THE CALL OF THE WILD (2020)

4 komentar
Menjadi rilisan pertama 20th Century Studios pasca akuisisi 20th Century Fox oleh Disney, The Call of the Wild mengadaptasi novel berjudul sama karya Jack London yang dipublikasikan 117 tahun lalu, dan sebelumnya sudah enam kali diangkat ke medium film (empat layar lebar, dua televisi). Artinya, jangan mengharapkan kebaruan. Tapi sebagai kisah timeless, kebaruan bukan kewajiban. Apalagi, sesekali kesederhanaan macam ini diperlukan. Tanpa kompleksitas, tanpa kepentingan, tanpa isu politis, tanpa pahlawan super. Hanya beberapa makhluk hidup yang coba memaknai hidup.

Berlatar 1890-an kala terjadi demam emas di Klondike, tokoh sentralnya adalah anjing peliharaan bernama Buck, yang akibat sikap luar biasa aktifnya, kerap memancing kekacauan yang memusingkan si majikan. Figur Buck dibuat sepenuhnya memakai CGI. Sebuah keputusan dengan hasil inkonsisten. Terkadang bulu-bulunya sepeti bisa benar-benar kita belai, namun di lain kesempatan, ia tak ubahnya Scooby-Doo. Tapi ada alasan kuat di balik pilihan tersebut.

Buck—beserta hewan-hewan lain—bisa melakukan kemustahilan, seperti terlibat aksi menegangkan di bawah sungai yang membeku, atau melakoni momen komedik, yang sesekali diselipkan oleh Michael Green (Logan, Murder on the Orient Express) dalam naskah buatannya, agar film ini tetap menghibur bagi penonton anak. Keberadaan Chris Sanders yang berpengalaman menyutradarai animasi-animasi seperti Lilo & Stitch (2002), How to Train Your Dragon (2010), hingga The Croods (2013), memuluskan pembauran karakter CGI dengan dunia nyata.

CGI juga membantu penyampaian rasa melalui mata, mengingat di The Call of the Wild, hewan-hewan tidak bisa berbicara. Penonton diajak memahami isi hati hewan, tanpa harus memanusiakan mereka (secara berlebihan). Sedangkan Buck sendiri diharuskan memahami dunia dalam cakupan lebih luas, kala suatu malam ia dicuri, untuk dijual kepada para pengangkut barang di Yukon. Maka dimulailah petualangan Buck, yang mempertemukannya dengan beragam manusia, hewan liar, dan petualangan berbahaya.

Buck sempat menjadi anjing penarik kereta bagi dua pengirim surat, Perrault (Omar Sy) dan Françoise (Cara Gee). Omar Sy kembali pamer kapasitas menghidupkan seorang pria hangat, sementara Cara Gee, dengan kacamata biru serta sedikit keeksentrikan, membuat saya berharap suatu saat ia mendapat peran utama di film high profile. Tapi sosok yang sejak awal selalu bersinggungan jalan dengan Buck adalah John Thornton (Harrison Ford), si pria tua pemendam duka. Ford pun tidak kesulitan menangani peran pria tua lelah yang tak kehilangan kebaikan hatinya.

Penyutradaraan Chris Sanders, dibantu CGI mumpuni yang melonjakkan biaya produksi filmnya ke angka $125-150 juta, mampu memproduksi spectacle seru (walau tak pernah benar-benar menegangkan) berlatarkan visual pemikat mata. Dan di sela-sela spectacle tersebut, naskahnya jeli menyelipkan intisari kisahnya secara rapi. Seperti judulnya, The Call of the Wild merupakan kisah tentang panggilan bagi makhluk hidup (dalam konteks film ini, seekor anjing) untuk menemukan kebebasannya di alam bebas, sebagai wujud rumah tanpa batas.

Di alam liar, Buck dituntut belajar beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang menandakan ketiadaan zona nyaman. Sebagai pemandu, sesekali Buck melihat penampakan seekor anjing hitam bermata kuning, yang acap kali membantunya menemukan jalan keluar dari masalah. Ada ambiguitas mengenai identitas si anjing misterius, walau jika mengacu pada novelnya, ia adalah nenek moyang Buck, yang dahulu hidup berdampingan dengan manusia purba. Bagi bocah, elemen ini berpotensi menciptakan kebingungan. Sama halnya dengan penyampaian pesan yang agak terlalu subtil, ditambah gaya bertutur yang sesekali menyentuh ranah kontemplasi, untuk bisa dicerna dengan gampang oleh mereka. Tapi di luar itu, The Call of the Wild adalah interpretasi solid terhadap kisah klasik yang tak lekang oleh waktu.

4 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Nice review

btw saya salut sama bang rasyid.. omongannya di video cine crib dulu ternyata jdi kenyataan.. Beneran bakal ada "Ashiaaap The Movie" ternyata.... ditunggu ya bang ntar reviewnya

Rasyidharry mengatakan...

Haha they can milk anything in movie industry 😁

Badminton Battlezone mengatakan...

Perjalanan Buck agak relate sebenernya dengan kehidupan kita yang mau ga mau beradaptasi dengan kejamnya dunia hahaha.

Ironisnya kadang anjing lebih manusiawi dari manusia (kaya pas Buck berhenti,demi menunggu Jon yang terlambat mengantar surat).

Sangat2 rekomen film ini,terutama bagi dog lovers.


Kira2 kalau sukses,ada kemungkinan dibikin sekuelnya ngga Bang?ane ga baca novelnya soalnua

Anonim mengatakan...

Bang rasyid gak nonton parasite b&w?