IP MAN 4: THE FINALE (2019)

3 komentar
Sejak film perdananya pada 2008 lalu hingga Ip Man 4: The Finale selaku penutup, Ip Man (Donnie Yen) bak manusia sempurna. Tidak terkalahkan dalam pertarungan, berhati mulia, sosoknya pun mendekati deus ex machina yang kehadirannya bagai jaminan terselesaikannya masalah apa saja. Tapi dalam film seri garapan Wilson Yip ini, elemen yang biasanya dianggap kekurangan tersebut malah disulap jadi keunggulan. Ip Man adalah jagoan yang mampu membuat penonton berdiri di belakangnya, sebab perjuangannya selalu didasari kepedulian, baik kepada orang-orang terdekat yang ia cintai maupun para korban ketidakadilan.

Semenjak kematian sang istri yang selalu jadi alasan perjuangannya, Ip Man didiagnosis menderita kanker tenggorokan. Di tengah keterbatasan waktunya, Ip masih harus mengurusi putera keduanya, Ip Ching (Ye He), yang memberontak, dikeluarkan dari sekolah, dan melawan segala perintah sang ayah. Dia menolak bersekolah, ingin total menekuni martial arts. Ip Man menentang itu, lalu memilih mencarikan sekolah baru di San Francisco, Amerika Serikat, dengan bantuan Bruce Lee (Danny Chan), muridnya yang mempopulerkan Wing Chun di sana.

Sejak menampilkan Mike Tyson di Ip Man 3, kita tahu seri ini sudah semakin gamblang menanggalkan sampul biografi untuk berkonsentrasi menyajikan laga-laga bela diri segila mungkin. Pola itu dilanjutkan, di mana film keempatnya bahkan berani menyentuh ranah fan service guna memuaskan ekspektasi penonton, dengan memberi porsi lebih besar kepada Bruce Lee. Danny Chan mampu mereproduksi berbagai ciri sang legenda, mulai dari arogansi, teriakan khas, hingga gestur sewaktu beradu jurus, termasuk one inch punch yang terlihat meyakinkan.

Ditulis naskahnya oleh empat nama, termasuk Edmond Wong dan Tai-lee Chan yang terlibat sejak film perdana, Ip Man 4: The Finale sejatinya memiliki alur sarat simplifikasi, bahkan cenderung konyol yang mengingatkan akan film-film kelas b. Agar puteranya bisa bersekolah di San Francisco, Ip mesti mendapat surat rekomendasi dari ketua Chinese Consolidated Benevolent Association (CCBA), Wan Zong Hua (Wu Yue). Wan bersedia, dengan syarat Ip bisa membuat Bruce menutup sekolah Wing Chun yang ia dirikan. Menurut Wan dan anggota CCBA lain, tidak seharusnya Bruce mengajarkan seni bela diri Cina kepada orang Amerika yang telah berlaku rasis terhadap mereka.

Menyusul berikutnya adalah rangkaian konflik yang melibatkan masalah puteri Wan, Yonah (Vanda Margraf), di sekolah, yang memicu perseteruan CCBA dengan pihak imigrasi, sampai usaha Hartman Wu (Vanness Wu), anggota marinir sekaligus murid Bruce Lee, menerapkan Wing Chun sebagai kurikulum pelatihan yang memancing perselisihan dengan Barton Geddes (Scott Adkins), atasannya yang rasis.

Seluruh elemen di atas nantinya saling bersinggungan secara begitu menggelikan. Fokus naskahnya cuma mempertemukan satu petarung dengan petarung lain, melupakan benih masalah rumit seputar rasisme yang ditabur di awal. Masyarakat Amerika memang merendahkan masyarakat Cina, namun bukankah sakit hati Wan dan kawan-kawan berujung melahirkan sikap serupa, termasuk saat melarang Bruce mengajarkan Wing Chun? Tiada resolusi pasti atas hal ini, meski Ip Man 4: The Finale jelas menggambarkan masyarakat Cina lebih terhormat ketimbang Amerika.

Di satu titik, tangan kiri Ip mengalami cedera. Mengetahui itu, di tengah pertarungan keduanya, Wan memilih hanya memakai satu tangan. Sebaliknya, Barton malah sengaja mengeksploitasi kelemahan tersebut. Apalagi jajaran aktor Baratnya memberikan performa menyedihkan layaknya pemain-pemain amatir dalam film-film pelajar. Hanya Scott Adkins yang sanggup meninggalkan kesan. Bukan lewat aktingnya tentu saja, melainkan fisik prima serta kemampuan bela diri luar biasa, yang menjadikan Barton salah satu musuh paling berbahaya di franchise ini, yang bisa membuat si master Wing Chun berdarah-darah.

Lain cerita kalau membicarakan adegan laga. Wilson Yip sudah khatam urusan mengkreasi baku hantam over-the-top beroktan tinggi yang mampu menangkap keseluruhan detail koreografi. Bahkan aksi saling dorong meja kaca bundar saja menciptakan pemandangan menegangkan. Saya dibuat menahan napas menyaksikannya, apalagi ketika musik bombastis gubahan Kenji Kawai yang telah menduduki posisi composer sejak film pertama, memperkuat intensitas masing-masing adegan, ditambah lagi efek suara pukulan dan tendangan yang membuat dampak dari tiap serangan terasa nyata.

Ip Man 4: The Finale merupakan perpisahan yang layak terhadap peran paling ikonik Donnie Yen, yang berbekal kharisma luar biasa, dapat memancing gemuruh seisi studio hanya dengan menampakkan diri di tengah medan pertempuran. Yen tidak pernah kehilangan wibawa, sekalipun saat menerima pukulan. Satu kelebihan Donnie Yen yang jarang dimiliki aktor laga lain adalah aura hangat dan kelembutan yang menjadikan sosok Ip Man bukan hanya soal otot, tapi juga hati.

3 komentar :

Comment Page:
agoesinema mengatakan...

Ip Man sudah menjadi superhero seperti Superman, Batman, Spiderman, Iron Man
Sejatinya Ip Man versi Donnie Yen ini sudah melenceng ceritanya dari kisah Ip Man itu sendiri, namun bila dinikmati sebagai film martial art biasa film ini memang mengasyikan.

Ip Man versi Herman Yau di The Legend is Born (2010) dan Final Fight (2013) lebih real menceritakan kisah Master Ip berdasarkan cerita Ip Chun putra Ip Man, bahkan Ip Chun tampil cameo di dua film tsb.

Anonim mengatakan...

Gpp deh banyak fan service nya dengan menampilkan Bruce Lee, yang penting 1 bioskop tepuk tangan pas final fight nya, hehe...
Btw, malah saya pikir akan ada adegan yang menampilkan Ip Man dan Bruce Lee berantem bareng lawan banyak orang, bakalan lebih rame dan seru tuh di bioskop :D

Anonim mengatakan...

Kasi review singkat di kolom komen ini aja dong bang. Review buat film wuxia: Shadow