CRAWL (2019)

8 komentar
Begitu kredit bergulir, lagu klasik See You Later Alligator milik Bill Haley (kemungkinan dari sini nama protagonisnya berasal) dimainkan. Lagu ceria yang terdengar menggelitik, mengingat Crawl adalah horor tentang serangan aligator. Mendengar lagu tersebut, saya berandai-andai, “Mungkin sebaiknya, keseluruhan film ini menerapkan pendekatan serupa”.

Bukan berarti menjadi presentasi campy layaknya seri Lake Placid, tapi melucuti drama keluarga murahan miliknya jelas takkan menghasilkan dampak buruk. Pun bisa dirasakan betapa sutradara Alexandre Aja (High Tension, The Hills Have Eyes, Piranha 3D) beserta duo penulisnya, Shawn dan Michael Rasmussen (The Ward, The Inhabitans), tidak kuat berlama-lama berkutat di keseriusan, hingga sesekali mencoba “nakal” dengan menyelipkan guyonan.

Kisahnya mengedepankan sosok Haley Keller (Kaya Scodelario), atlet renang yang dalam adegan pembuka, diperlihatkan baru mengalami kekalahan di suatu latih tanding. Hubungan Haley dengan sang ayah, Dave (Barry Pepper), renggang. Padahal, dahulu Dave merupakan pelatih renang Haley, yang selalu menyebutnya “apex predator”, sebagai motivasi agar sang puteri urung menyerah.

Segala informasi tersebut muncul pada 10 menit pertama, sebagai upaya overshadowing klise mengenai apa yang tokoh utamanya harus hadapi kala terperangkap di rubanah yang terendam air akibat badai kategori 5, bersama beberapa ekor aligator. Haley harus mengembalikan kepercayaan diri dengan memakai talentanya (berenang), untuk melawan predator yang punya habitat natural di air, guna membuktikan statusnya sebagai “apex”. Tentu saja pertarungan itu juga berperan mendekatkan Haley dan Dave.

Bentuk overshadowing di atas, menegaskan ketidakcakapan kedua penulis, yang seperti terpaksa bermain sesuai pola. Pilihan waktu bagi penempatan momentum emosionalnya hampir selalu canggung, seringkali menghancurkan intensitas, pula diisi dialog-dialog cheesy yang bakal membuatmu merinding tanpa perlu melibatkan terkaman aligator.

Setiap drama merangsek, Crawl kehilangan pijakan. Beruntung, selaku horor soal aligator, film ini bersinar ketika sang monster unjuk gigi. Aja tak berinovasi, namun menunjukkan kapasitas sutradara horor berpengalaman yang menguasai metode memaksimalkan formula. Berbeda dibanding paparan dramanya, jump scare milik Aja dibungkus timing sempurna, hingga selalu berhasil menghentak. Aja pun jeli mengkreasi creepy imageries. Kuncinya satu: Seutuhnya menjadikan aligator monster ketimbang hewan buas biasa. Bahkan di sebuah kesempataan, aligator yang muncul di belakang protagonis nampak bak monster mistis dari horor supernatural (werewolf was the first one that came to mind).

Serahkan kepada Alexandre Aja perihal menyiksa karakter-karakternya. Mereka merangkak di rubanah gelap nan kotor, becek, dan saya yakin beraroma busuk. Tubuh mereka basah, berantakan, juga bersimbah darah akibat luka-luka, yang seiring waktu berlalu, makin fatal. Dan sudah bisa diduga, Aja kembali piawai memuaskan hasrat penonton pencari sadisme.

Mendapat siksaan sedemikian rupa (karakternya), totalitas Kaya Scodelario pun pantas dapat perhatian. Benar bahwa ia tak memiliki kesubtilan atau kemampuan olah emosi tingkat tinggi, yang menyebabkan tuturan dramanya makin tak karuan, tetapi ia adalah scream queen bertalenta dengan teriakan yang mampu memantik adrenalin, sekaligus protagonis menghibur. Sewaktu sesekali para penulisnya bosan memainkan keseriusan lalu usil melontarkan humor, Kaya berhasil menanganinya.

Memasuki babak ketiga, makin banyak aligator terlibat, sementara cuaca enggan berhenti menggila, yang sejatinya memberi panggung sempurna bagi klimaksnya. Sayang, sekali lagi Crawl tertahan oleh pagar yang dipasang sendiri. Pagar berbentuk penolakan tampil campy. Alhasil, tercipta batasan tentang apa saja yang bisa ditampilkan. Alih-alih berpikir kreatif demi memecahkan keterbatasan itu, para penulis memilih menyeleaikan filmnya, tatkala masih banyak hal yang bisa ditawarkan.

8 komentar :

Comment Page:
agoesinema mengatakan...

Bagusan mana dgn Lake Placid yg pertama?

David mengatakan...

Ditunggu mas reviewnya dua garis biru

Tidus mengatakan...

Sama dgn diatas. Review kan 2 Garis Biru Dong Oom. ane sendiri ga kan nonton ,,cuma kebetulan baru bgt lewat Bioskop 21 , antrinya dari loket tiket sampe ujung ruangan loby 21 nya. yg antri 90% Abg. Dan bbrapa bawa selebaran/poster film 2GB itu. Entah memang se menarik itu film nya ,, jadi penasaran.

Angger mengatakan...

Karna tema yang di angkat itu berani bgt dan masih dianggap tabu bagi masyarakat indonesia

Fajar mengatakan...

Mungkin mereka sedang mencari petunjuk untuk solusi masalah yg sedang mereka hadapi.

Ilham Qodri mengatakan...

itu serius sutradaranya ga punya nama belakang? Namanya jadi Alexandre aja?

Unknown mengatakan...

Ada sedikit spoiler gpp yak, dikiiiiit aja kok, klo yg nggk mau spoiler jangan baca..

Mas Rasyid,

Nih baru kelar midnight Crawl..
Baru kali ini popcorn masih ada sisa sampai akhir film..
Minum abis gegara kaget² muluk jadi harus minum, ahahhaha..

Spoiler alert:
Nggk masuk akal sih yak, seorang ayah yang sekarat bisa selamat, padahal seorang safeguard -harusnya lebih terlatih- yang sehat, KO dalam hitungan menit..

Gimana tuh menurut Mas Rasyid?

Anyway, menghibur sih, nggk ngantuk walaupun nuntun pas midnight..

Rasyidharry mengatakan...

Ya kalau saya sih soal masuk akal/nggak macam itu sudah dilupakan sedari awal mutusin nonton felem model beginian :)