BUMI MANUSIA (2019)

25 komentar
Timbul kontroversi kala Hanung Bramantyo (Ayat-Ayat Cinta, Sang Pencerah, Kartini) menyatakan bakal memfokuskan Bumi Manusia pada elemen percintaan remaja. Banyak orang murka, tapi mungkin mereka lupa, kurang (atau menolak) memahami, bahwa novelnya sendiri mengetengahkan romantika. Tepatnya, Pramoedya Ananta Toer tahu jika cinta sepasang kekasih merupakan perihal universal yang mudah menyerap di hati.

Tujuan novelnya adalah membuat pembaca jatuh cinta bersama Minke dan Annelies, memedulikan mereka, sehingga tergerak mengutuk kolonialisme, rasisme, atau tindak ketidakadilan secara umum, selaku kebiadaban yang berpotensi merenggut keindahan rasa bernama “cinta”. Dan Hanung bersama Salman Aristo (Garuda di Dadaku, Athirah, Mencari Hilal) sebagai penulis naskah, menangkap esensi itu dengan baik.

Minke (Iqbaal Ramadhan) adalah pribumi beruntung yang berkesempatan menuntut ilmu di Hogere Burgerschool (HBS), sehingga bisa terpapar ilmu pengetahuan serta pola pikir modern, hal-hal yang jauh dari jangkauan mayoritas pribumi. Minke merasa “tahu”, sampai tiba kunjungannya ke kediaman keluarga Mellema di Wonokromo, Surabaya.

Bertemulah ia dengan Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti). “Nyai” merupakan panggilan bagi wanita pribumi simpanan orang Belanda. Masyarakat memanang rendah para nyai, menganggap mereka sebatas gundik kelas rendah tak berpendidikan. Tapi anggapan itu—yang turut menancap di otak Minke—dipatahkan Nyai Ontosoroh. Dia pintar, penuh harga diri, kaya akan pengetahuan, pula bertindak sebagai ketua pelaksana seluruh bisnis Keluarga Mellema, menggantikan sang suami, Herman Mellema (Peter Sterk) yang sibuk mabuk-mabukkan. Bahkan Nyai Ontosoroh berani berdiri melawan Herman.

Tapi sambaran lebih kuat ke hati Minke ia rasakan kala berjumpa dengan puteri Nyai Ontosoroh, Annelies (Mawar de Jongh), gadis indo (berdarah campuran) yang berkebalikan dengan sang kakak, Robert (Giorgino Abraham), ingin menjadi pribumi. Minke jatuh cinta pada pandangan pertama. Annelies pun demikian. Namun cinta mereka takkan mudah, sebab ketidakadilan hukum, budaya, juga persepsi sosial yang menggelayuti bumi manusia senantiasa siap menghancurkan hubungan ini.

Apabila pernah membaca novelnya, tentu anda tahu sudut pandang ceritanya selalu berganti, dari Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh, sampai PSK asal Jepang bernama Maiko (Kelly Tandiono). Naskahnya sanggup merangkum semua, menyederhanakannya tanpa kehilangan substansi.

Pun pemakaian durasi mencapai tiga jam tidak sia-sia, kala Bumi Manusia menghasilkan sebuah adaptasi yang setia. Tentu beberapa aspek perlu diringkas, dihapus, atau dipindah penempatannya, namun Salman Aristo jeli memilih, mana yang wajib dipertahankan, mana yang bisa diubah. Saya masih menemukan pergerakan kasar, misalnya saat di suatu subuh Minke dijemput paksa oleh polisi, tapi keseluruhan, filmnya mengalir mulus berbekal konsistensi pacing juga tensi.

Itulah mengapa penunjukkan Hanung tepat. Tidak banyak sutradara yang siap menangani drama kolosal berdurasi tiga jam supaya gampang dinikmati, bahkan oleh penonton muda yang mungkin datang hanya demi melihat Iqbaal. Dibutuhkan fokus, energi, sekaligus jam terbang tinggi. Dan Bumi Manusia merupakan karya penyutradaraan terbaik Hanung selama beberapa tahun terakhir, di mana ia sukses meraih apa yang ia kejar sepanjang karir: melahirkan drama emosional yang bisa menjangkau penonton umum, namun tetap elegan agar tak berakhir murahan.

Pendekatan tersebut menjadikan Bumi Manusia sebuah romansa epik, dibantu musik Andhika Triyadi (Dear Nathan, Dilan 1990, Dua Garis Biru) yang sempurna mewakili kemegahan kisah berskala besar. Satu departemen sayangnya melemahkan kesan epik itu: tata dekorasi. Ya, rumah Keluarga Mellema dan lokasi-lokasi lain sekilas tampak bagus, terlalu bagus dan terpoles sehingga mengurangi kesan realistis. Bangunan-bangunannya artificial layaknya panggung yang (baru) dibangun ketimbang lingkungan nyata.

Apalah arti suguhan drama tanpa performa apik jajaran pemain. Banyak orang menyuarakan keraguan terkait pemilihan Iqbaal. “Kenapa Minke diperankan Dilan?!”, begitu ujar mereka. Tapi pengalaman Iqbaal menghantarkan gombalan Dilan membantunya menghadapi kalimat-kalimat romantis di film ini. Mampu pula ia seimbangkan sisi rapuh dan kokoh Minke, meski saat tiba waktunya melakoni adegan yang menuntut luapan rasa (orasi berapi-api, tangisan, dan lain-lain), ekspresinya kerap kurang natural.

Sedangkan bagi Mawar, Annelies merupakan peran yang bakal melambungkan status kebintangannya. Bukan cuma memiliki kecantikan, serupa Iqbaal, Mawar bisa menyeimbangkan dua sisi karakternya. Dibuatnya kita gemas pada kemanjaan Annelies, sementara di lain kesempatan, kekaguman terhadap ketangguhannya tak tertahankan.

Tapi tiada satu pun sanggup menandingi Sha Ine Febriyanti, yang tampil bagai kekuatan alam yang menyedot seluruh gravitasi di ruangan di tiap kemunculan, bahkan tanpa harus mengucap sepatah kata pun. Sosoknya mantap, intimidatif, namun berhiaskan kehangatan juga, tergantung situasi atau dengan siapa sang Nyai berinteraksi. Kemudian sewaktu Ine mulai meningkatkan kadar emosi, hati ini pun ikut bergetar hebat.

Di tangan Ine, Nyai Ontosoroh bagaikan figur pemimpin perjuangan tokoh-tokoh wanita film ini, yang seluruhnya kuat, sanggup “berdiri dengan kaki sendiri” juga menaklukkan semua pria, baik menggunakan cara keras (diwakili Nyai Ontosoroh) atau kelembutan (diwakili Ibunda Minke yang diperankan penuh kehangatan oleh Ayu Laksmi). 

Inilah alasan, walau novelnya terbit hampir 40 tahun lalu dan mengusung latar 121 tahun lalu, Bumi Manusia masih relevan. Perjuangan menegakkan keadilan (ras, gender, agama) berlandaskan asas kemanusiaan masih berlangsung sampai sekarang. Sebuah perjuangan yang dipersenjatai hati dan cinta ketimbang (sekadar) amarah. Perjuangan tersebut bergema kuat, mungkin sekitar separuh durasi, saya kesulitan menahan haru.

25 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Mantap, Bang.
Tinggal nunggu 'Perburuan' nih...

Panca mengatakan...

Oke fix nonton, nunggu review dari mas rasyid dulu baru berani nonton ini.. karena ekspektasi saya rendah banget untuk film ini, bukan karena iqbal tapi karena penyutradaraan hanung yg beberapa tahun ini kurang memuaskan.

Unknown mengatakan...

Kayaknya beneran harus nonton, nih... 😁
Berhubung aku jualan buku online, jadinya punya tetralogi pulau buru... BUMI MANUSIA masih nangkring manis aja di rak buku, sayangnya😊

Yo mengatakan...

Secara keseluruhan sependapat dengan review nya Mas Rasyid,hanya ada sedikit pertanyaan di hati saat meninggalkan bioskop,yaitu sikap Annalies yg semula tangguh mempertahankan cinta, Mama dan segala yg dimilikinya, kurang tersampaikan kepada penonton alasan yg membuat ia menjadi begitu nerimo, legowo, bahkan mempersilahkan officer penjemput membantunya berkemas, apakah karena ia tidak mau ada jatuh korban lebih banyak, atau sudah patah semangat,atau ada planning lain. Itu saja sekedar uneg uneg dari penonton awam yg kebetulan belom pernah baca buku nya.

Winner Wijaya mengatakan...

Saya kaget kenapa Maiko jadi seperti itu.

Rasyidharry mengatakan...

Perburuan, well....

Rasyidharry mengatakan...

Hanung lagi prima ini. Dapet skrip & aktor yang oke pula.

Rasyidharry mengatakan...

Semoga setelah film ini pada tertarik baca ya :)

Rasyidharry mengatakan...

Di novel juga (seinget saya) nggak diceritakan gamblang. Tapi di situ cinta dia ke semua hal udah jauh lebih besar dari cinta ke diri sendiri.

Rasyidharry mengatakan...

Jadi Kelly 😂

Indra Herdiana mengatakan...

Kata Hanung, ending-nya bakal tragis. Tapi, ternyata terllau tragis. Saya belum pernah membaca novelnya, jadi ya tidak siap dnegan ending-nya. :-(

Oh iya, sejauh ini, ini satu-satunya film Indonesia yang membuat saya harus sering membaca subtitle ketika menonton. Alasannya? Saya tidak mengerti bahasa Belanda dan hanya secuil mengerti bahasa Jawa.

Meuthia Nabila Pratiwi mengatakan...

Aku aja baca novel nya nangis wkwk

Meuthia Nabila Pratiwi mengatakan...

Sebenernya sih kalo dari yg aku baca di novel, ya yg aku tangkep sih, krn annelies itu kan polos banget ya. Jadi kayaknya sih lebih karna shock gitu lho dia, makanya sempet gabisa diajak ngomong gitu. Ya karena saking polosnya trus dia kaget gitu

Meuthia Nabila Pratiwi mengatakan...

Aku pesimis malah sama perburuan wkwk

Anonim mengatakan...

Pendapat pribadi malah kecewa banget sama penulisan naskahnya seakan akan kalo mau nonton filmnya harus baca novelnya dulu. Jujur gue bukan pembaca novel tapi ngikutin banget film makanya ya mantengin film adaptasi ini tapi pemilihan subplot2 oleh Salman seakan-akan bingung, banyak adegan yg gak berarti dan gajelas endingnya kemana. Sebagai non-pembaca malah bingung ini arah ceritanya tuh mau kemana sih, main plot emg jelas tapi subplotnya bener2 membingungkan. Akhir film banyak yg tepuk tangan...aneh banget maap, emg secara produksi keren abis tapi duh naskahnya memalukan. Maaf tidak sependapat, kan saya juga berpendapat hehe.

Shanaya mengatakan...

Iqbaal sempat di remehkan ketika jd Minke, pdl sebenarnya relevan mengingat di novel Minke emang sebaya dgn Iqbaal, dan saya yakin Iqbaal bisa meranin krn Iqbaal aktor yg cerdas. Seneng bgt adaptasinya bs detail mewakili isi bukunya. Hanung sdh dpt momentumnya kembali. Bumi manusia menurut saya merupakan film Indonesia terkeren dan terbagus sejauh ini.

Jackman mengatakan...

3 jam yang menarik dan tidak bikin ngantuk
Padahal belum baca novelnya
Tapi sangat menikmati filmnya
Akting pemain bagus
Visual juga oke

Fega "AnSAR" Arabela mengatakan...

Sependapat sih. Menurut gw film ini sama sekali ga mendekati angka 8. Pada akhirnya w kasih 7. Bingung antara 6 apa 7. Spt yg disebutin ama TS, kebanyakan subplot jadinya kuranv fokus ceritanya. Mana editingnya jelek lagi, baru masalah muncul. 3 menit kemudian masalah terselesaikan. Ntar muncul lagi masalah, 3 menit lagi selesai. Jatuh malah super boring.

Untuk aktingnya buat aktor aktris yg udah dewasa emg pada bagus semuaaa. Mungkin krn pengalaman juga. Yg muda2 masih kurang. Kadang kaku, kadang overacting. Setidaknya makin ke ending, makin natural sih aktingnya. Dari segi score juga b aja. Ga ada yg wow. CGI nya juga ga bagus. Tp ini masih okelah. Negara kita emg belum bisa buat CGI cantik, jadi w maklumin. Cuman kurang suka aja pemilihan buat tone filmnya, terlalu hijau kalo kata gw. Jadi keliatan rada kusam filmnya. Padahal kalo tone gambarnya lebih ke coklat bakalan cantik pasti. Overall kecewa sih sama filmnya. Definitely not gonna watch the sequel (kalau ada).

Anonim mengatakan...

Yap bener banget, dengan novel yg kompleks subplotnya jadi dipaksa masuk semua, alih-alih setiap bagian dari ceritanya terwakilkan ehh malah jadi percuma, bakal lebih bagus kalo subplotnya ditebas sekalian atau kelarin sekalian. Elemen utama yg bener2 flawful bikin gue sendiri ngasih 2.5/5 sih haha appreciate dikit usaha dari segi teknisnya.

Iya emg scorenya tuh sebenernya maju banget menurut gue tapi malah overplayed dan jadi ganggu. Cginya yap lumayan lah untuk indo, tapi cacat visualnya adalah palet warna yg saturasinya ketinggian dan produksi set yg terlalu "fresh". Kalo acting selain sha ine febriyanti, standar ke nanggung si.

Rifal Nurkholiq mengatakan...

Saya pembaca novelnya. Ketika nonton film bikin nangis dan ketawa yang gak saya rasakan pas baca bukunya (in good way). Bagian sungkem, jamuan makan, sidang, suapan, pamit juga keren banget sumpah sesuai ekspektasi. Sayangnya bagian paling favorit yaitu saat Minke jalan jongkok sambil pikirannya mengkritisi tradisi jawa di film ini selewat doang. Padahal saya berharap ada monolog.

Satu lagi, kenapa ya hal remeh kayak motif Gendut Penguntit sama motif Babah Ah Tjong gak dijelasin di film? Keknya orang yang belum baca bakal kebingungan deh

Unknown mengatakan...

Digarap oleh Hanung saja sudah bagus begini, gimana ya kalau waktu itu Oliver Stone diijinkan yg garap filmnya?

VXVX mengatakan...

Entah sih gue justru ga yakin sama sutradara/produser luar untuk garap film berlatar sejarah indonesia, apalagi sutradara amerika, you know lah, amerika. Selain ga relate sama ceritanya, perspektif orang amerika terhadap negara asing itu cenderung merendahkan, jangankan Indonesia yg sering dianggap negara antah berantah, eropa aja mereka anggap rendah. Liat adaptasi Hollywood dari novel-novel Eropa pemenang Nobel, sama sekali ga ada respect-nya sama source material. Novel latar Rusia kebudayaan Rusia tapi diperankan oleh aktor-aktor Amerika dengan bahasa Inggris aksen Amerika. Kalo Hollywood garap Bumi Manusia. Ujung-ujungnya filmnya jadi punya intensi menyimpang dan mengandung propaganda tersembunyi. Ga aneh kalo semasa hidupnya Pram menolak novelnya diadaptasi oleh produser asing.

Aniha world mengatakan...

Aku malah merasa akting Iqbaal yang paling canggung di antara pemain muda di sini. Paling terkesan sm yg jd suurhof dan annelies.mungkin,...entahlah.ekspresi wajah dan gerak terasa kaku..minke adalah pemuda penuh kritik dan pada saat bersamaan juga "laid-back" dg gadis, tetapi ketika melihat iqbaal sy merasa sosok minke berubah menjadi...bukan Minke. Itu pendapat saya.Secara keseluruhan, pusat karakter di film ini adalah Nyai Ontosoroh..

Unknown mengatakan...

Nyai ontosoroh emang bener bener femme fatale banget. Unch

Kus Edi mengatakan...

Waktu nonton Sha Ine Febriyanti di ¤Nay.. sy suka banget aktingnya yg kuat sekali di film.
Film alternatif mini aktor yg berkat peranan Ine jadi bagus banget.

Hebat Hanung bisa menemukan Ine berperan di filmnya.
Padahal di ¤Nay, doi terkesan selebor banget.

Ine bermetamorfosa demikian cantik, anggun & berkharisma.. super kaget bisa seperti itu setelah lihat ¤Nay.

Dan.. sy nangis deras di ending, berkat adegan s**p di kamar (spoiler).
Yg pernah broken heart & kehilangan dijamin hancur luluh lantak hatinya.

Tksh Hanung.. utk film yg demikian bagus.

Harus baca novel ¤Bumi Manusia setelah ini.. kalimat-kalimat Pramoedya magis.