MEN IN BLACK: INTERNATIONAL (2019)

8 komentar
Men in Black pertama sanggup menyihir lewat keberhasilannya menghidupkan dunia unik milik komik The Men in Black karya Lowell Cunningham, di mana manusia dan alien secara diam-diam hidup berdampingan. Tapi tak ubahnya pertunjukan sulap, daya magis makin menipis seiring terjadinya pengulangan minim (atau malah nihil) modifikasi. Mungkin masih menyenangkan, tapi dampaknya melemah karena penonton sudah memahami segala triknya.

Kurang lebih begitulah Men in Black: International, yang jadi usaha mengenalkan seri ini ke khalayak modern. Pun filmnya mencoba tampil relevan dengan menghadirkan protagonis wanita dalam diri Molly alias Agen M (Tessa Thompson), membuatnya mempertanyakan pemakaian kata “Men” pada nama organisasi meski ada banyak anggota wanita (dilakukan pula oleh rilisan minggu lalu, Dark Phoenix), termasuk sang pimpinan, Agent O (Emma Thompson).

Tapi naskah buatan duo Art Marcum dan Matt Holloway (Iron Man, Transformers: The Last Knight) justru melupakan satu poin penting: plot solid. Urgensi Men in Black: International akan kualitas plot melebihi pendahulunya, sebab seperti saya singgung di atas, penonton sudah memahami segala triknya. Satu-satunya bagian menarik milik plotnya adalah ketika suatu kejutan klise nan predictable di babak ketiga, menggiring kita menuju kejutan lain yang lebih menarik.

Alkisah, Molly mengabdikan seluruh hidupnya mencari keberadaan MIB setelah mengintip aksi para pria berstelan hitam tersebut sewaktu kecil. Molly terobsesi, ingin bergabung demi memenuhi hasratnya mempelajari rahasia-rahasia semesta. Singkat cerita (tentu saja)  ia sukses menemukan MIB, diterima sebagai agen, mendapat kode nama “Agen M”, dan mesti menjalani masa percobaan di London di bawah pimpinan Agen High T (Liam Neeson).

Berharap bisa segera membuktikan diri, M nekat menawarkan bantuan kepada H (Chris Hemsworth), agen ternama yang dikenal lewat aksi heroiknya menyelamatkan dunia bersama High T, sebelum reputasinya tercoreng sebagai pembuat onar. Misi keduanya sederhana, yakni menemani Vungus the Ugly (Kayvan Novak), si alien keluarga kerajaan, selama kunjungannya ke Bumi. Misi tersebut berubah rumit kala Vungus tewas di tangan dua alien berdesain keren (tubuh mereka bagai jendela luar angkasa, mengingatkan saya pada karakter Eternity dari komik Marvel) dengan kemampuan mematikan sekaligus jago menari (keduanya diperankan Les Twins, duo penari/koreografer asal Prancis).

Sepanjang investigasi M dan H, kita diajak melihat elemen-elemen khas Men in Black, dari alien-alien yang membaur bersama manusia, hingga beberapa teknologi keren seperti kereta yang bisa melesat ribuan kilometer hanya dalam hitungan detik, atau mobil penuh amunisi canggih. Apakah semua itu mencengangkan? Tidak lagi. Apakah menyenangkan? Lumayan.

Apalagi sutradara F. Gary Gray masih cakap mengkreasi adegan aksi bertenaga sebagaimana ia pamerkan lewat judul-judul seperti The Italian Job, Law Abiding Citizen, Straight Outta Compton, dan pastinya The Fate of the Furious. Pengadeganan sang sutradara cukup menghibur, selama aksinya melibatkan ragam teknologi tinggi kepunyaan para agen. Tanpa itu, MIB: International sekadar tontonan medioker yang memperlihatkan karakternya berlarian di berbagai negara, karena, well, film ini mengandung kata “International” dalam judulnya.

Terkait hiburan, naskahnya berusaha keras menjadi jenaka melalui lemparan celetukan-celetukan, yang sayangnya tak pernah hadir sesegar harapan kedua penulis. Beruntung, ikatan kuat di antara Tessa Thompson dan Chris Hemsworth cukup sering memperkaya warna humornya. Saya pun lega ketika hubungan M dan H urung terjerumus ke dalam romantika dangkal.

Terdapat adegan saat para protagonis kita memakai Neuralyzer untuk menghapus memori puluhan warga yang menyaksikan aksi heboh mereka (anehnya, mereka langsung lanjut beraksi di depan lebih banyak warga tanpa “menetralisir” ingatan orang-orang itu, yang mana cukup merusak esensi bangunan dunia Men in Black). Sungguh malang, padahal pemandangan tersebut akan jadi kenangan yang seru bagi warga. Tapi Men in Black: International tidak perlu menggunakan Neuralyzer bagi penonton, sebab keseruan yang ditawarkan amat mudah dilupakan. Anda mungkin (sedikit) bersenang-senang di dalam bioskop, namun segalanya bakal lenyap dari ingatan begitu melangkahkan kaki keluar.

8 komentar :

Comment Page:
Badminton Battlezone mengatakan...

Tapi Men in Black: International tidak perlu menggunakan Neuralyzer bagi penonton, sebab keseruan yang ditawarkan amat mudah dilupakan...*plokk plok plok.., sadesss hahahahahaa.

Emang ga pasang ekspetasi tinggi waktu nanti liat ini.

Btw ada credit scene ga bang?trus ini adalah film lanjutan dari mib 3 atau ini film lepas layaknya hobss and shaw?

B0M4 T43 mengatakan...

Bang rasyid, review film Furie dongg hehehee

A2 Barracuda mengatakan...

Terimakasih bang infonya, sukses terus,.

Rasyidharry mengatakan...

Haha serius deh. Pas kredit "oke, that was fun". Begitu masuk wc "Anjir tadi apaan aja isi felemnya?"

Nggak ada credit scene dan ini terpisah. Lebih terpisah dibanding Hobb & Shaw malah.

Tommy Ramadanur mengatakan...

Ditunggu Review DoReMi & You nya, Mas Rasyid!

Saat Santoso mengatakan...

Hahahahaha kalimat trakhir itu bnr2 ngena sama saya bang, jaLan keluar dr studio kek merasa "anjir tadi gw nonton apaan ya.."

jazzeldiyast mengatakan...

Dibandingkan Sama men in black 3 kaya bumi dan langit ,jauhhhh

aan mengatakan...

Baru nonton..dan ternyata kerasa datar aja.humor ga masuk.ga ada perasaan tegang walo antagonis keren tp kok kalah gitu aja...ikatan emosi tessa dan chris malah bagusan di ragnarok...hahaha