JERITAN MALAM (2019)

14 komentar
Megah dan dramatis. Sepertinya Soraya Intercine Films ingin kesan tersebut lekat dengan mereka, sekalipun di film horror, yang biasanya identik dengan kesederhanaan (baca: murah). Contohnya adalah Suzzanna: Bernapas dalam Kubur tahun lalu. Mengadaptasi cerita karya meta.morfosis yang sempat ramai dibicarakan warganet dan konon berasal dari kisah nyata, Jeritan Malam mengambil jalur serupa. Berambisi tampil dramatis, menit-menit awalnya bahkan bak tersusun atas cuplikan opera sabun yang berlangsung terlalu panjang.

Ketimbang langsung menghadapi teror, kita lebih dulu disuguhi perjuangan karakter utamanya, Reza (Herjunot Ali), yang setia menarasikan kisahnya bahkan di titik-titik yang tak perlu lagi dijelaskan (naskahnya terlalu literal dalam menerapkan cara bertutur materi aslinya), dalam perjuangannya mencari kerja. Setelah ditolak belasan kali, akhirnya ia diterima bekerja di Jawa Timur. Masalahnya, itu berarti Reza mesti meninggalkan Bogor beserta kedua orang tua, juga kekasihnya, Wulan (Cinta Laura Kiehl). Jelang keberangkatan Reza, filmnya didominasi perpisahan mengharu biru, yang entah berapa kali memperdengarkan kalimat cringey, “Aku bakal kangen luar biasa”.

Kalau anda penasaran mengapa durasi Jeritan Malam bisa mendekati dua jam (119 menit), di situlah jawabannya. Naskah buatan Ferry Lesmana (Danur, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur) dan Donny Dhirgantoro (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Antologi Rasa) gemar menyelipkan drama berlarut-larut yang hanya membengkakkan film ketimbang mencuri hati, akibat paparan dangkal yang hanya bersenjatakan kalimat (sok) romantic, yang di realita, mungkin cuma bakal jadi status Facebook remaja pengidap cinta monyet.

Sebelum berangkat, oleh sang ayah (Roy Marten), Reza dibawakan sebuah kujang sebagai alat pelindung. Berkebalikan dengan ayahnya, Reza bersikap skeptis terhadap hal gaib. Ditambah peristiwa tragis masa kecilnya, ketidakpercayaan Reza berkembang jadi kebencian. Bahkan ketika dua teman kantornya, Indra (Winky Wiryawan) dan Minto (Indra Brasco) menceritakan fakta horor terkait mess yang ketiganya tempati, Reza menolak percaya. Bukan saja enggan percaya, Reza cenderung meremehkan, menendang sesajen, lalu menantang para “penghuni mess”.

Jeritan Malam memang didesain supaya penonton berharap si protagonis tertimpa hukuman atas kesombongannya. Alhasil, bila mengandalkan Reza semata, alurnya takkan menyenangkan diikuti. Karena itulah filmnya mengambil bentuk crowd pleasure, di mana serupa Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, humor turut diterapkan lewat kekonyolan dua teman Reza, khususnya Minto, dalam menghadapi kengerian di mess. Jelas bukan komedi cerdas, namun memadai sebagai penambah daya hibur.

Begitu teror dimulai, gerak alur Jeritan Malam sebenarnya sempat repetitif, kala berkali-kali kita disajikan adegan Reza terbangun di tengah malam, minum, sebelum akhirnya diganggu sosok tak kasat mata. Beruntung pengulangan itu tak berlangsung seterusnya, sebab semakin kisahnya bergulir, varian peristiwanya cukup kaya, dari “perjalanan sukma” Reza hingga ritual misterius yang jadi penyebab rentetan tragedi pada babak ketiga.

Jump scare tidak dikesploitasi, biarpun efektivitas kemunculan hantunya tergolong inkonsisten. Misalnya, setelah penampakan sesosok nenek di atas pohon yang punya tata rias lumayan baik, intensitas langsung dirusak oleh serbuan pasukan tuyul dengan kualitas CGI menyedihkan. Tapi satu hal yang cukup menarik adalah bagaimana Rocky, dibantu sinematografi garapan Muhammad Firdaus (My Stupid Boss, Ikut Aku ke Neraka), di beberapa kesempatan, sukses membangun atmosfer bersenjatakan sudut pandang orang pertama. Saya pernah terlibat menggarap acara penelusuran mistis, dan menonton Jeritan Malam rasanya seperti dibawa kembali ke suasana itu, kala menyusuri lokasi-lokasi gelap nan menyesakkan, yang memancing kecemasan karena dari balik kegelapan itu, seolah ada figur menyeramkan tengah mengintai.

Seperti telah disebut sebelumnya, horor satu ini ingin betul terlihat (lebih) mahal, dan itu nampak dari penataan set dan properti, color grading khas Soraya yang memakai kontras rendah, juga musik garapan Andhika Triyadi (Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, Dua Garis Biru) yang mengandalkan suara biola menyayat ala horor/thriller klasik. Di antara semua itu, justru akting Herjunot Ali yang nampak paling murah, sebab lagi-lagi ia masih bermasalah dalam mengekspresikan emosi melalui mimik wajah “besar” yang selalu berlawanan dengan definisi “natural”.

Kecintaan Rocky terhadap gore, yang secara mengejutkan kuantitasnya tidak seberapa, menguatkan kesan tragis dari salah satu kematian karakternya. Andai filmnya ditutup tak lama setelah itu. Sayangnya tidak. Jeritan Malam justru menambahkan epilog dramatik cenderung menggurui yang merusak bangunan intensitasnya. Sesungguhnya epilog ini bisa menambah kengerian (menegaskan bahwa iblis yang karakternya hadapi teramat licik dan kejam) sekaligus memantapkan status filmnya sebagai tragedi (sejalan dengan image dramatis Soraya yang saya singgung), jika narasi terkait sebuah ritualnya dikemas lebih rapi dan jelas.

14 komentar :

Comment Page:
Jackman mengatakan...

Kalau saya sih suka sama film ini
Kemegahan khas Soraya
Boleh dibilang ini film Rocky Soraya favorit saya selain Suzzana
Karena saya ga suka sama karya2 beliau sebelumnya di Hitmaker
Dan film horor ini terasa beda dengan film horor yang pernah saya tonton sebelumnya
Narasi panjang ala2 film romantis Tenggelamnya Kaval van der wijk

Walau ada bagian yang saya kurang paham
Dan sempet bikin ngantuk ditengah2
Tapi overall oke lah filmnya
Horor yang beda dan berkesan

jarQyu mengatakan...

Bang, bagaimana caranya menjadi Review film..apa boleh mulai dari LK21 dulu? Atau langsung otw bioskop? Apa harus menjadi objektif? berpikir kritis?

Rasyidharry mengatakan...

Pokoknya banyakin nonton, baca & nulis. Soal nonton di mana, selama akses ke platform legal (bioskop & legal streaming service) ada ya di yang legal.
Satu-satunya objektivitas yang murni di review film itu "Review nggak dipengaruhi hal-hal di luar film, misal mau pansos, film temen sendiri, jadi buzzer)

Seno Ardiansyah mengatakan...

Setiap ada yg review film bioskop, jatuhnya suka malah jadi penasaran pengen nonton, sayang kalau dilewatkan, ya meski ada sedikit spoiler....

Mahendrata Iragan Kusumawijaya mengatakan...

Kujang ga disita ama petugas bandara?

Rasyidharry mengatakan...

Spoiler?

Rasyidharry mengatakan...

Naik kereta dia

Anonim mengatakan...

Bang nggak ngereview triple frontier ama the light house? Ditunggu reviewnya ya bang

Dana Saidana mengatakan...

Sebenarnya ritual apa sih yang dilakukan oleh Reza Bang. Kok saya gak ngerti?
Sampai harus mengorbankan tiga nyawa itu kenapa.
Kalo untuk tumbal, bukannya orangnya yang milih sendiri siapa tumbalnya? Lha ini mahluk gaibnya yang suka2 milih korban.
Terus hasil dari ritual yang katanya kena tipu itu apa?
Apakah Reza ditipu ikut pesugihan jadi kaya? Pelihara tuyul? atau ilmu pelet Bang :-D

Oh iya satu lagi, jadi dukun yang di hutan itu manusia atau bukan Bang? Kok bisa bikin orang tersesat atau linglung di hutan.

Unknown mengatakan...

Mas Rasyid,

Setelah baca review'an ini, ane bakal nuntun nih Jeritan Malem, kayanya seru, wkwkkwkwk..

Pertanyaan'nya:
Mimik wajah "besar" maksudnya apa yak?

Maturnuwun..

Anonim mengatakan...

U bukannya pansos di cinecrib ��️��️

Anonim mengatakan...

Lho, baca review dari awal, kok mirip bgt sama salah satu cerita horor di kaskus yaa...
Hmmm...

Rasyidharry mengatakan...

Emang adaptasi

Unknown mengatakan...

Setidaknya, menurut saya, ini adaptasi yang lumayan oke.,kalau dibandingkan dengan adaptasi Keluarga Tak Kasat Mata yang..yah gt lah ya..