CINTA ITU BUTA (2019)

1 komentar
Mengadaptasi film Filipina berjudul Kita-Kita, karya penyutradaraan teranyar Rachmania Arunita (penulis novel Eiffel...I’m in Love) setelah absen 11 tahun lamanya sejak Lost in Love ini adalah film pertama yang total memaksimalkan potensi komedi Dodit Mulyanto. Memasang Dodit sebagai pemeran utama membuatnya lepas, bebas melontarkan ide-ide humor gilanya. Konyol. Terlalu konyol malah, hingga Cinta itu Buta lalai meluangkan waktu membangun rasa, yang mana substansial dalam paparan romansa.

Berlatar di Busan, Korea Selatan, tokoh sentralnya adalah Diah (Shandy Aulia), pemandu wisata yang selama tiga tahun terakhir telah bertunangan dengan pria lokal, Jun-ho (Chae In-woo), namun pernikahan keduanya tak kunjung tiba, karena Jun-ho selalu beralasan bahwa ia belum siap. Kemampuan Shandy melafalkan dialog memakai Bahasa Korea patut diapresiasi, namun cara bertuturnya mengganggu. Saya memahami intensi mereplikasi protagonis wanita drama Korea yang kerap bicara dengan aegyo, tapi bukan berarti gaya itu pantas diterapkan di semua situasi.

Suatu malam, Diah akhirnya mengetahui alasan Jun-ho menunda pernikahan. Begitu terpukul, Diah pun kehilangan penglihatannya—membuat karakternya menderita penyakit jelas satu dari berbagai unsur yang diterapkan naskah buatan Fanya Runkat dan Renaldo Samsara (I Am Hope) supaya Cinta itu Buta tampil bak drama Korea. Anehnya, di pagi hari berikutnya, Diah sudah mahir berjalan menggunakan tongkat. Padahal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, ditambah lagi (seharusnya) psikis Diah masih terguncang.

Tapi biarlah. Setidaknya pasca kejanggalan itu, filmnya memasuki babak baru yang jauh lebih menyenangkan berkat kehadiran Nik (Dodit Mulyanto), yang mengunjungi Korea sebagai bentuk pelarian sakit hati setelah diselingkuhi tunangannya. Nik ngotot membantu Diah, membawakan makanan tiap pagi walau sang gadis menolak menyentuhnya. Lambat laun Diah luluh, membiarkan Nik memasuki kehidupannya, membuatnya menyadari bahwa tanpa melihat pun, ia tetap bisa merasa.

Kedatangan Nik bukan saja mengubah hidup Diah, juga jalur filmnya, yang banting setir ke ranah komedi-romantis, dengan proporsi komedi jauh lebih besar. Di sinilah Dodit bersinar, melepaskan banyolan-banyolan gombal khasnya, disertai kelakar-kelakar aneh, yang semakin absurd justru semakin efektif memancing tawa. Beberapa polahnya bakal terus menggelitik, bahkan setelah filmnya usai, dari teriakan norak Nik kala memanggil Diah tiap pagi, sampai improvisasinya di adegan “dangdut”.

Tapi bagi Cinta itu Buta, kelucuan Dodit ibarat investasi jangka pendek. Selama paruh kedua, filmnya tampil menarik, kemudian menjadi bumerang kala menginjak babak akhir yang mengedepankan elemen drama romantis. Benar bahwa membuat dua tokoh utama tidak melulu tampil serius merupakan formula ampuh pemancing simpati penonton sebab kita merasa bersenang-senang bersama mereka, namun kedua protagonis film ini sama sekali tidak pernah serius. Tawa yang hadir sekadar melahirkan kekonyolan, bukan membangun warna hubungan. Alhasil, dampak emosional yang semestinya muncul berdasarkan gagasan manis “Saat bisa melihat, kamu tidak bisa melihatku, tapi saat tidak bisa melihat, kamu baru bisa melihatku”, gagal tersalurkan.

Kondisi semakin diperburuk oleh kekacauan penceritaan. Atas nama kejutan, gerakan alurnya kerap menciptakan disorientasi waktu. Pun konklusi yang memilih menggantungkan tanda tanya ketimbang habis-habisan mengaduk rasa, ikut mengundang kejanggalan. Padahal kalau drama Korea klasik jadi acuan (keberadaan penyakit hingga nasib buruk yang tiba-tiba menimpa, mengingatkan pada judul-judul seperti Autumn in My Heart, Stairway to Heaven, dan lain-lain), Cinta itu Buta seharusnya bersedia menyentuh ranah melodrama daripada bersikap “malu-malu tapi mau”.

1 komentar :

Comment Page:
Mahendrata Iragan Kusumawijaya mengatakan...

Kalau budget terbatas mending nonton ini apa SIN Bang?