0.0 MHZ (2019)

10 komentar
Premis segar dan mengerikan tentang frekuensi yang dapat memanggil makhluk halus, sudah cukup untuk menjual 0.0MHz, selain tentunya debut akting layar lebar Jung Eun-ji “Apink”. Rasa penasaran muncul karena saya tidak tahu ke arah mana ide dasar tersebut dapat dikembangkan. Tapi ternyata, sutradara sekaligus penulis naskah Yoo Sung-dong (Mr. Housewife, Death Bell 2: Bloody Camp) pun tidak lebih banyak tahu.

Struktur alurnya mengikuti formula film-film “cabin in the woods”, yakni soal sekumpulan remaja, berbekal keingintahuan (plus kebodohan) mendatangi rumah tua angker. Mereka, termasuk So-hee (Jung Eun-ji) dan sang pengagum rahasia, Sang-yeob (Lee Seung-yeol, anggota boy group INFINITE), tergabung dalam klub horor bernama 0.0MHz, yang berambisi membuktikan (atau membantah?) keberadaan hantu.

Adegan pembukanya brutal nan menjanjikan, menampilkan seorang dukun melakukan ritual guna mengusir hantu penghuni rumah itu hanya untuk berakhir tewas mengenaskan. Begitu pula sekuen berikutnya, ketika So-hee dan Sang-yeob berjalan beriringan, sementara di belakang keduanya, samar-samar nampak dua hantu berwujud nenek-nenek dan anak kecil, diam-diam mengikuti.

Momen yang turut berfungsi menyiratkan kemampuan supernatural So-hee tersebut, bertempat di siang hari bolong. Tanpa jump scare, tanpa makhluk bertampang seram, hanya situasi normal sehari-hari, namun tak berapa lama, terasa ada yang tidak beres dari dua sosok tersebut. Yoo Sung-dong membawa kengerian dengan cara menggiring penonton membayangkan bahwa detik ini, di belakang kita, mungkin saja sesuatu sedang mengikuti.

Sayagnya, dengan penuh penyesalan saya mesti mengatakan jika 10 menit pertama itu adalah bagian terbaik 0.0MHz. Setelahnya, Sung-dong seolah kebingungan mengolah bahan baku yang dimiliki. Sesampainya di rumah angker yang dituju, karakternya mulai memanggil hantu memakai metode yang menggabungkan unsur sains dan klenik. Namun di luar ritual itu, naskahnya kehabisan akal, tak tahu harus membawa ide menariknya ke mana.

Sung-dong menyerah, lalu memilih menerapkan taktik malas, di mana si hantu berambut panjang penghuni rumah—yang merasuki seorang karakter pasca pelaksanaan ritual—akan muncul tiap kali sang medium tertidur. 0.0MHz berubah menjadi horor klise berisi aksi sesosok hantu memburu dan membunuh para remaja satu per satu.

Selepas pembuka, saya mengira filmnya bakal menerapkan kekerasan tingkat tinggi dalam menghabisi korban, hanya untuk dikecewakan, karena yang menanti di depan adalah pembantaian tanpa taji, tanpa memperlihatkan satu pun kematian secara langsung. Bahkan bodycount-nya begitu rendah bagi film yang mengusung tagline It only ends with a death” dan “You are all dead”.

Terkait penyutradaraan, Yoo Sung-dong sejatinya berani menjalani tantangan untuk mengandalkan gambar-gambar bernuansa tidak nyaman ketimbang jump scare generik, sayang, eksekusinya murahan. Bagian mana yang mengerikan dari repetisi orang-orang tercekik rambut? Dan sewaktu rupa hantu akhirnya diungkap, yang nampak justru pemandangan memalukan akibat CGI berkualitas rendah.

Babak ketiganya sempat memantik sedikit harapan, saat pengaturan tempo solid, penyuntingan dinamis, ditambah penempatan tepat musik elektroniknya, berhasil membangun jembatan menegangkan menuju klimaks. Tapi lagi-lagi, ketika klimaks itu tiba, cuma kekecewaan yang tertinggal, disebabkan konten adegan tak menarik (salah satu karakter mencambuki karakter lain), dan tentu saja, hantu CGI memalukan tadi.

Klimaksnya turut berpotensi menghadirkan puncak emosi dengan menyinggung perihal hubungan kompleks keluarga So-hee, namun gagal mendapat hasil sesuai harapan akibat elemen drama yang datang tiba-tiba, tidak didahului pembangunan yang layak. Itu masalah akut lain naskahnya, yang berkali-kali melemparkan rahasia dan/atau dosa masa lalu karakternya secara mendadak. Bahkan hubungan So-hee dan Sang-yeob pun ambigu. Apakah mereka teman lama? Bagaimana pertemuan keduanya terjadi?

0.0MHz merekrut dua idol sebagai protagonis, dan mereka melakukan pekerjaannya dengan baik meski jauh dari spesial. Seung-yeol hanya berakting mengikuti pola pria pemalu canggung yang sudah kita temui ribuan kali di film lain, sedangkan kapasitas Eun-ji ditekan oleh tuntutan peran, yang memaksanya lebih banyak diam dan memasang tampang misterius. Biar demikian, secercah talentanya masih dapat kita saksikan. Beberapa gerak tubuh maupun ekspresinya niscaya sempurna diterapkan dalam drama remaja quirky, sementara adegan penutup film ini menyiratkan kemampuannya menangani komedi-romantis ringan.

10 komentar :

Comment Page:
Tri mengatakan...

Jadi, skip aja nih ya mas? Untung belum semeton jauh2 maen ke CGV buat nongton. Beda sama ikut aku ke neraka kemaren yg sempet buat ane khilaf jd pengen nonton, film ini kebalikan. Liat trailer malah jijique..

Anonim mengatakan...

Nonton avengers end game yg extended version gak bang?

Rasyidharry mengatakan...

Skip aja kecuali fans dua idolnya.

Rasyidharry mengatakan...

Nope. Udah males lihat adegan tambahan yang Hulk. Harus nyisihin duit buat film lain juga

Chan hadinata mengatakan...

Extendednya bnyk di yutub sih..
Kira2 misinya bisa berhasil ngelewatin avatar gk??

Rasyidharry mengatakan...

Tinggal masalah waktu. Cuma selisih 7 juta, bisa dalam 1-2 minggu ke depan. Kalau masih gagal juga, rerelease di tahun-tahun ke depan juga masih bisa.

Chan hadinata mengatakan...

Trus kalo pendapatan di luar bisokop kyk rilis streaming/blu-ray kehitung jg gak??

Rasyidharry mengatakan...

Itu masuknya ke perhitungan keuangan total studio. Buat internal nentuin untung/rugi. Kalau yang selalu dipublikasikan itu cuma gross dari bioskop.

Fajar mengatakan...

Sampai sekarang aku masih bingung, kok bisa-bisanya Avatar jadi film terlaris. Kalo Endgame jadi terlaris sih wajar, film yg dibangun dari belasan tahun dengan puluhan judul film yg nendahului. Sedangkan Avatar itu cuma stand alone aja.

Rasyidharry mengatakan...

Seenggaknya dari zaman Star Wars jadi film terlaris, kuncinya selalu sama: revolusioner. Hype tinggi karena dijual sebagai "revolusi teknologi". Akhirnya jadi event, bukan cuma rilis film biasa. Di masanya kan kita belum pernah lihat pemaksimalan CGI + 3D macam Avatar.