A DOG'S JOURNEY (2019)

13 komentar
A Dog’s Journey bukan film yang bisa bekerja dengan baik bagi otak saya. Penceritaannya mengandung setumpuk kelemahan. Tapi ini adalah melodrama. Sebuah fantasi melankolis yang menyentuh hati lewat penggambaran sederhana seputar lingkaran kehidupan dan perjalanan mengarunginya, yang melibatkan sederet pertemuan dan perpisahan, juga kelahiran dan kematian.

Mengadaptasi novel berjudul sama karya W. Bruce Cameron, filmnya melanjutkan akhir kisah A Dog’s Purpose (2017), di mana Ethan (Dennis Quaid) dan Hannah (Marg Helgenberger menggantikan mendiang Peggy Lipton) menjalani masa tua nan damai mereka di peternakan sambil menjaga cucu Hannah, CJ (Emma Volk memerankan CJ balita, Abby Ryder Forstson sebagai CJ kecil, Kathryn Presscott menjadi CJ remaja), setelah ayah si bocah meninggal dunia.

Ibunda CJ, Gloria (Betty Gilpin), jelas belum siap memiliki anak, apalagi menjadi orang tua tunggal. Dia selalu bersikap tak acuh, hanya berpikir soal mengejar impiannya di dunia musik. Hari yang dikhawatirkan pun tiba. Gloria membawa CJ pergi meninggalkan Ethan dan Hannah. Tidak lama berselang, Bailey (Josh Gad), anjing kesayangan Ethan sekaligus protagonis kita, menghembuskan napas terakhir. Mengetahui Bailey bakal bereinkarnasi seperti sebelumnya, Ethan memohon agar di kehidupan berikutnya, Bailey menjaga CJ.

Begitulah awal perjalanan baru Bailey. Biarpun kematian berulang kali menjemput, ia terus kembali sebagai jenis anjing berbeda, dengan nama berbeda, tapi tujuannya tetap sama. Apa pun rintangannya, Bailey selalu menemukan cara untuk kembali pada CJ.

Polanya masih sama. Kita akan melihat si anjing menatap ajal lalu reinkarnasi berkali-kali. Tapi apa yang membedakan A Dog’s Journey dengan pendahulunya adalah bagaimana Bailey memiliki peranan serta dampak lebih nyata terhadap hampir seluruh sendi kehidupan CJ, mulai dari hubungannya dengan kakek-nenek, hingga kisah cintanya dan Trent (Henry Lau), sahabat CJ sejak kecil.

Besarnya kontribusi Bailey berjasa memproduksi banyak momen emosional selaku aspek terkuat film ini, ketika naskah buatan W. Bruce Cameron, Cathryn Michon (A Dog’s Purpose, A Dog’s Way Home), Maya Forbes (Monsters vs. Aliens, Infinitely Polar Bear), dan Wallace Wolodarsky (Coldblooded, The Polka King) gemar terlampau menyederhanakan konflik. Segalanya hitam-putih. Kekasih-kekasih CJ selain Trent selalu brengsek, sedangkan Gloria bagai karakter ibu keji yang diambil dari sinetron, sebelum filmnya menyelipkan sedikit kompleksitas penokohan, yang sayangnya datang terlambat.

A Dog’s Journey memang punya banyak elemen sinetron. Ibu kejam? Ada. Pacar kurang ajar? Ada. Penyakit mematikan? Ada. Kecelakaan? Ada. Penuturannya jauh dari kata “pintar”, namun tiap kali otak saya menyadari itu, hati ini langsung tercuri oleh adegan-adegan menyentuh, yang dikreasi dengan baik oleh Gail Mancuso selaku sutradara. Dia tahu cara menyusun momen mendayu yang efektif membuat penonton mencari-cari tisu.

Anjing-anjingnya masih menggemaskan, dan ditambah voice acting Josh Gad, ketulusan cinta serta kemurnian hati Bailey pun dengan mudah mencengkeram perasaan, walau serupa film pertama, terkadang ketidakmampuan sepenuhnya mengontrol perilaku para anjing berujung menciptakan momen-momen acak yang datang tiba-tiba entah dari mana. Setidaknya film ini coba menyulap faktor di luar kontrol tersebut menjadi situasi jenaka yang membuat Bailey semakin loveable.

Sekali lagi, berbekal screentime terbatas—meski jauh lebih banyak dibanding porsinya di A Dog’s Purpose—Dennis Quaid menghembuskan nyawa melalui matanya yang sarat emosi, juga senyuman hanngat. Mencapai akhir durasi, ditemani air mata saya mulai menyadari betapa panjang, berwarna, pula bermakna perjalanan yang telah Ethan dan Bailey arungi.

13 komentar :

Comment Page:
Heru Santoso mengatakan...

Review midsommar bang

Irfan Qowwiyul Aziz Alhajj mengatakan...

The hustle gak direview bang?

Rasyidharry mengatakan...

Ya kan belom tayang bapaak 😅

Rasyidharry mengatakan...

Lagi nggak ada tenaga midnight. Nunggu reguler aja Rabu

Anonim mengatakan...

Aktingnya henry lau gimana bang?

Anonim mengatakan...

Bikin list best film of 2019 so far kan?

Unknown mengatakan...

Oot nih.
Bioskop di amrik kira2 ada sensor gak ya? Kayak nonton di bioskop indo sadis dikit potong adegan. Adegan naked sama disturbing di film midsommar bakal kena sensor ga ya di bioskop amerika?

Rasyidharry mengatakan...

Nggak ada yang spesial tapi juga nggak jelek. Pas jadi pemanis

Rasyidharry mengatakan...

Karena nggak akan bikin artikelnya jadi share di sini aja

Parasite
Avengers: Endgame
Friend Zone
Swing Kids
Mantan Manten
Us
27 Steps of May
Badla
Dragon Ball Super: Broly
Instant Family

Rasyidharry mengatakan...

Sensor di sini dan Amrik sebenernya punya sistem mirip. Bedanya, toleransi di Amrik lebih tinggi. Dan di Indonesia standar untuk sadisme masih rancu. Kadang yang sadis banget lolos, kadang nggak.

Sistemnya mirip, dari pihak sensor kasih rating, kalau mau di bawah itu ratingnya, si empunya film ya harus revisi (contoh: RoboCop, American Psycho, The Wolf of Wall Street, dll.)

Terkesan nggak ada sensor karena:
1. Orang sini nggak tahu proses sensor di sana. Dikira nggak ada, tahu-tahu udah nongol aja filmnya
2. Sineas udah bisa kira-kira target rating apa, jadi sedari shoot udah disesuaikan. Tapi kan penyesuaian itu cuma bisa mereka lakuin ke sensor Amrik, begitu diekspor ke negara lain, ya standar sensornya beda, makanya bisa kena potong (lagi).

Agus mengatakan...

Mas saran dong film komedi terbaik indonesia menurut mas sendiri

Rasyidharry mengatakan...

Salah satu yang paling favorit Quickie Express

Banumustafa24 mengatakan...

CJ dewasa mirip Amanda Rawles euy 😍 tapi pas Bailey jadi Big Dog kurang ngefek kaya jadi ketiga anjing lainnya ya, bang