KABIR SINGH (2019)

Tidak ada komentar
Kabir Singh, selaku remake film Telugu Arjun Reddy, bisa terbang tinggi sebagai kisah romansa epik (durasinya 172 menit). Penggambarannya akan penderitaan akibat patah hati amat menyakitkan dalam paparan dramatis yang tetap berpijak pada logika seputar psikis manusia. Sayang, kandungan misogini, khususnya pada satu jam pertama, luar biasa mengganggu.

Sandeep Vanga, penulis sekaligus sutradara sumber adaptasinya yang kali ini kembali mengemban peran serupa, bagai memfilmkan mimpi basah para pria. Tengok saja penokohan Kabir (Shahid Kapoor). Dia adalah pria tampan, eksplosif, dan memegang kontrol di kampus, di mana ia bebas berbuat apa pun sesuka hati. Tidak ada konsekuensi menanti Kabir. Banyak pria mengidamkan karakteristik di atas, menganggapnya sebagai lambang maskulinitas.

Ketika perhatiannya tertuju kepada mahasiswi baru bernama Preeti (Kiara Advani), Kabir langsung mengumumkan (baca: mengancam) mahasiswa lain agar menjauhi Preeti, sebab si gadis adalah miliknya, layaknya sebuah barang. Karakterisasi Preeti pun demikian, bak barang ketimbang orang. Dia pasif, submisif, mengikuti segala kemauan Kabir. Bahkan di paruh awal, suaranya nyaris tak terdengar.

Pada dasarnya, babak pertama sebatas sajian percintaan satu sisi, ketika Kabir berbuat semaunya dibarengi kepatuhan Preeti. Membosankan, problematik, pula jauh dari romantis. Tapi kita tahu “sesuatu” bakal menimpa keduanya, sebab cerita berlatar dunia perkuliahan tadi merupakan flashback. Pertama kali penonton bertemu sang protagonis, dia adalah ahli bedah alkoholik yang menjalani kehidupan self-destructive.

Butuh waktu sampai film ini menjelaskan “sesuatu” itu, namun beruntung, selepas kelulusan Kabir, filmnya pelan-pelan membaik. Saat itu, Kabir melanjutkan sekolah di kota berbeda, memaksanya dan Preeti menjalani hubungan jarak jauh. Mereka cuma bisa bertemu beberapa minggu sekali selama tiga tahun.

Kabir masih bermasalah mengatur amarah, namun setidaknya kini Preeti telah diberi kekuatan lebih. Dia tampar Kabir saat sang kekasih lepas kontrol. Walau secara keseluruhan masih memaparkan romansa head over heels, Sandeep mampu melahirkan beberapa momen romantis, termasuk montase manis untuk menggambarkan hubungan jarak jauh dua tokoh utama, sewaktu mereka silih berganti saling mengunjungi.

Visualnya turut berkontribusi positif berkat sinematografi solid garapan Ravi K. Chandran (Ghajini, My Name is Khan, Student of the Year 2) yang menjadi departemen teknis terbaik di film ini, ketika penyuntingannya acap kali terkesan jumpy, demikian pula tata suara yang sering memperdengarkan kemunculan musik dan/atau penambahan volume secara kasar dan tiba-tiba.

Kualitas Kabir Singh makin meningkat tatkala perpisahan Kabir dan Preeti terjadi, menggerakkan kisahnya ke arah tuturan soal post power syndrome. Di dunia nyata, Kabir bukanlah penguasa layaknya semasa mahasiswa. Ketidakmampuan mengontrol emosi berujung merenggut segalanya. Sekarang Kabir mesti menghadapi konsekuseni (konsep yang asing baginya), namun ia tetap bertingkah seperti dulu, yang berakhir memperburuk keadaan, menjatuhkannya ke jurang yang semakin dalam dan gelap.

Memang jejak “mimpi basah pria” miliknya masih tersisa, semisal saat Kabir berhasil merayu Jia (Nikita Dutta), seorang selebritis, untuk menjadi teman tidurnya, setelah memperlakukan wanita-wanita teman kencannya yang lain sebagai alat pelampiasan nafsu. Tapi di sisi lain, Kabir Singh juga merupakan potret tajam mengenai betapa destruktif dampak dari patah hati.

Sekilas terkesan trivial, tapi realitanya, kehilangan seseorang yang sungguh kita cintai memang bisa sebegitu menghancurkan. Dan dengan matanya, Shahid Kapoor berhasil menangkap kekacauan hati seorang pria yang terjebak derita dalam hidup penuh amarah, kesedihan, dan ketiadaan harapan. Kabir Singh ditutup oleh konklusi menyentuh yang bukan cuma membahas perihal cinta, pula keluarga. Di luar kepribadiannya yang bermasalah, Kabir tetap layak mendapatkan kebahagiaan pasca segala penderitaannya, dan film ini mampu meyakinkan bahwa cinta Kabir terhadap Preeti memang nyata.

Tidak ada komentar :

Comment Page: