CHARLIE'S ANGELS (2019)

16 komentar
Woman can do anything”, ucap Sabina Wilson (Kristen Stewart) membuka filmnya, seolah langsung menegaskan niat Elizabeth Banks, selaku sutradara sekaligus penulis naskah, membawa Charlie’s Angels dari eye candy pemuas fantasi lelaki di dua installment pertama (ini sekuel, bukan remake maupun reboot) menjadi sajian empowerment. Tapi dalam prosesnya justru membuat film ini tampil jauh lebih bodoh dari dua karya McG tersebut, yang notabene mengambil pendekatan campy cenderung mengarah ke parodi.

Kini Townsend Agency milik Charlie, si pria misterius yang hanya bisa didengar suaranya lewat interkom, telah melebarkan sayap merambah dunia internasional berkat inisiatif John Bosley (Patrick Stewart menggantikan Bill Murray). Beberapa cabang dibuka di berbagai belahan dunia yang dikelola oleh banyak Bosley. Ya, di sini “Bosley” bukan sebatas nama individu, pula sebuah jabatan.

Misi para Angel kali ini datang saat ilmuwan bernama Elena Houghlin (Naomi Scott), khawatir jika teknologi buatannya yang berfungsi menyediakan sumber energi, berpotensi disalahgunakan sebagai senjata berbahaya. Di bawah komando Susan (Elizabeth Banks) si mantan Angel yang sekarang merupakan salah satu Bosley, Sabina dan Jane Kano (Ella Balinska) harus terjun dalam petualangan yang diisi terlalu banyak pengkhianatan konyol serta rentetan aksi medioker.

Seperti telah saya sebutkan, dua film Charlie’s Angels pertama memang disengaja tampil campy, sehingga kekonyolan-kekonyolannya dapat dimaklumi, bahkan dinikmati. Tapi versi terbaru ini, biarpun tetap dibumbui banyak humor (yang tidak seberapa lucu), jelas ingin lebih serius. Karena itulah cara Elizabeth Banks membangun kisahnya seperti salah tempat. Pada film bertema spionase, kejutan beraroma pengkhianatan adalah elemen biasa. Banks menerapkan itu, namun dosisnya keterlaluan, Charlie’s Angels pun ibarat film kelas B yang menolak (atau tidak sadar?) dianggap demikian.

Ketika satu jenis twist diterapkan berulang kali, daya kejutnya berkurang. Charlie’s Angels membuat saya sampai di titik enggan memperhatikan alurnya lagi, juga malas memikirkan bagaimana hal “A” bisa menjadi “B”, atau kenapa seorang karakter yang tadinya bersikap “C” berubah jadi “D”. Naskah Banks seperti dibuat menggunakan prinsip warganet, yaitu “pokoknya nge-twist!”. Tidak peduli kejutan itu tidak masuk akal, mencurangi penonton, datang entah dari mana, atau bahkan merusak penokohan sebagaimana pernah dilakukan salah satu franchise spionase besar lain (can’t tell you which movie).

Dahulu, McG memakai teknik wire-fu sebagai cool factor bagi adegan aksi dua film Charlie’s Angels. Alih-alih muncul dengan metode keren lain yang lebih modern, Banks memutuskan tampil tanpa gaya, membungkus aksi secara apa adanya menggunakan quick cuts dan pergerakan kamera chaotic yang sukar dinikmati. Koreografi medioker bertempo terlampau lambat turut memperburuk keadaan. Mana mungkin misi empowering yang filmnya usung tersampaikan kalau sepak terjang para jagoannya gagal mencuri perhatian.

Satu-satunya penyelamat adalah penampilan trio Angels, walau sayangnya mereka tidak memperoleh materi yang layak. Ella Balinska paling meyakinkan sebagai Angel, bersenjatakan kemampuan bela diri terbaik dan gestur serta ekspresi natural dalam melakoni laga maupun baku tembak. Keliaran Stewart, kecanggungan menggelitik Scott, sama-sama menghibur. Tapi sulit menampik kesan bahwa mereka adalah dua mobil sport yang dikendarai bak city car. Semestinya Banks bisa memacu keduanya lebih kencang lagi, memberi materi yang lebih gila lagi.

Bicara soal empowerment, blunder terbesar Charlie’s Angels hadir jelang akhir kala mengubah mitologi panjang serinya atas nama kesetaraan. Bukan masalah andai filmnya berstatus reboot atau remake. Tapi sebagai suatu kelanjutan cerita, continuity error-nya memancing pertanyaan, “Apakah Elizabeth Banks belum menonton serial atau film-film sebelumnya? Atau dia memang tidak peduli?”.

16 komentar :

Comment Page:
koshkamira mengatakan...

Mau masak berbahan baku "woman can do anything"..
Bumbunya berkualitas, eh ga bs nguleg.. gpplah yg penting garem..
Tambah garem humor, eh rasanya kurang.. tambah garem lg seember..
Hmmm.. knp rasanya gni yak?
Gpplah.. yg penting kelihatan cantik..

agoesinema mengatakan...

Charlie's Angel yg pertama seru
Yg kedua ampas
Dan yang ini lihat trailernya aja bikin ragu.. makasih sdh menyelamatkan duit kami

adnanman mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
adnanman mengatakan...

Apa ini karena latar belakangnya elizabeth banks sbg sutradara emang lebih ke arah film2 yg kyk pitch perfect dan ini pembuktiannya ya ? Jadinya elizabeth banksnya nanggung bikin filmnya

aan mengatakan...

So kesalahan di skrip atau sutradara?atau keduanya?mungkin kl diserahkan ke patty jenkins bisa beda ya..haha.gw tetep mau nonton sih..tp krn faktor naomi nya...hahaha

Unknown mengatakan...

Yang bikin naskah Banks, tapi yang bikin ceritanya bukan dia bang. Tetap Banks juga yang salah?

Rasyidharry mengatakan...

Masalahnya Pitch Perfect 2 aja jadi lebih hambar tuh

Rasyidharry mengatakan...

Kayak udah disebut di atas, ya keduanya. Mungkin kalau Jenkins lebih mending sih

Rasyidharry mengatakan...

Kredit "story by" itu bukan berarti pemilik ide awal dan yang nentuin jalan cerita lengkap ya. Bisa banyak kemungkinan. Auburn & Spiliotopoulos dapet kredit itu kemungkinan karena nulis draft pertama. Setelah itu ditulis ulang & difinalisasi sama Banks. Artinya hasil akhir ya tanggung jawab penulis naskah. Apalagi status dia juga produser. Berarti semua emang keputusan dia

Crooked Face mengatakan...

Not a surprise

William mengatakan...

Mas ga review nomimasi ffi nih?

Rasyidharry mengatakan...

Nanti ada video bareng Cinecrib rencananya

Nas mengatakan...

Aku sih suka. Seru dan lucu. Mungkin bang Rashid trlalu menganggap serius film beginian.

Aku selalu suka film aksi yg mengedepankan wanita. Mantap dan enak liatnya. Minusnya fightnya belum seakrobat Black Widow.

Gak sabar dgn sekuelnya.

8/10

Rasyidharry mengatakan...

Nggak akan ada sekuel. Filmnya sama sekali nggak laku. Flop parah

Lusiana mengatakan...

Baru aja nonton semalem mas, dan emang berasa nanggung menurut saya. Lagian secara chemistry kayak kurang dapet aja mungkin karena yang versi 2000an lebih ke persahabatan kali ya. Credit lebih sih memang gue kasih ke Kristen Stewart ngeliat dia lebih nyaman dan bebas jadi dirinya disini. Kalau Naomi sih suka sama muka komedinya tapi ya gitu cuman jadi pemanis aja. Totally saya udah bener-bener bosen sama film yang isinya twist twist mulu, untungnya smalem gatau kenapa saya masih suka dan fun nonton ini. Dan soal Elizabeth Banks better doi main jadi cast aja dan urusan directing diserahin ke orang lain.

Unknown mengatakan...

Bagi seorang Mas Rasyid, film ini dianggap kurang..

Klo menurut gue, film ini udah termasuk bagus dan menghibur 🤭🤭🤭

Beda lah ya yang ngerti dan ahli teknik perfilm'an dibanding gue yang hanya hobi nuntun film 😂😂😂