REMBULAN TENGGELAM DI WAJAHMU (2019)

6 komentar
Rembulan Tenggelam di Wajahmu, selaku adaptasi novel berjudul sama karya Tere Liye, adalah film yang terluka akibat kurang berhasilnya (tidak pantas disebut gagal) naskah dalam merangkum cerita dengan cakupan bentuk dan waktu yang luas. Sepanjang 90 menit durasi, berkali-kali penonton disuguhi konflik-konflik dengan potensi tinggi melahirkan perenungan-perenungan sarat makna tentang hidup, yang pengolahannya kurang matang, sebelum ditutup oleh cliffhanger dadakan, yang memberitahu bila proses yang kita lalui berakhir separuh jalan, alias ada Rembulan Tenggelam di Wajahmu Part 2.

Saya bukan termasuk kaum penentang metode tersebut. Potensi finansialnya memang menggiurkan, pun bisa dipakai mengakali kisah yang dirasa terlalu panjang untuk dijadikan satu film, sementara memangkasnya berisiko melemahkan kualitas. Masalahnya, Rembulan Tenggelam di Wajahmu tidak memanfaatkan itu, dengan tetap terkesan memencet tombol fast forward. Ini kisah tentang Ray (Arifin Putra) yang terbaring sekarat di rumah sakit, kemudian dikunjungi sosok misterius, atau dipanggil “pria berwajah teduh” (Cornelio Sunny), yang mengajaknya mengunjungi babak-babak penting di masa lalunya, dengan tujuan menjawab lima pertanyaan Ray terkait kehidupan.

Sinopsis resminya mendeskripsikan Ray sebagai pria berusia 60 tahun. Walau mengenakan riasan guna menambah kerut wajah serta uban, Arifin, dengan postur tegapnya, masih tampak jauh lebih muda. Setidaknya pemilihan Bio One sebagai Ray muda patut dipuji. Mereka punya kemiripan, dan Bio tidak mengecewakan sebagai remaja bermasalah. Ya, sebelum Ray menjadi pemilik perusahaan sukses, masa mudanya tidak berlangsung mulus. Dia dikenal sebagai biang onar dan mesti berpindah dari satu rumah ke rumah lain, bahkan terlibat kriminalitas.

Dari lima pertanyaan Ray, film ini menelusuri dua di antaranya, yang berarti, kita diajak mengunjungi dua babak dalam hidup sang protagonist. Pertama di panti asuhan tempat ia kerap jadi korban kekerasan oleh bapak pengurus panti (Egi Fedly), kedua di rumah penampungan bernama “Rumah Kita” yang dikelola Bang Ape (Ariyo Wahab), di mana Ray menjalin persahabatan dengan anak-anak lain.

Kedua pertanyaan Ray bersifat filosofis, menyentuh perenungan mengenai eksistensi manusia, yang berarti, tidak bisa dijawab ala kadarnya. Sayangnya, demikianlah naskah buatan Titien Wattimena (Minggu Pagi di Victoria Park, Aruna & Lidahnya, Ambu) bergulir. “Rumah Kita” misalnya, yang disebut jadi tempat Ray belajar banyak hal tak ternilai, namun kesan “tak ternilai” itu urung terasa akibat paparan yang sebatas menyentuh permukaan. Persahabatan dengan Natan (Teuku Rizky) si remaja bersuara emas dan Ilham (Ari Irham) si pelukis yang konon begitu kuat hingga mendorong Ray melakukan tindakan nekat, tidak pernah meyakinkan. Film ini juga urung lepas dari sederet hal yang membuat kita mengernyitkan dahi (Mana mungkin polisi tak mendengar suara tembakan? Dan sebagainya).

Padahal alurnya, dengan beberapa kejutan yang meski dipenuhi kebetulan masih bisa diterima mengingat kisahnya sendiri membahas misteri takdir, mampu membangun rasa penasaran terhadap apa yang terjadi berikutnya, termasuk jawaban apa yang akan diperlihatkan si Pria berwajah teduh pada Ray. Bahkan, walau keseluruhan filmnya agak mengecewakan, saya tetap tertarik menantikan babak berikutnya yang menyoroti romansa Ray (Arifin Putra dengan berewok aneh) dan Fitri (Anya Geraldine).

Selain naskah kurang mendalam, pengadeganan Danial Rifki (Haji Backpacker, 99 Nama Cinta) turut berkontribusi terhadap lemahnya dampak emosi yang dimunculkan, tatkala sang sutradara masih belum mumpuni menerjemahkan momen-momen saat Ray menyadari nilai-nilai hidup jadi suatu peristiwa menggetarkan. Pun penggarapan adegan aksinya kerap canggung, meski dalam hal ini, penempatan dan pergerakan kamera tak dinamis dari sinematografer Gunung Nusa Pelita (Bukan Cinta Biasa, Preman Pensiun) ikut bertanggung jawab. Padahal Bio One, dan tentunya Donny Alamsyah sebagai Bang Plee yang sempat menampung Ray, memiliki kapasitas menghidupkan baku hantam.

Membahas gagasan-gagasan “tinggi”, wajar ketika Rembulan Tenggelam di Wajahmu ingin tampil megah. Tata artistik tidak murahan, walau beberapa CGI tampak kasar, ditambah musik orkestra gubahan Ricky Lionardi (trilogi Danur) cukup berhasil memenuhi target tersebut. Semestinya Rembulan Tenggelam di Wajahmu bisa lebih dari itu dan menyentuh kemegahan dalam wujud lain, yaitu “rasa”.

6 komentar :

Comment Page:
iqbalkurniaone mengatakan...

Kok review knive's out ilang ya bang? Atau gue yang ngga nemu?

Redo anggara mengatakan...

Novel nya sendiri 400 halaman bang,,, seharus nya di jadikan satu film saja meski durasi yg panjang biar gak kehilangan inti ceritanya. novel nya saya suka sekali tapi melihat filmnya di garap oleh sutradara yg jejak filmnya blm ada yg bagus membuat saya ragu,,,,

Redo anggara mengatakan...

Dan film ni kalau di tangani dgn baik bakal bagus sekali,, membuat perendungan dan hati teriris karena ada plot twist nya juga.

Ulik mengatakan...

Film yg potensinya sangat bagus, mana ada film yg bakal mempunyai 5 plot twist

Rasyidharry mengatakan...

Ada kok, tapi emang udah lama

Rasyidharry mengatakan...

Filmografi Danial Rifki nggak jelek kok. 99 Nama Cinta oke, Haji Backpacker & Melbourne Rewind juga nggak jelek. Cuma di semua filmnya,selaku ketolong skrip, tapi directing lemah