah, ditemani Yama (Samuel Rizal) si sipir penjara, mesti mengantar jenazah itu, dalam sebuah perjalanan penuh gangguan gaib.

Jalur menarik ditempuh Pocong the Origin, sebagai horor lokal langka (kalau bukan satu-satunya) yang meminjam unsur film road trip. Sayang, naskah besutan Monty bersama Eric Tiwa (Laskar Pemimpi, Barakati) tak cukup kreatif dalam menangani elemen tersebut, dan berujung melahirkan repetisi. Gangguan terjadi tiap Yama dan Sasthi menghentikan perjalanan, yang tidak pernah jauh dari dua hal, yakni antara Yama ingin kencing atau mobil yang rusak. Pun respon keduanya hampir selalu sama: membuka telepon genggam, lalu mengeluhkan hilangnya sinyal.

Seperti telah saya sebut, Pocong the Origin berniat menciptakan lagi sensasi horor-horor Suzzanna. Filmnya ingin memancing keriuhan penonton, di mana kita diharapkan berteriak histeris sembari tertawa lepas. Tawa bisa ditemukan berkat humor efektif berupa situasi jenaka saat tokoh-tokohnya dibuat tunggang langgang oleh penampakan hantu, namun teriakan ketakutan urung hadir.

Menolak mengeksploitasi jump scare pantas diapresiasi, tapi pilihan itu tak otomatis membuat terornya lebih berdampak. Padahal Monty adalah orang di balik adegan penampakan pocong paling mengerikan sepanjang masa di Keramat (2009). Bukan cuma itu, kali ini Monty sempat coba melakukan “reka ulang” terhadap adegan “keranda mayat” dari film tersebut, tapi gagal memproduksi intensitas serupa. Terlebih, bagi sebagian penonton, riasan bagi para hantu di momen tersebut mungkin bakal tampak menggelikan.

Sedangkan perihal membangun atmosfer melalui penerangan minimalis justru kerap menjadi bumerang. Tidak jarang adegan tampil terlampau gelap, meski harus diakui, gambar-gambar memikat masih bisa sesekali ditemukan, berkat kelihaian Anggi Frisca (Sekala Niskala, Negeri Dongeng, Night Bus) selaku penata kamera bermain cahaya.

Jajaran pemain berusaha maksimal, khususnya Samuel dan Nadya. Semenjak Target tahun lalu, Samuel mengambil jalur tepat bagi babak baru karir layar lebarnya, dengan menjauh dari peran “cowok keren”, dan berani memainkan sosok konyol. Di sini ia tampil menghibur, meski saya bingung, bagaimana bisa momen saat ia salah mengucap “mas” menjadi “mbak”, lolos dari penyuntingan. Sementara Nadya cukup solid memerankan gadis yang terjebak di konflik batin. Biarpun amat menyayangi sang ayah, ia tak bisa menyangkal  jika Ananta adalah pembunuh berantai. Sebuah dilema menarik yang tidak sanggup dipresentasikan secara memuaskan oleh naskahnya.

“Lawan” Nadya adalah Jayanthi (Della Dartyan), jurnalis yang diam-diam mengikuti Yama dan Sasthi demi memperoleh berita, sambil mengusung alasan personal karena sahabatnya merupakan salah satu korban Ananta. Ketimbang drama thought-provoking berupa gesekan argumen dua pihak berlawanan, kita hanya disuguhi debat kusir tanpa akhir maupun jiwa, tatkala hanya volume suara yang meninggi, bukan kadar emosi.

Sebagaimana nasib banyak horor belakangan baik dalam atau luar negeri, Pocong the Origin kesulitan menciptakan babak ketiga yang mumpuni. Setelah lama menanti, konfrontasi final ketika banaspati mencapai puncak kekuatan berkat keberadaan blood moon, malah berujung pertarungan canggung nan antiklimaks, yang gagal menangkap reputasi pocong sebagai salah satu hantu Indonesia paling mengerikan.

13 komentar :

Comment Page:
Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

sayang zekali padahal gue menanti banget film ini
ya karena embel embel kalo film ini reinkarnasi pocong 2006
dan trailer yg menjanjikan

rahmadamazing mengatakan...

Endingnya gak ngerti gw. Tapi orang2 pada keluar bioskop dengan tenang. Apa ada lanjutannya ni film ?

Unknown mengatakan...

Berarti masih bagusan Film Sunyi bang?

Rasyidharry mengatakan...

PR stunt aja kayaknya soal reinkarnasi itu

Rasyidharry mengatakan...

Endingnya kan dijelasin di dialog sebelumnya tuh, soal tujuan banaspati. Soal lanjutan, selama film sukses ya pasti ada

Rasyidharry mengatakan...

Jauuuuh

Fajar mengatakan...

Reinkanasi kan belum tentu lebih baik. Tergantung amal perbuatan selama hidup.

Ron mengatakan...

Mas Rasyid, soal reinkarnasi film ini bukan PR Stunt deh karena sudah dijelaskan Mas Monty di Twitter. Dia bilang naskahnya modernisasi dengan membuang beberapa poin seperti latar 98 dan unsur kekerasan.

Rasyidharry mengatakan...

I know, tapi nggak bisa komen lebih jauh sih karena nggak nonton film aslinya. Mungkin memang aslinya beda dari sinopsis resmi yang beredar

Rasyidharry mengatakan...

Anda kira ini Cu Pat Kai???

Anonim mengatakan...

Rumput tetangga bakal diulas kah? Hehe

Panca mengatakan...

Sayang banget kekuatan banaspati yg katanya tambah kuat saat bulan purnama gak terlalu dieksplor.. mungkin sengaja buat jadi sequel.

kronospoker.com mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.