ANAK GARUDA (2020)

Tidak ada komentar
Anak Garuda merupakan satu lagi film mengenai sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) setelah Say I Love You bulan Juli tahun lalu. Menariknya, meski seluruh pemerannya berbeda, kursi penyutradaraan sama-sama diduduki oleh Faozan Rizal, naskahnya tetap ditulis Alim Sudio, sementara Verdi Solaiman beralih peran dari aktor ke produser. Ceritanya sendiri mengambil timeline selepas “pendahulunya” tersebut, sehingga wajar bila anda mengira film ini adalah sekuel. Tapi tidak. Keduanya tanpa kaitan, walau kualitasnya tidak jauh beda.

Sheren (Rania Putrisari), Olfa (Clairine Clay), Wayan (Geraldy Kreckhoff), Dilla (Rebecca Klopper), Sayyida (Tissa Biani), Yohana (Violla Georgie), dan Robet (Ajil Ditto) adalah ketujuh tim SPI yang kini sudah lulus dan menjalankan pusat pembelajaran serta rekreasi Kampoeng Kidz. Walau sudah menjalankan bisnis sendiri, sesungguhnya mereka masih belum lepas dari ketergantungan pada sang mentor sekaligus pendiri SPI, Koh Jul (Kiki Narendra). Alhasil begitu Koh Jul pergi untuk sementara waktu, perpecahan mulai terjadi di antara ketujuh muda mudi ini.

Akibat naskah yang lalai menjembatani momen demi momen ditambah penyuntingan buruk, Anak Garuda tampil bak sketsa yang dijahit paksa, di mana tiap sketsa memperlihatkan bagaimana Rocky (Krisjiana Baharudin) si volunteer baru seolah berusaha mengadu domba anak-anak SPI. Rasanya seperti menonton kompilasi episode sebuah serial pendek berjudul “Kenakalan Rocky”. Mungkin Alim Sudio ingin memperlihatkan secara lengkap apa saja aksi Rocky, tapi ujungnya sebatas menghasilkan checklist permasalahan.

Pun bicara soal Rocky, saat akhirnya alasan di balik perbuatannya diungkap, yang muncul justru ketidaksinkronan alih-alih jawaban. Di sini saya membicarakan aspek psikis karakter, yang mestinya menjelaskan bagaimana faktor “A” menyulut tindakan “B, C, D” dan seterusnya. Hal itu tidak dilakukan, atau tepatnya, tidak dilakukan secara layak. Seolah penulis beranggapan jika masalah masa lalu atau luka hati seseorang bisa jadi alasan untuk membuatnya melakukan keburukan apa pun. Padahal tidak sesederhana dan seacak itu.

Setidaknya di tengah-tengah “invasi Rocky”, Anak Garuda masih menyenangkan diikuti berkat akting solid beberapa pemain utama yang konsisten menyuntikkan energi bagi jalannya cerita. Memerankan Olfa yang menyimpan kepedulian tinggi terhadap salah satu murid SPI yang mentalnya terganggu akibat trauma, Clairine bisa memberikan tatapan penuh kepedulian serta memanfaatkan kesempatan kala dituntut mengolah emosi lebih lanjut. Tissa seperti biasa, selalu memberikan warna dan tak terjebak monotonitas dalam menangani situasi apa saja, bahkan yang sederhana sekalipun. Malah Kiki Narendra selaku penampil paling senior di sini yang agak mengganggu. Mau tidak mau perbandingan sulit dihindari. Ketika Verdi Solaiman begitu natural membawakan sosok Koh Jul yang selalu berapi-api melontarkan kalimat-kalimat inspiratif, Koh Jul versi Kiki bagaikan karikatur.

Melewati pertengahan durasi, Anak Garuda mengembangkan cakupan kisahnya ketika ketujuh tim SPI berkesempatan melakukan perjalanan ke Eropa. Sayangnya, perjalanan yang telah mereka cita-citakan sejak lama ini terganggu oleh masalah interpersonal yang belum juga usai. Benarkah? Sebab sering muncul inkonsistensi berulang terkait persoalan itu. Di satu titik mereka tertawa bersama, kemudian bertengkar, lalu bertingkah seolah tidak ada masalah, sebelum akhirnya mendadak perpecahan mencapai puncak.

Perjalanan ke Eropa dimaksudkan sebagai puncak tantangan sekaligus emosi filmnya. Seperti kebanyakan road trip, harapan para pembuatnya, ada makna yang tersimpan dan bukan sekadar jalan-jalan biasa. Harapan itu gagal terwujud akibat inkonsistensi tadi. Pun sepertinya Rizky Mocil terlalu total memerankan Roy si pemandu menyebalkan sehingga perjalanan ini juga tak terasa nyaman untuk diikuti.

Tentu semua akhirnya bakal berakhir bahagia, karakternya akan berbaikan sementara Koh Jul mengungkapkan kebanggaannya. Koh Jul menyebut bahwa di matanya, anak-anak didiknya itu merupakan keajaiban. Kenapa? Atas dasar apa? Karena mereka bermalam di jalanan Paris sambil menunggu Menara Eiffel buka? Karena mereka terus bertengkar dan saling menyalahkan bahkan setelah Koh Jul berkali-kali memberi petuah? Saya tidak menemukan keajaiban apa pun.

Tidak ada komentar :

Comment Page: