HUSTLERS (2019)

7 komentar
Diangkat dari artikel bertajuk The Hustlers at Scores buatan Jessica Pressler yang dipublikasikan majalah New York pada 2015, Hustlers membungkus feminisme dalam sampul bernama keluarga yang memayungi wanita-wanita bermental baja. Kata “keluarga” memegang kunci. Hustlers mampu memilah, mana perjuangan yang didorong keinginan saling membantu sebagai satu “keluarga”, mana yang semata hasutan keserakahan dan kemarahan.

Perspektif di atas patut dirayakan, sebab kisahnya berjalan di area ambigu kriminalitas. Sedikit saja salah melangkah, tercipta justifikasi atas nama empowerment. Tapi sutradara sekaligus penulis naskah Lorene Scafaria (Seeking a Friend for the End of the World, The Meddler) tidak buru-buru memaparkan elemen kriminalnya. Terlebih dulu kita diajak menilik latar belakangnya, melalui sudut pandang Destiny (Constance Wu) yang tengah diwawancarai oleh jurnalis bernama Elizabeth (Julia Stiles) pada 2014.

Mundur menuju tujuh tahun sebelumnya, Destiny baru memulai karir sebagai penari telanjang di Moves, klub yang akan membuat pecinta musik kegirangan karena di situlah nama-nama seperti Cardi B, Lizzo, sampai Usher muncul dalam peran singkat namun berkesan. Dituntut membiayai hidup neneknya (Wai Ching Ho), Destiny justru kesulitan memperoleh uang akibat belum menguasai teknik memikat pelanggan. Beruntung ia berkenalan dengan Ramona Vega (Jennifer Lopez) sang primadona, yang dimintanya berbagi ilmu. Berawal dari hubungan tutor-murid, perlahan tumbuh persahabatan.

Selain ajang unjuk gigi kepiawaian Jennifer Lopez yang berlatih pole dance selama 2,5 bulan sebelum proses produksi, sekuen di mana Ramona pertama kali mengajari Destiny menari juga memperlihatkan sensitivitas Scafaria terkait penerjemahan rasa ke dalam adegan. Ketimbang musik dansa elektronik, alunan komposisi bak musik klasik dari dentingan piano justru dipakai. Pole dance di klub yang biasanya identik dengan seksualitas dipancarkan keindahan estetikanya, sebagaimana jajaran karakternya yang merobohkan stigma negatif profesi penari telanjang.

Pernah menulis naskah Nick & Norah’s Infinite Playlist (2008) yang menjadikan musik selaku elemen penting serta pernah merilis album musik, Scafaria terbukti handal perihal mengawinkan departemen audio dan visual. Di adegan yang menggambarkan mimpi buruk Destiny, sang sutradara memilih mematikan semua suara kecuali iringan piano bertempo tinggi untuk membangun intensitas yang mengingatkan pada film-film bisu di masa lalu. Pun siapa sangka lagu Royal milik Lorde bisa mengangkat kesan dramatis sebuah peristiwa, menjadikannya suatu pemandangan monumental.

Kembali ke cerita, berkat bimbingan Ramona, Destiny berhasil mengumpulkan uang, sampai krisis ekonomi 2008 menerpa. Para pelanggan kaya menghilang, Moves menderita kesulitan finansial, memisahkan Destiny dan Ramona. Sempat mencoba melakukan pekerjaan lain, Destiny yang telah menjadi ibu tunggal memilih kembali ke dunia malam di Moves. Tapi kondisi telah berubah. Pekerja di sana diisi para imigran Rusia yang bersedia melakukan oral seks (praktek yang sebelumnya dilarang) hanya demi $300.

Kecerdikan Scafaria menarik  garis antara peristiwa nyata dengan pesan tentang gender yang ingin disampaikan nampak di sini. Pria-pria pengunjung peminta blow job ibarat pelaku perbudakan yang ingin mengambil keuntungan dari kesusahan wanita-wanita pekerja, sedangkan Destiny mewakili wanita yang menolak diperbudak. Nantinya turut diungkap bahwa alasan para pria korban trik Destiny dan Ramona (trik macam apa akan saya bahas) menolak melaporkan ke polisi adalah karena malu telah menjadi korban wanita. Harga diri hasil kebanggaan maskulinitas mereka terlampau tinggi, hingga berujung kebodohan.

Tapi Hustlers bukan tuturan dangkal hitam-putih yang membenarkan seluruh perbuatan karakter wanitanya sembari menggambarkan mereka sebagai sosok sempurna dan membuat semua pria terlihat buruk. Untuk mengulik itu, perlu kita tengok dulu bagaimana Destiny dan Ramona bereuni. Bertemu kembali setelah sekian lama, Ramona menawarkan metode penimbun uang baru. Bersama penari lain, Mercedes (Keke Palmer) dan Annabelle (Lili Reinhart), Ramona berburu pria kaya yang bersedia digoda, memberi minuman berisi campuran ketamin dan MDMA guna menghilangkan memori serta kesadaran, lalu menguras kartu kredit mereka. Destiny beredia ikut serta.

Hustlers pun beralih menyentuh genre heist yang dikemas menyenangkan, khususnya karena Scafaria tahu jika Hustlers sedang merambah sisi hiburan miliknya. Beberapa sentuhan komedi dengan ketepatan timing efektif menyegarkan suasana. Penonton pun bisa lepas tertawa, sebab korban yang dipilih protagonisnya merupakan pria-pria kaya hidung belang. Pun kelak, kejatuhan mereka dipicu kesalahan memilih korban akibat keserakahan yang tak terkontrol, menegaskan bahwa film ini bukan empowerment yang “buta”.

Bukannya penceritaan Hustlers nihil cela. Memasuki titik balik di mana hubungan kekeluargaan karakternya mulai menemui benturan-benturan, seolah ada keping kisah yang hilang, ada fase transisi yang dilewati demi mempercepat progresi alur. Pun metode non-linear yang diterapkan tidak sepenuhnya berlangsung mulus. Meski menampilkan keterangan latar tahun, pertanyaan-pertanyaan seputar “Kapan pastinya suatu hal terjadi? Sebelum atau setelah peristiwa ‘A’?”, dan sebagainya.

Beruntung lubang narasi di atas bisa ditutupi kesuksesan Scafaria mengolah rasa. Baik penulisan dialog maupun pengadeganannya dibuat dengan hati, yang terpampang nyata dalam pemandangan emosional di depan kantor polisi, yang kekuatannya dibangun berdasarkan kalimat “motherhood is a mental illness”. Constance Wu yang sejak Crazy Rich Asians tahun lalu mencapai level popularitas baru, membuktikan konsistensi performa lewat caranya bermain rasa, namun bintang sesungguhnya adalah Jennifer Lopez.

Menampilkan akting terbaik sepanjang karirnya, J.Lo ibarat rock star dengan karisma tanpa tanding yang menguasai seluruh panggung bernama “layar” (well, she’s actually a diva). Di tangan Lopez, Ramona jadi sosok kompleks. Bukan rubah licik yang gemar menebar tipu daya, melainkan wanita berhati pesar penuh kasih sayang yang terhimpit realita. Dan ketika Lopez berjalan di depan kawan-kawannya dalam balutan gerak lambat, dia bukan seorang pemimpin biasa. Dia adalah simbol.

7 komentar :

Comment Page:
rahmadamazing mengatakan...

Banyak sensor sama adegan yg di-cut?

Akbar Pradhana mengatakan...

Potongan 6 menit dan blur pas ada stripper yang topless.

Rasyidharry mengatakan...

Beberapa potong & blur, tapi nggak signifikan melemahkan kualitas filmnya

susan mengatakan...

Ga review elcamino?

hilpans mengatakan...

Constance wu bakalan sebersinar Michelle Yeoh gak yah dimasa depan

Eldwin Muhammad mengatakan...

Itu Constance Wu di poster kirain Shareena istrinya Ryan Delon.

aryo mengatakan...

Baru nonton. Bagus sih, sayang ada kelemahan fatal. Sy tidak berhasil dibuat peduli sama karakter2nya