PRETTY BOYS (2019)

15 komentar
Mengangkat seluk-beluk di balik layar dunia pertelevisian, dibintangi duet maut Deddy Mahendra Desta dan Vincent Rompies serta ditulis naskahnya oleh Imam Darto (sebelumnya pernah menulis judul rilisan tahun 2008, Coblos Cinta), yang mana seluruhnya merupakan pelaku industri tersebut, Pretty Boys semestinya bisa lebih dari “sekadar” menghibur, andai dibarengi eksplorasi mendalam sekaligus konsistensi dalam mengutarakan pesan.

Tapi jika anda datang karena ingin tertawa menyaksikan kekonyolan khas Vincent-Desta, maka debut penyutradaraan Tompi ini bakal memuaskan. Memerankan Anugerah dan Rahmat, sepasang sahabat yang sejak kecil bermimpi menjadi pembaca acara televisi, keduanya langsung melontarkan banyolan berbentuk tebak-tebakan receh, atau berbagai pelesetan ringan lain yang selama ini terbukti sukses membuat publik menyukai kemunculan mereka di layar kaca.

Berangkat dari desa menuju Jakarta berbekal impian (dan kenekatan) tinggi, karir Anugerah dan Rahmat justru mentok sebagai karyawan restoran. Tapi mereka enggan menyerah. Didukung pula oleh Asty (Danilla Riyadi), rekan kerja sekaligus gadis yang disukai Anugerah namun tak kunjung ia tembak, semua jalan dicoba. Hingga tawaran menjadi penonton bayaran untuk acara bincang-bincang yang dikoordinir oleh Roni (Onadio Leonardo), secara tak terduga membuka lapang jalan menggapai cita-cita.

Dari judulnya tentu anda bisa menebak bahwa Pretty Boys hendak menyentil isu kegemaran stasiun televisi memakai lawakan “banci-bancian”. Seolah ada aturan tak tertulis bila seseorang ingin terkenal, jadilah komedian dengan karakter banci. Perihal mengungkap dunia gelap di balik gemerlapnya industri televisi, kejujuran filmnya pantas dipuji. Walau digawangi para penggiatnya, Pretty Boys tak berusaha mempermanis realita.

Hanya saja, sebagai karya “orang dalam”, naskahnya minim fakta baru. Perihal eksploitasi tokoh transgender, kongkalikong manajer dan pihak acara, sampai pembayaran honor yang mencapai berbulan-bulan, sudah jadi rahasia umum (mungkin khusus soal honor saja yang belum). Pun terkait gimmick transgender, paparan isunya problematik. Kalau Pretty Boys ingin mengkritisi poin itu, filmnya sendiri membangun humor berlandaskan hal serupa. Jangan salah, ini bukan urusan ofensif atau tidak, melainkan konsistensi narasi. Lain cerita jika soal “kepalsuan demi popularitas” yang coba disampaikan. Masalahnya, naskah Imam Darto kurang kuat menggiring sindirannya ke ranah itu.

Biarpun menampilkan dua protagonis, sosok Anugerah jelas lebih menonjol dengan kehadiran elemen drama dalam story arc-nya. Dia terlibat konflik dengan sang ayah (Roy Marten), mengalami pergolakan jati diri, juga kesulitan mengutarakan cinta kepada Asty. Benang merahnya adalah keraguan Anugerah mengambil kesempatan. Di sini inkonsistensi timbul lagi. Di satu sisi, Pretty Boys berkata “jangan membuang kesempatan”, padahal kritik utamanya ditujukan bagi para pelaku industri yang mengambil kesempatan.

Kelemahan narasi setidaknya berhasil ditambal komedi yang paling tidak  bisa memancing senyum. Dalam debut penyutradaraannya, Tompi juga melahirkan barang langka berupa komedi lokal yang menolak memakai kemasan artistik seadanya. Sebagai seorang musisi sekaligus fotografer, tidak heran Tompi melahirkan film bervisual cantik, pula diisi deretan lagu pembuai telinga, termasuk Kembali Putih Lagi milik Danilla. Disokong sinematografi Wirawan Sanjaya, visual Pretty Boys begitu memperhatikan permainan cahaya serta kombinasi warna, alias bukan asal terang.

Di jajaran pemain, Vincent dan Desta senantiasa bisa diandalkan urusan chemistry kala mengocok perut. Teruntuk Vincent, kapasitas aktingnya diuji kala harus menghidupkan pergulatan batin Anugerah. Tidak spesial, namun tidak pula mengecewakan. Tidak kalah menghibur adalah gaya feminnin Onadio, sedangkan Danilla tampil solid dalam kapasitas love interest, meski sayangnya, subplot romansa yang melibatkannya terkesan inkonklusif. Atau jangan-jangan Anugerah.....

15 komentar :

Comment Page:
Taufik Adnan mengatakan...

Wahh udah lma gk k blog mas rasyid.
Kalau gak salah vincent-desta d setiap promo slalu blang klau fokusny bkan k msalah pertelevisianny, cma buat kendaraan aja utk k fokus utamnya, yaitu "perjuangan meraih mimpi & ketika mimpiny udah berhasil d gapai tp tdak sesuai dengan hati nuraninya". Haha itu sih yg d dpat. Makanya fakta fakta baru kaya yg d tulis mas bro td gak d singgung d film. Mungkin sih :-D. Tp klau menurut gua tetap rekomen buat d tonton sih, visualny emg jarang d dpat d film lain sih ini. Chemistry vincent desta gak usah d ragukan lg sih.

Boy mengatakan...

Ditunggu segera mas review ad astra nya

Fajar Arief Rahman mengatakan...

Problematik??
memang begitulah realita
Tidak ada hitam atau putih
Tidak ada benar atau salah
Hanya menampilkan kenyataan yg ada

Rasyidharry mengatakan...

Lha kok jadi ngomongin realita & hitam/putih mas e? Yang diomongin kan inkonsistensi penyampaian pesan

Rasyidharry mengatakan...

Poin utamanya bukan soal nggak ada fakta baru sih. Itu wasting potential tapi bukan hal fatal. Paling fatal ya inkonsistensi soal humor transgender.

Raja Jawa mengatakan...

Bang, review lama dong, judul film nya 'My own private idaho'

redstorm mengatakan...

@Fajar: yeah, i got it, maksudnya film ini tidak ingin menyampaikan pesan (mana benar, mana salah), film ini cuma menampilkan realita, yg memang sering problematik.

Eldwin Muhammad mengatakan...

Gak review Hayya?

suryowidiyanto mengatakan...

vincent lucu juga dulu di film preman in love nya rako prijanto

John Rambo mengatakan...

Sayang banget, Beberapa Reviewer yg menulis kejebak diurusan bahwa film ini mau angkat isu seputar Transgender padahal jelas-jelas narasi filmnya berisi sindiran satir terhadap media Broadcasting yg ngejar rating dgn segala cara termasuk banci-bancian diTV, Yg selalu dibahas tentang rating.. “KITA YANG MENODAI TV ATAU TV YANG MENODAI KITA?” mereka uda jelas-jelas nulis Taglinenya bgtu..Gue rasa sih uda tersampaikan point of view filmnya tentang Ambisi, Asmara, Harta Dunia..

Soal Gimmick isi filmnya Banci, itu emang gambaran bahwa ada realita itu didunia broadcast TV tapi jangan diliat dr sisi Seksualitasnya.. Dan aktor Tora yg jadi tokoh penyadar karakter anugrah cuma cameo aja yg perannya jadi titik Hook cara penyadaran berfikir Karakter.. Bukan jadi isu yg mau ditonjolin...

Ngeriviewnya mispersepsi dari narasi keseluruhan film, karena nontonya kejebak didalam pemikiran dari kemasan seksualitas aja, jadinya ga bisa ketawa haha

Rasyidharry mengatakan...

Coba dibaca lagi, reviewnya yang mispersepsi atau baca reviewnya yang mispersepsi :)

Anonim mengatakan...

Blog ini ngedukung LGBT ? Kok ratingnya bisa 3 ? ��

Anonim mengatakan...

Lucu bgt mas cuma krn ngasih rating 3 dianggap dukung LGBT. Ini review film, bukan blog dakwah.

Anonim mengatakan...

Menunggu ulasan Ad Astra
����

Andi mengatakan...

kayaknya emang fix nugi gay deh
karena aku gag ngeliat sedikitpun ketertarikan dia ke asty
dan ngamuknya dia ke matthew jadi lebih make sense


plus dia mau diajak ama Tora Sudiro for God's sake meskipun akhirnya gag ngapa ngapain