99 NAMA CINTA (2019)

5 komentar
99 Nama Cinta membuktikan jika film bernapas religi cenderung tampil lebih baik bila digarap oleh figur yang tidak “mabuk agama”. Mungkin anda tidak menyangka, tapi Garin Nugroho merupakan penulis naskah dalam karya teranyar sutradara Danial Rifki (Haji Backpacker, Meet Me After Sunset) ini. Walau jauh dari sempurna, damai rasanya mendapati di sini tidak ada kesan memaksa, menghakimi, menyudutkan, apalagi mengafirkan. Bahkan di akhir cerita, protagonisnya tak perlu terdorong mengenakan jilbab selaku bentuk “menemukan iman”.

Protagonis yang dimaksud bernama Talia (Acha Septriassa), pembaca acara gosip televisi dengan rating tinggi berjudul Bibir Talia. Prinsip “semua cuma bisnis, jangan bawa perasaan” diusung Talia. Baginya, kesuksesan program merupakan hal utama, sedangkan sisi kemanusiaan dan moralitas jadi nomor kesekian. Talia tidak ragu menjebak narasumber, mengadakan wawancara tanpa persetujuan demi rating. Talia tidak melangkah di jalan Allah, itu pasti.

Sampai datang ustaz muda misterius, mengaku diperintah oleh ibunda Talia (Ira Wibowo) agar mengajarinya mengaji. Kiblat (Deva Mahenra) nama sang ustaz. Rupanya ia putera Kiai Umar (Donny Damara), kawan lama orang tua Talia, yang dahulu menerima bantuan kala mendirikan pondok pesantren. Kedatangan Kiblat didasari atas janji Kiai Umar membalas budi dalam bentuk pembagian ilmu.

Sekilas 99 Nama Cinta tak ada bedanya dengan film religi kebanyakan. Dua sejoli berlawanan sikap saling jatuh cinta, lalu akhirnya si alim mampu menggiring si biang maksiat menemukan hidayah. Naskah buatan Garin tetap bermuara ke sana, namun proses beserta segala pernak-perniknya jadi pembeda. Melihat penggambaran Kiblat sebagai ulama muda berparas rupawan berpenampilan modis, Garin ingin menjauhkan dakwah Islam dari kekakuan.

Berpijak pada niatan tersebut, dihadirkanlah karakter Husna (Chicki Fawzi), ustazah muda lulusan universitas Korea Selatan yang mengajar di pondok pesantren Kiblat lewat media musik. Membawa ukulele, Husna bernyanyi di kelas sembari menuturkan bahwa dulu Wali Sanga menyebarkan Islam melalui musik. Bagi yang familiar dengan karya Garin, tentu tahu hal ini selaras dengan kegemarannya menyelipkan elemen kesenian sebagai penguat narasi.

Hubungan Talia dan Kiblat tidak langsung berjalan mulus mengingat keduanya amat berlawanan. Si wanita membawakan acara gosip, sedangkan si pria mengajarkan buruknya aktivitas bergosip kepada para murid. Di film lain, saya yakin Kiblat bakal mengonfrontasi Talia, terang-terangan menghakimi profesinya.Tapi tidak di sini. Kiblat adalah sosok toleran. Menyuarakan itu di kelas merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban selaku guru agama, namun di depan Talia, ia enggan melarang, meski tak membenarkan juga. Dan baik Kiblat maupun Kiai Umar tak sekalipun menyuruh Talia beribadah.

Semua perubahan murni terjadi atas kesadaran Talia sendiri, yang bermula saat ia dipindahtugaskan mengurus kuliah subuh yang punya rating buruk dan dipandang sebagai acara buangan akibat sebuah kasus. Talia dipusingkan kala mendapati betapa membosankan program tersebut. Para penonton di studio tertidur, dan ketika dievaluasi, sang ustaz pengisi acara (Dedi “Miing” Gumelar) justru berkata “Acara keagamaan memang berat”. Bagaimana bisa muncul ketertarikan memperdalam agama bila ulama berpikiran demikian? Kita pun dapat menebak apa strategi yang dipilih Talia.

Terkait unsur religi, 99 Nama Cinta tampil memuaskan, bahkan termasuk salah satu yang terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Masalah justru timbul di luar itu. Beberapa detail membuat saya mengernyitkan dahi. Kenapa Talia, si pembawa acara ternama, harus repot-repot naik bus ekonomi kala mengunjungi pondok pesantren? Apa susahnya menyewa sopir? Bukankah ia juga datang diantar sopir? Demi rating sekalipun, bukankah mustahil sebuah stasiun televisi bersedia “mengumpankan” anggota timnya sendiri sebagai bahan gosip?  Demi kesan dramatis, logika dikesampingkan.

Terkait dramatisasi, terdapat momen yang mengganggu, menggelikan alih-alih menggugah akibat pengadeganan berlebihan dari Danial Rifki, walau untuk hal ini, naskahnya ikut bertanggung jawab karena terburu-buru ingin menjabarkan bahwa Talia adalah individu berperasaan. Sementara romansanya justru hambar, sewaktu kecanggungan serta perbedaan Talia dan Kiblat mengurangi quality time keduanya. Sulit memedulikan keberlangsungan percintaan mereka. Setidaknya, seperti biasa, Acha Septriassa masih aktris dengan penampilan dinamis yang mampu diandalkan guna menghembuskan nyawa di tiap adegan, entah di ranah serius (drama) atau komedik.

5 komentar :

Comment Page:
jordi mengatakan...

bang kaga nonton the king?

Galeh Pramudita Arianto mengatakan...

Ulas love is a bird richard oh dong bang

Anonim mengatakan...

Sudikah anda menjelaskan bagaimana maksudnya digarap oleh figur yg tidak "mabuk agama" itu???

Sebuah film yg digarap oleh sutradara muslim yg kemaren juga bikin film bertema GAY yg jelas2 dilarang di agamanya sendiri,apakah itu disebut sebagai figur yg tidak "mabok agama" dan menurut anda itu baik???

Rasyidharry mengatakan...

😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂

Anonim mengatakan...

@Anonim Bacot