MIDWAY (2019)

6 komentar
Didedikasikan untuk prajurit Amerika Serikat dan Jepang yang terlibat Pertempuran Midway, film ini punya niat baik, ingin mengangkat perspektif yang adil tanpa menyudutkan pihak mana pun (baca: Jepang). Tidak ada nasionalisme buta, tidak ada kibaran The Stars and Stripes tiap beberapa menit sekali (I’m looking at you Michael Bay), minim antagonisasi, sementara beberapa prajurit berperang karena “tuntutan pekerjaan”, beberapa lainnya didorong hasrat balas dendam. Seharusnya Midway bisa jadi alternatif blockbuster bertema Perang Dunia II.

Tapi ini adalah karya Roland Emmerich, yang beberapa tahun belakangan, lewat Anonymous (2011) dan Stonewall (2015), ingin keluar dari zona nyaman namun berujung kegagalan. Ditulis naskahnya oleh Wes Tooke, seperti judulnya, Midway ibarat usaha Emmerich mengambil jalan tengah dengan tetap menampilkan kehancuran masif bombastis andalannya sembari menguatkan cerita. Poin kedua sayangnya kurang berhasil.

Tokoh sentralnya adalah Letnan Dick Best (Ed Skrein), pilot angkatan laut Amerika Serikat yang dikenal lewat kenekatannya. Dick pun jadi salah satu ujung tombak serangan balik Amerika pasca Jepang membombardir Pearl Harbor, yang turut menewaskan sahabat Dick. Tapi ini bukan kisah Dick seorang. Sepanjang 138 menit durasi, Midway hendak memaparkan peperangan dari beragam sisi. Ada Edwin T. Layton (Patrick Wilson) selaku inteligen pengumpul informasi rahasia Jepang yang bertugas di bawah komando Admiral Chester Nimitz (Woody Harrelson), juga Letnan Kolonel Jimmy Doolittle (Aaron Eckhart) yang memimpin serbuan ke Tokyo (disebut “Serbuan Doolittle”).

Belum lagi membahas nama-nama yang sempat diberi spotlight singkat seperti para prajurit dalam kapal selam atau Bruno Gaido (Nick Jonas) lewat aksi heroiknya menembak jatuh pesawat musuh seorang diri. Jonas merupakan aktor bertalenta. Bukan saja karena mendapat salah satu momen paling badass, keberhasilannya menghidupkan sisi carefree Bruno yang tak takut menantang maut membuat saya berharap karakternya diberi porsi lebih.

Sementara di kubu Jepang, Admiral Isoroku Yamamoto (Etsushi Toyokawa), Rear Admiral Tamon Yamaguchi (Tadanobu Asano), dan Vice Admiral Chuichi Nagumo (Jun Kunimura) diberi porsi lebih. Tapi apakah itu cukup sebagai jalan menyimbangkan sudut pandang? Sayangnya tidak. Mampu menggambarkan prajurit Jepang bukan sebagai pembunuh berdarah dingin, itu betul. Pun filmnya menjadikan tingginya harga diri tentara Jepang untuk melandasi sebuah momen sentimentil yang (diharapkan) menyentuh hati. Tapi itu saja tidak cukup. Berbeda dengan lawannya dari Amerika, kita urung diajak mengunjungi ruang intim prajurit-prajurit Jepang. Mereka masih figur-figur tak bernyawa yang selalu sibuk mengatur strategi. Artinya, Midway gagal menyeimbangkan perspektif.

Mungkin beberapa pembaca ingat bahwa saya bukan penggemar Dunkirk-nya Nolan. Tapi bagaimana naskahnya menata cerita dari beragam sudut pandang supaya seimbang patut dipuji. Emmerich dan Tooke mestinya bisa mengambil contoh soal cara membagi fokus. Metode yang Midway pakai bak sekadar asal menyelipkan, membiarkan tercipta distraksi akibat banyaknya karakter datang dan pergi, termasuk yang substansinya pantas dipertanyakan. Misalnya kehadiran sutradara John Ford (Geoffrey Blake) yang terjebak di baku tembak kala mengambil gambar untuk dokumenter pendek The Battle of Midway (1942). Ford tidak memberi dampak pada sentral cerita sekaligus bakal membingungkan bagi penonton yang asing terhadapnya.

Ketika ceritanya setengah matang, bagaimana Emmerich menyusun peperangan (mayoritas berupa pertempuran udara) justru mengundang decak kagum. Bermodalkan $100 juta, yang menjadikannya salah satu film indie termahal (Emmerich sempat kesulitan mencari dana), tercipta tiga set pieces besar: Serangan ke Pearl Harbor, Serbuan Doolittle, dan tentunya Pertempuran Midway. Di Pearl Harbor, Emmerich menyajikan horor di tengah lautan api, yang tambah mencekam saat adegan sesaat berpindah memperlihatkan seorang bocah yang menyaksikan pertempuran (baca: pembantaian) tersebut dari kejauhan. Sejenak saya merasakan teror yang dialami “orang luar”.

Sedangkan pada Pertempuran Midway selaku puncak, Emmerich mengajak kita memasuki kokpit para dive bomber, khususnya Dick Best, yang berani menukik jauh lebih rendah ke arah target dibanding rekan-rekannya. Serupa pengalaman menaiki roller coaster—hanya saja kali ini dibarengi ledakan dan kepulan asap—Emmerich mampu membuat penontonnya menahan napas, merasakan bagaimana mencekamnya aksi para pilot bertaruh nyawa menghindari hujan peluru, terjun mendekati target sedekat mungkin, dan mesti pintar mengatur timing kapan harus meluncurkan bom untuk kemudian kembali lepas landas di detik-detik terakhir, berharap tidak turut jadi korban ledakan yang ia ciptakan.

Ada paralel antara perjalanan karakternya dengan Emmerich sendiri. Dari seorang pilot sombong, Dick Best tertekan kala ditunjuk memimpin skuadron, dan berhasrat menebus “dosa” karena beberapa anak buahnya tewas. Demikian pula Layton, yang bekerja tanpa henti sampai jarang meluangkan waktu bersama istri akibat dihantui rasa bersalah “membiarkan” Jepang meledakkan Pearl Harbor. Melalui Midway, mungkin Roland Emmerich ingin menebus kegemarannya bertahan di zona nyaman membuat tontonan-tontonan brainless bombastis. Untuk itu, ia belum berhasil. Dan rasanya Emmerich perlu berhenti menebusnya. Pertama, karena hal tersebut bukan kekeliruan, dan kedua, sebagaimana ia buktikan (lagi) di sekuen peperangan film ini, Emmerich adalah ahli di bidang tersebut.

6 komentar :

Comment Page:
setiadi mengatakan...

kalo di bandingin dengan pearl harbour bagaimana bang?

Cesar mengatakan...

Keluar dari zona nyaman? Maksudnya karena Emmerich spesialis film2 disaster ya Bang?

Unknown mengatakan...

Bang Rasyid,

Maaf, diriku kok ngantuk yak nuntun film ini 🤣🤣🤣

Ntr malem midnight Ratu Ilmu Hitam, bakal ngantuk nggk ya, wkwkwkwk..

Rasyidharry mengatakan...

Bagusan ini, nggak pakai romansa sinetron yang dipaksa masuk dan kebanyakan

Rasyidharry mengatakan...

Kayak Bay, Emmerich biasanya kurang peduli cerita. Di sini dia sama penulisnya ambil pendekatan yang jarang dipakai film perang mainstream biarpun nggak berhasil juga. Dan di sini dia balik lagi ke jalur indie

Anonim mengatakan...

Oot nih. Kira2 knives out bakal tayang di bioskop indo ga ya? Kalo iya kira2 tgl brp bang?