FORD V FERRARI (2019)

11 komentar
Pernah menggarap western (3:10 to Yuma) dan film superhero bergaya western (Logan), wajar saat Ford v Ferrari garapan sutradara James Mangold memancarkan nuansa serupa. Mengedepankan dua protagonis dengan cowboy attitude (bahkan salah satunya mengenakan topi koboi), ini bak kisah koboi yang lebih modern, di mana alih-alih seekor kuda, mobil balap Ford GT40 jadi tunggangannya.

Ketika Henry Ford II (Tracy Letts) kebakaran jenggot akibat penjualan mobilnya menurun, Wakil Presiden Ford, Lee Iacocca (Jon Bernthal), mengusulkan pada sang CEO agar perusahaan mereka mengikuti jejak Ferrari berlomba di ajang “24 Hours of Le Mans”. Menurut Iacocca, keberhasilan pabrikan mobil milik Enzo Ferrari (Remo Girone) itu menyabet gelar juara secara beruntun membuatnya tampak superior hingga digandrungi publik.

Awalnya Ford berniat membeli Ferrari yang nyaris bangkrut, namun di “tikungan akhir”, Fiat menyalip mereka. Tersinggung oleh penolakan serta hinaan Enzo, Henry mengubah rencana. Ditunjuklah Carroll Shelby (Matt Damon) guna membuatkan Ford sebuah mobil balap yang lebih cepat dari Ferrari. Shelby, yang pernah menjuarai Le Mans 1959 sebelum pensiun akibat gangguan jantung, turut mengajak rekannya, Ken Miles (Christian Bale), pembalap bertalenta luar biasa yang kerap dicap buruk akibat perangai urakannya.

Shelby boleh membuka cerita, dan Matt Damon sendiri tampil solid tanpa perlu terkesan “showy” layaknya setir yang mengontrol laju filmnya, tapi mesin penggerak Ford v Ferrari adalah Miles. Di hadapan banyak orang, gestur, ekspresi, sampai cara bicara Bale menggambarkan betul bagaimana Miles memposisikan dirinya di atas lawan bicara. Apalagi kala mesti beradu melawan Leo Beebe (Josh Lucas), salah satu eksekutif Ford yang akan membuat penonton ingin melayangkan bogem mentah ke arah senyum kesombongan pihak korporat yang senantiasa ia pasang di wajahnya.

Sebaliknya, di ruang intim, baik di tengah kesendirian, di balik kemudi mobil, maupun di samping keluarganya, Miles adalah manusia biasa, yang berperasaan dan kerap menunjukkan kerapuhan. Dinamika keluarga Miles justru merupakan roh filmnya. Caitriona Balfe memerankan Mollie, istri Miles yang suportif namun tak pasif, dan berani bersuara kala sang suami melakukan kesalahan. Sedangkan Noah Jupe adalah Peter, putera Miles yang amat mengagumi sang ayah.

Naskah buatan kakak beradik Jez Butterworth dan John-Henry Butterworth (Edge of Tomorrow, Get on Up) bersama Jason Keller (Mirror Mirror, Escape Plan) paham betul bahwa drama olahraga terbaik selalu soal sisi personal pelakunya. Alhasil, momen emosional Ford v Ferrari selalu soal keluarga Miles. Ketika mobil Miles meledak di sesi latihan, kita diajak merasakan teror mencekam seorang anak yang menyaksikan ayahnya mendekati maut. Pun bukan diskusi teknis yang dipakai untuk menjabarkan luar biasa panjang, lama, nan menantangnya “24 Hours of Le Mans”, melainkan obrolan hati ke hati Miles dan Peter.

Di lintasan balap, giliran James Mangold unjuk gigi. Semua balapan digarap maksimal, tidak ada yang sekadar numpang lewat. Dari perlombaan Daytona sampai Le Mans punya ketegangan sekaligus euforia masing-masing. Dibantu sinematografer langganannya, Phedon Papamichael, ditambah penyuntingan cekatan, Mangold membangun intensitas melalui penempatan kamera yang mencakup seluruh sisi. Kita tahu kondisi di dalam mobil termasuk ekspresi Miles, sudut-sudut lintasan, pula bagaimana mobil melaju di sana. Selaku latar, musik gubahan Marco Beltrami (The Hurt Locker, A Quiet Place) memadukan beragam bentuk, dari sentuhan jazz (Ferrari Factory, Photos to Fiat) hingga rock pemacu adrenalin (Le Mans 66, Willow Sprints).

Seru, menegangkan, dan emosional, Ford v Ferrari bukan tentang kedigdayaan dua pabrikan mobil tersebut. Bahkan hingga akhir, filmnya tetap konsisten melontarkan kritik terhadap pihak korporat yang melakukan segala cara demi keuntungan sendiri. Sekali lagi, drama olahraga terbaik selalu bicara seputar sisi personal pelakunya, dan Ford v Ferrari berhasil melakukan itu, menyoroti perjuangan dua koboi lintasan balap, menjadikannya salah satu yang terbaik dalam beberapa waktu terakhir.

11 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Sama "RUSH" bagusan mana mas?

rahmadamazing mengatakan...

Dua setengah jam nonton drama gini bakal bosen kagak ya?

Anonim mengatakan...

Bosen/kga itu tergantung pribadi(selera) lu. Mnurut gw ini salah 1 flm spectacular 2019& wajib di tonton, ketimbang flm2 superhero(bosen liet ny) ge lebih suka flm2 berbau biopik,bioghraphy, western dll :v

Reza mengatakan...

Saya sudah nonton, filmnya bagus kok.. worth it..
kalo di banding Rush menurut saya masih bagusan Rush tipis.

Anonim mengatakan...

Christian Bale vs Joaquin Phoenix for best actor

Kol Medan mengatakan...

7000 RPM/10

oktabor mengatakan...

Ini film okepunya. Istri saya yang bukan moviegoers aja sampe ikut deg2an pas scene balapan dan ikut nangis saat................(ada dehhh..hehe)

Sebagai seorang ayah dengan satu anak lakilaki, saya suka banget relasi peter dan miles. Betapa bahagianya punya anak yang mengagumi sosok ayahnya sampe segitunya.

Akting si Hnery Ford II juga ga kalah kece lho..lihat gestur dan ekpresi boss yang beliau tunjukkan, maka kita bisa amat sangat respek sama beliau. Lihat perubahan ekspresi beliau saat terima info soal enzo, maka kita akan sangat bisa memahami ego seorang manusia. Lihat akting beliau saat merasakan "mobil jet", maka kita akan bisa tahu bahwa dia hanya seorang anak yang punya beban nama keluarga sekaligus bangga dengan apa yang bisa dia "buat" saat ini.

Christian bale lagi lagi jadi bunglon di film ini. hehe

Si mollie cakep bener siiihhh

Katilayu Pandan mengatakan...

Thanks for share min,.

Pengamat burung mengatakan...

Salah satu film terbaik tahun ini.
Bahkan film ini bisa menyentuh untuk orang yang sama sekali tidak tertarik otomotif seperti saya,,
Sampai ambyar nonton ini saking "touching"-nya.

Unknown mengatakan...

Habis nonton film ini lebih pengen Bale yang dapat oscar ketimbang Phoenix

Febi mengatakan...

Sama sekali gak bosen... Malah gak brasa kalo udah 2,5 jam